Dari Sipadan-Ligitan Hingga Ambalat
Kawasan perbatasan sering kali menjadi pemicu konflik internasional antarnegara. Lihat saja konflik Palestina-Israel nan memperebutkan sepetak tanah di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Atau Konflik India-Pakistan buat wilayah Kashmir. Dan lebih dari itu, konflik internasional, lebih tua dari sekedar pembagian wilayah antara batas demi batas. Dalam pendapat Ben Anderson pada bukunya nan terkenal imagine community, batas Negara sebenarnya terdapat dalam khayalan warganya. Sehingga konflik nan mengatasnamakan negara dengan negara, dapat lebih merupakan konflik akan adanya pembayangan pembayangan mengenai menjadi negara itu sendiri.
Dengan demikian konflik internasional, konfliknya ialah tak nyata. Konfliknya lebih kepada bagaimana menyikapi antara batas-batas kedaulatan di atas kertas antara negara bangsa. Ini tentu saja berbeda dengan konflik internasional di masa lalu. Pernah dalam masanya konflik internasional lebih melibatkan adanya konflik kepentingan antara ras dan kebangsaan dalam mengklaim wilayah nan subur.
Sebagai contohnya konflik atau perang nan seolah tak ada habisnya selama masa kegelapan Eropa, di mana dalam suatu tanah bernama Wessex di kepulauan Britania, majemuk bangsa saling usir dan saling menduduki, di mulai dari orang-orang Briton sebagai penghuni asli. Lalu terusir sebab penetrasi Romawi, lalu datang orang Kaledonia, lalu muncul pula orang-orang dari Saxon dan Anglia, kemudian lantas datang orang orang Denmark menduduki tanah nan sama.
Kebangsaan pada akhirnya ialah menduduki suatu wilayah orang lain, lalu melakukan subdue kepada bangsa nan dikalahkan. Subdue atau penjajahan tentu saja akan melahirkan adanya politik bukti diri satu sama lain, tentang kemurnian ras, tentang saling klaim sejarah siapa nan paling dahulu. Semuanya akan melahirkan adana semacam kesumat di antara para penerus, para generasi penerus nan dapat jadi menjadi barah dalam sekam pada interaksi internasional dan pada akhirnya menjadi konflik internasional.
Konflik Internasional Konflik Laten
Pada akhirnya ternyata konflik itu lebih merupakan perkara genetis nan laten, dibandingkan perang eskalasi sebab suatu perihal di depan mata. Seorang tak mungkin menghabisi orang lain, jika bukan sebab dendam kesumat nan dipendam lama dan tak terselesaikan di meja runding, ungkap seorang detektif polisi, logika nan sama dapat di hadirkan pada rumusan konflik internasional. Kecurigaan antar bangsa itu di turunkan dari satu kultur tua kepada kultur muda melalui banyak jalan. Istilah di Indonesia nan mencurigai bule sebagai liberal, permisif, mengacu kepada kegilaan perang merebut kemerdekaan pada Indonesia, namun sebutan itu juga merupakan mitos nan di sekam pihak tua kepada pihak muda dalam catatan salah kaprah mereka. Orang cina misalnya digambarkan sebagai manusia berhasil gampang di pulau Jawa, namun orang Jawa tak pernah melihat Cina miskin di Singkawang, dan pada akhirnya praktik kecurigaan ini beranjak pada hal nan lebih besar. Orang bule dalam contoh sebelumnya digambarkan liberal dan permisif, namun tentunya Anda belum pernah berjumpa dengan orang bule dari Spanyol nan puritan dan pietis.
Konflik semacam ini telah merubah peta dunia. Dan asumsi masa depan mengenai global sendiri. Kita ambil contoh paling besar dari konflik internasional nan saat ini menjadi sorotan khusus, apalagi kalau bukan konfliknya antara Israel dengan Palestina. Cetak biru konflik itu sebenarnya dapat di petakan dan dipahami oleh para pemangku dan pakar abritasi dari manapun di global ini, namun di untuk rumit dengan adanya campur tangan faktor sejarah dan agama.
Baik Israel dan Palestina, tak dapat melepaskan keterkaitan konflik politik mereka dengan permasalahan berpretensi agama antara Islam dengan Yahudi. Pada akhirnya konflik internasional di dalamnya di biarkan penuh noise dan tak pernah terselesaikan, sebab konflik itu dimitoskan sudah lumrah, dan harus terjadi sebab dorongan adanya penafsiran agama nan salah paham.
Yang menderita tentu saja mereka nan berupaya melarikan diri dari konflik, sementara nan bahagia bermain di area konflik, dan merasa hayati karenanya tak merasakan adanya beban sejarah, atau bahkan beban kultural terhadap masa depan.
Dalam suatu penelitian UNHCR menggambarkan bahwa, pengungsi dari hasil konflik internasional, lebih besar merupakan pengungsi dari Palestina. Siapa nan betah hayati dalam suasana konflik internasional? Tidak ada nan betah, apalagi jika konflik tersebut melibatkan senjata pemusnah masal.
Sehingga menjadi warga negara dari suatu negeri nan sedang di naung oleh awan konflik seolah mengokang senjata dan bermain Russian Roullete, suatu saat pistolnya niscaya meletus dan Anda nan menjadi korbannya. Itulah nan dirasakan oleh masyarakat di tengah bayang-bayang konflik internasional seperti di semenanjung Korea, antara Taiwan dan China, atau antara Kuba dengan AS. Semua dapat di atur bagi kepentingan pengeruk untung dari konflik, Anda wajib waspada.
Indonesia vs Malaysia
Begitu juga pada bangsa ini. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ribuan pulau nan merupakan wilayah perbatasan dengan teritori negara tetangga. Dan sepanjang sejarah republik ini, negara tetangga nan paling sering berkonflik ialah Malaysia.Tercatat sekurangnya ada 18 titik konflik perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Mulai dari Pulau Sentut, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil, Kepala, Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit, Berhala, Batu Mandi, Iyu Kecil, dan Karimun. Pulau-pulau itu tersebar di perairan Selat Sulawesi Utara, perbatasan Pulau Kalimantan dengan Malaysia, dan perairan Batam.Adapun di daratan, titik konflik itu membentang sepanjang perbatasan Sarawak (Kalimantan Utara) dan Kalimantan Barat-Kalimantan Timur. Disebut sebagai titik konflik sebab amat mudahnya berbagai hal terjadi di wilayah ini bisa menyulut ketegangan bilateral kedua negara.
Dari Sipadan-Ligitan Hingga Ambalat
Tentunya masih jelas di memori kolektif rakyat Indonesia bagaimana kasus Sipadan dan Ligitan tahun 2002. Saat itu, Indonesia "harus rela" melepas kedua pulau nan berada di Selat Makassar menjadi milik Malaysia. Perseteruan akan wilayah perbatasan nan memuncak hingga ke Mahkamah Internasional tersebut, membawa hasil mengecewakan bagi Indonesia.
Tak cukup sampai di situ, pada Mei 2009, kawasan perairan Ambalat di Kalimantan Timur kembali menjadi sengketa. Terjadi insiden pengusiran kapal perang Malaysia oleh kapal perang Indonesia. Termasuk terlacaknya helikopter Malaysia nan memasuki wilayah Indonesia sejauh 40 mil laut. Untungnya insiden tersebut tak berakhir dengan kontak senjata.
Sebelumnya, konflik Ambalat mulai memanas pada 2005 ketika Malaysia mengklaim wilayah tersebut sebagai miliknya. Adapun Indonesia bersikukuh bahwa Ambalat merupakan wilayah kedaulatan republik ini. Sehingga saling klaim terhadap wilayah nan memiliki kandungan minyak dan gas hingga 30 tahun itu pun terjadi.
Hingga 2011, kawasan Ambalat masih menyisakan masalah nan belum terselesaikan. Tarik ulur kepentingan kedua negara begitu alot. Belum ada solusi nan bisa diterima kedua belah pihak. Indonesia dan Malaysia tetap kekeuh bahwa kawasan bernilai Rp 4.200 triliun itu ialah milik mereka. Pendekatan Budaya
Kiranya, permasalahan Ambalat patut mendapat perhatian semua pihak. Karena ibarat barah dalam sekam, jika masalah ini tidak segera terselesaikan bisa menimbulkan berbagai situasi nan tentunya tidak diinginkan kedua negara.Saat ini saja, sentimen negatif rakyat Indonesia kepada Malaysia begitu kuat. Apalagi ditambah sikap negara Malaysia nan dipersepsikan semena-mena oleh rakyat Indonesia. Seperti perlakuan tidak manusiawi terhadap para Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia, hingga klaim berbagai budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia sebagai milik Malaysia.
Perlu kiranya pendekatan budaya dikedepankan ketika jalur diplomasi mengalami jalan buntu (dead lock) supaya konflik internasional nan sudah sering terjadi tidak berujung pada kontak fisik (perang).