Dangdut Palapa Lawan Moralitas
Bagi mereka nan mendiami kawasan pesisir utara Jawa (Pantura), tentunya sudah tak asing jika mendengar dangdut palapa diucapkan. Dangdut palapa ini memang identik dengan hiburan rakyat di sepanjang kota-kota pantai dari Jakarta hingga Surabaya. Jadi, pilihan primer saat hajatan seperti pernikahan, sunatan, acara tujuh belas agustusan dan kampanye pemerintah berskala lokal atau nasional.
Keberadaan dangdut palapa begitu populer. Gaungnya mengalahkan jenis hiburan lain. Tidak seperti masyarakat di selatan Jawa nan lebih menyukai pagelaran wayang kulit, maka masyarakat Pantura lebih menyenangi penampilan dangdut palapa sebagai hiburan nan mampu mengumpulkan penonton dalam jumlah besar (hiburan massal).
Sejarah Dangdut Palapa
Lalu, nan dimaksud dengan dangdut palapa itu apa? Apakah jenis atau varian lain dari lagu dangdut? Atau bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diketahui jawabannya dengan terlebih dahulu mengerti perkembangan dari musik dangdut di Indonesia.
Lazim diketahui, dangdut merupakan musik khas dari Indonesia walaupun sejatinya irama dangdut merupakan metamorfosa dari irama musik Melayu tahun 1940-an. Dalam perkembangannya, musik Melayu nan sangat kental dengan perbedaan makna musik India (tabuhan gendang atau tabla) dan irama musik Arab, mulai diwarnai dengan unsur cengkok dari penyanyinya dan harmonisasi irama musik sehingga tercipta melodi asik didengar di kuping.
Perpaduan dari berbagai unsur musik tersebut, kemudian melahirkan satu jenis musik baru nan dinamakan dangdut. Dangdut palapa merupakan bagian dari musik dangdut secara umum.
Disebut bagian dari musik dangdut sebab dangdut palapa termasuk jenis ciptaan baru dari musik khas nusantara itu dan booming pada era 2000-an. Sebelumnya, blantika musik dangdut di Indonesia telah diwarnai musik dangdut era Rhoma Irama (1970-an), dangdut disco atau house music (1980-an), hingga masa kejayaan dangdut campursari (1990-an).
Pada 2000-an, khususnya di daerah pesisir utara Jawa Timur, muncul ciptaan baru dalam memainkan irama dangdut dan cara menyanyikannya. Semakin kentalnya perbedaan makna atau irama tradisional seperti dangdut campursari dan unsur permainan kendang kempul, yakni seni musik dari Banyuwangi, Jawa Timur ini, membuat terlahirnya suatu irama dangdut nan bersemangat.
Untuk cara menyanyikannya, dangdut jenis baru nan kemudian dikenal bernama dangdut koplo atau dangdut palapa ini, punya karakteristik khas tersendiri. Ada pun kota-kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Bangkalan, Mojokerto, dan Lamongan, jadi basis primer menggeliatnya genre dangdut palapa.
Dangdut koplo atau dangdut palapa memiliki karakteristik khusus dalam hal penampilan anjung para penyanyinya, yakni penampilan ekspresif dan gaya jingkrak sembari bernyanyi. Karenanya, tak mengherankan bila setiap ada pergelaran dangdut palapa, dipastikan akan disemuti oleh ribuan penonton nan ikutan berjingkrak atau bergoyang penuh semangat mengikuti gaya sang penyanyi.
Dangdut palapa memang merupakan jenis dangdut nan lahir dan besar di atas anjung pertunjukan serta dipentaskan dihadapan ribuan orang. Adanya unsur live dan hubungan langsung antara penonton dan penyanyi, membuat dangdut palapa mendapat loka di hati masyarakat pantura. Masyarakat nan secara ciri menyukai pertunjukan di loka terbuka dan kehebohan nan menyertainya.
Hingga sekarang pun, kaset atau DVD lagu-lagu dangdut palapa nan beredar di masyarakat tak dihasilkan dari dapur rekaman. Tetapi, kaset atau DVD tersebut diambil dari rekaman live anjung setiap pertunjukan band-band nan mengusung lagu dangdut palapa. Hal tersebut jadi salah satu keunikan dari jenis musik dangdut energik ini.
Dangdut Palapa dan Goyangan Maut
Perkembangan genre musik dangdut palapa (dangdut koplo) ditandai dengan menjamurnya band-band mengusung irama dangdut menghentak dan penampilan anjung nan heboh dari para penyanyinya. Band-band tersebut dikenal dengan sebutan Orkes Melayu (OM), seperti OM. Sera, OM Palapa, OM New Palapa, OM. Monata, OM RGS dan berbagai OM lainnya. OM-OM tersebut memiliki ciri hampir serupa, yakni memopulerkan jenis dangdut palapa di masyarakat, terkhusus di sepanjang Pantura.
Hanya saja maraknya jenis dangdut ini ternyata menuai kritik dari masyarakat. Selain punya karakteristik khas irama dangdut nan ditingkahi permainan lincah dari alat musik gendang, dangdut palapa juga terkenal dengan goyangan ‘maut’ dari para penyanyinya. Goyangan nan bagi sebagian masyarakat terlihat seperti gerakan stripsis (tarian bugil). Bahkan, ada beberapa OM nan lebih sebab alasan sensasi dan hendak mengambil jalan pintas buat cepat populer, memilih menampilkan penyanyi (biduanita) nan kemampuan vokalnya pas-pasan, tetapi berani tampil polos tanpa sehelai benang pun di atas panggung.
Walaupun tak semua OM menampilkan lagu dangdut palapa dengan diiringi goyangan layaknya tarian stripsis apalagi sampai tampil polos, namun pada umumnya para biduanita tersebut memakai busana seronok. Yakni ketat, pendek dan tipis menerawang, sehingga menampilkan aurat (paha dan dada) nan dapat terlihat jelas oleh para penonton.
Itu belum termasuk goyangan nan seringkali mengalahkan kemampuan biduanita tersebut dalam bernyanyi. Goyangan nan disebut-sebut sebagai goyangan maut sebab mampu melenakan atau membius penontonnya (para lelaki dewasa) buat berimajinasi liar.
Lihat saja bagaimana penampilan anjung dari biduanita atau penyanyi dangdut palapa nan terkenal seperti Lina Geboy, Mela Barbie (Mella Barby), Putri Aulia, Denis Arista (Dennies Ariesta), Silviana Asoy, Linda Carera, Suci, dan beberapa penyanyi lainnya. Meskipun kemampuan vokalnya boleh dibilang tak mengecewakan, namun busana atau gaya mereka ketika berjoget di atas anjung mampu membuat jengah siapa pun nan menyaksikan. Berbusana seksi dan menampilkan gerakan heboh.
Padahal setiap pergelaran dangdut palapa diadakan, tak mengenal pengaturan waktu atau batas usia bagi para penonton. Biasa diadakan pada siang atau malam hari. Yang menonton pun bebas segala umur, bukan hanya lelaki dewasa sebagai kelompok dominan penonton dangdut palapa. Akibatnya, menjadi pemandangan memiriskan ketika melihat ada anak kecil atau anak usia sekolah nan turut menyaksikan.
Padahal pertunjukan dangdut palapa bukan pertunjukan safety disaksikan oleh semua usia. Dangdut palapa sarat dengan unsur seksualitas atau pornoaksi nan diumbar secara bebas. Menampilkan tidak hanya busana seronok para biduanitanya, tapi juga aksi anjung (goyangan) mengundang syahwat para lelaki. Hal ini pastinya jadi hal terlarang bagi perkembangan moral anak-anak. Menyaksikan sesuatu nan belum pantas mereka lihat.
Dangdut Palapa Lawan Moralitas
Kenyataan tersebut sehrusnya menjadi penilaian bagi semua pihak. Sampai di mana batas kebebasan dalam berseni dengan kepentingan moralitas dan kelanggengan nilai-nilai agama nan dianut oleh penduduk di negeri ini. Dangdut palapa sejatinya merupakan jenis musik dangdut nan mengancam moralitas dan penegakan nilai-nilai agama. Sine qua non aksi penolakan terhadapnya. Dan ini telah dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat dengan mengusung kepedulian terhadap moralitas bangsa.
Salah satu nan paling terkenal dan sempat menjadi isu nasional ialah himbauan boikot aksi anjung penyanyi Inul Daratista oleh Rhoma Irama pada 2000. Inul Daratista memang merupakan penyanyi nan mengawali kariernya sebagai biduanita dangdut palapa. Ia menjadi populer ketika banyak media massa nasional memberitakan aksi panggungnya nan seronok dan dikenal dengan nama Goyang Ngebor.
Hanya saja, memang perlu kearifan dalam menyikapi masalah ini. Menolak keberadaan genre dangdut palapa bukan berarti melarang sama sekali keberadaan dari jenis dangdut populer tersebut. Namun, membatasi atau meminimalisir hal-hal dari dangdut palapa nan bertentangan dengan moralitas. Seperti goyangan maut dan cara berpakaian para biduanitanya. Bukan pada lirik lagu atau irama musik khas dangdut palapa. Dengan demikian, eksistensi dari musik nan diminati oleh sebagian besar masyarakat di pesisir utara Jawa itu akan tetap ada dan tak memberikan rona negatif bagi siapa pun.