Ramai-Ramai Prihatin
Berbicara mengenai musik sama halnya dengan berbicara mengenai sandang, pangan, dan papan sebab musik pun sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Oleh sebab itu, musik selalu dibicarakan setiap saat.
Dalam kehidupan remaja atau kaula muda, musik sepertinya dapat menjadi satu etos nan membuat mereka melakukan perubahan. Perubahan nan terjadi pun bermacam-macam, dapat positif dan dapat juga sebaliknya.
Salah satu faktor nan berpengaruh terhadap cara pandang kaula muda ialah dengan melihat sisi performa nan dihadirkan oleh para publik figur nan bergerak di bidang seni musik, seperti para musisi, para penyanyi, para grup band Indonesia, dan lain-lain nan berhubungan dengan citraan masyarakat luas.
Dalam artikel kali ini, kita akan membahas bagaimana cara pandang masyarakat, serta akibat positif dan negatif nan dihasilkan dari lirk-lirik band Indonesia. Karena walau bagaimana pun, keberadaan band di Indonesia sangat berpengaruh bukan saja terhadap kelangsungan seni musik di Indonesia, tetapi juga terhadap gaya hayati masyarakat di dalamnya.
Budaya Popular Band Indonesia
Menjadi popular dan terkenal seantero negara mungkin diinginkan oleh banyak orang, terutama nan bergerak di bidang seni seperti penyanyi atau grup band. Namun, buat mencapai hal tersebut bukanlah hal nan primer sebab kepopularan bukan sesuatu nan abadi.
Jika selama ini kita dihadapkan pada situasi popular dari para penghibur tanah air, maka sudah saatnya kita kembali membaca apa nan dimaksud dengan kata popular agar kita tak terjebak pada mitos budaya popular nan menyesatkan.
Artinya, ketika kita melihat suatu penampilan dari para penghibur tanah air, ada baiknya jika kita juga menilik motif dari penampilan nan dilakukan oleh para artis atau musisi tersebut. Misalnya saja, dengan melihat dan memahami lirik lagu para penyanyi dan grup band, kita juga sangat dapat melihat bagaimana kondisi masyarakat sosial di negara kita saat ini.
Sebagai contoh, budaya popular nan terjadi pada girl band atau boy band nan sekarang sedang ramai-ramainya dijadikan objek hiburan bagi masyarakat. Sayangnya, hal itu tak tepat target sebab massa nan menonton grup band tersebut sangat berbanding terbalik dengan lirik lagu nan dinyanyikan.
Para personil boy band dan girl band tersebut kebanyakan menyanyikan lagu tentang cinta beserta problematika remaja atau bahkan dewasa. Sementara itu, pihak nan menonton penampilan mereka justru ialah anak-anak nan masih di bawah umur.
Hal tersebut sungguh ironis mengingat kepopularan nan dibawa oleh para boy band dan girl band tersebut justru menimbulkan akibat negatif nan berpengaruh terhadap psikologi anak-anak nan menonton hiburan tersebut.
Dengan demikian, para produser grup band seyogyanya tak hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka buat dapat meraup laba dari kepopularan grup nan mereka bina. Ada amanat moril nan juga harus dijaga oleh para pelaku seni di Indonesia buat senantiasa meningkatkan moralitas bangsa.
Seragam Lirik
Melihat keberadaan musik Indonesia saat ini, ada beberapa hal nan dapat disoroti dari mulai visualisasi sampai penyampaian lirik lagu dari para penyanyi atau grup band nan ada di tanah air kita ini.
Salah satu hal nan dapat kita lihat ialah bagaimana lirik lagu band di Indonesia secara serempak menyuarakan isi hati mereka mengenai cinta, dilema cinta, problematika, serta hal-hal nan berkaitan dengan kesedihan. Bahkan tak sporadis lirik lagu nan dibuat pun menyerempet masalah perselingkuhan.
Secara lirik, mungkin dapat saja citraan nan muncul berupa keindahan. Akan tetapi, secara psikologis, lirik dengan nilai dan perbedaan makna seperti itu justru akan sangat berpengaruh terhadap pendidikan moral masyarakat Indonesia.
Dengan lirik seperti itu, masyarakat dihadapkan pada situasi nan jauh dari motivasi sehingga jangan heran jika kebanyakan remaja di Indonesia lebih mementingkan hal nan tak krusial daripada hal lain nan lebih krusial.
Motivasi nan tumbuh dari lirik lagu band Indonesia kebanyakan hanya bercerita di permukaan cinta, tanpa mendalami apa makna cinta nan sebenarnya, serta cinta nan bagaimana nan seyogyanya dapat dijalankan buat memajukan diri kita sendiri dan orang nan kita cintai.
Hal seperti inilah nan mungkin perlu diperdalam oleh para pembuat atau pencipta lirik lagu agar tak hanya menyajikan estetika secara audio, tapi juga dapat memberikan estetika secara makna dan hakikat.
Ramai-Ramai Prihatin
Andy /Rif menggambarkan situasi musik Indonesia saat ini cenderung monoton. “Yang muncul juga itu-itu aja, nan ecek-ecek aja." ucap AndY /Rif. sebenarnya perkataan Andy perlu ditelusuri lebih jauh. Mengapa musik Indonesik saat ini hanya nan ecek-ecek saja?
Apabila nan dimaksudkan ecek-ecek itu dari sisi kualitas dan musikalitas para pemusik. Dan teknis bermain band-band nan booming di tanah air. Di mana pernah satu band ‘besar’ Indonesia seperti D’massive melakukan plagiasi karya, satu album penuh milik band luar negeri.
Bahkan ada pengakuan dari Farid drumer Boomerang nan tertangkap kamera TV, alasan Boomerang membawakan musik-musik rock lawas nan pernah dibawakan SAS, Godbless, dll sebab liriknya bagus, dan tak usah capek-capek bikin lagu baru. Dari pengakuan polos itu, Farid dilempar sepatu oleh rekannya.
Ada apa tentunya dengan generasi band saat ini? Mengapa mereka disebut ecek-ecek. Apabila pasar Indonesia ternyata lebih menyukai nan ecek-ecek itu, dan tak peduli dengan lagu tentang banjir dan bala alam, tentunya nan perlu ditegur ialah pasar dan bukan band atau produser?
Apa nan Terjadi Annisa?
Band Indonesia saat ini sedang gandrung akan lagu bertema religi. Apakah ini sejalan dengan meningkatnya ketaqwaan mereka kepada Tuhan nan Maha Esa? Atau profesi pendakwah ternyata sangat profitable? Tidak jelas benar. Suatu ketika Bimbo sang pemuka lagu religi pernah mengungkapkan stop memproduksi lagu religi sebab disalahgunakan pembajak.
Niat kudus jadi mengundang dosa orang banyak, sehingga Bimbo nan terkenal dengan lirik religi, seperti lagu Aisyah Adinda Kita , berhenti bermain musik. Niat mereka tulus. Tapi band-band anak muda nan mendadak alim itu patut dipertanyakan motifnya.
Apakah sebab pasar lagu berlirik Islami mengalami kekosongan? Dan mereka memenuhi nan kosong itu? Kembali ditegaskan bahwa pasar musik Indonesia dicurigai bergantung pada hilir dan bukan hulu. Benarkah?
Tidak juga, Dahulu musikus jenius Indonesia seperti Fariz dan Dedy Dhukun pernah membuat lagu di awal 90-an, Anissa . Walau nama Islami, isinya berbau romantika. Dan konsep liriknya menurut pengakuan dari Dedy Dhukun ialah pop komunikatif. Maksudnya, bilamana lagu nan dibawakan berisi lirik nan bercerita utuh, tanpa banyak reffrain nan repetitif. Isi penceritaan liriknya begitu cerdas dan tegas.
Fenomena nan kembali tampak pada lagu dangdut mix: Keong Racun, akhir-akhir ini. Cerdas dan komunikatif pada isi dan pesan. ‘Padahal itu lagu dangdut’.
Tema lirik komunikatif itu disukai. Bahkan lagu dalam album kompilasi 12 bintang Idola tersebut, seperti lagu Malyda dan Dedy Dhukun, Aku Jadi Bingung meledak di pasaran. Liriknya nan pop komunikatif itu kurang lebih berisi begini:
Kau pikir diriku boneka
Bisa kau mainkan sepuas-puasnya
Ada pemikiran lain. Pasar musik Indonesia memang dihantui oleh para produser nan kemaruk sejuta keping penjualan. Band-band idealis disingkirkan dari ruang resepsionis perusahaan rekaman, nan diajak masuk ke studio ialah mereka nan mau dicocok hidungnya bagai kerbau.
Diminta bikin lirik lagu Melayu... okay. Diminta lirik lagu religi... amin. Diminta plagiat lirik... alaihim gambreng. Otomatis nan menjadi boneka ialah penikmat musik Indonesia. Seleranya dapat dimainkan produser sepuas-puasnya.