Imajinasi Berkebangsaan nan Luntur
Pasti masih inheren dalam benak kita mengenai tragedi humanisme nan nan menewaskan tiga orang dan melukai sepuluh orang nan terjadi di Jalan Ampera, Jakarta. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Ampera. Peristiwa ini terjadi di depan kantor PN Jakarta Selatan tepatnya di Jalan Ampera. Bentrok ini terjadi antara dua massa nan bertikai.
Bentrok tersebut berawal dari satu masalah perseorangan nan kemudian berkembang menjadi konflik massa nan lebih besar. Dalam bentrok tesebut, nan terlihat bukanlah manusia-manusia nan bertengkar, karena humanisme telah hilang. Seonggok daging nan tergeletak di jalan menjadi sebuah pemandangan nan sangat ironis.
Manusia nan dibekali suatu rasa telah menjelma menjadi monster nan mengerikan dan saling membunuh. Tragedi ampera menjadi suatu peristiwa ironis nan menurunkan derajat kemanusiaan.
Tragedi Ampera ini berawal dari bentrok antara pengunjung Blowfish dengan aparat keamanan loka itu. Kedua pengunjung Blowfish, tersebut terlibat konfrontasi dengan staf keamanan loka tersebut, nan akhirnya terjadi perkelahian diantara keduanya. Untuk mengetahui lebih jelas tentang detil peristiwa tersebut, maka dapat dilihat kronologi kejadian di bawah ini.
Kronologi Kejadian
4 April 2010
Terjadi keributan di sebual klub malam, Blowfish, nan bertempat di Plaza City Jakarta sekitar pukul 01.00 WIB. Keributan ini bermula dari adanya seorang anak nan berumur 17 tahun berusaha menerobos masuk klub. Namun, ia dihadang oleh ihak keamanan. Akhirnya, terjadi keributan dan pengunjung itu dipukuli.
Kombes Boy Rafli Amar nan saat itu menjadi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi sebab kegeraman petugas keamanan klub nan dipukul pengunjung sebab tak tersedianya meja kosong. Dalam friksi malam itu, M Soleh meninggal global disusul oleh temannya, Yopi Inggratubun, nan meninggal dua minggu kemudian setelah dirawat di RS Medistra.
22 September 2010
Pada tanggal ini, sidang perdana kasus peristiwa Blowfish dilangsungkan. Ketika kedua terdakwa digiring keluar tahanan menuju ruang sidang, mereka dikeroyok beberapa orang. Hal ini mengakibatkan friksi antara masa dari terdakwa dan dan para korban. Polisi nan berada di loka saat itu tak dapat melakukan apa-apa.
29 September 2010
Persidangan kasus Blowfish kembali dilanjutkan. Sidang lanjutan ini bertepatan dengan sidang perdana mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji nan diduga melakukan kasus suap dan korupsi. Di bawah ini detail kejadian nan terjadi pada hari ini.
Pukul 09.00
Untuk mengantisipasi kerusuhan seperti nan terjadi pada sidang kasus Blowfish nan pertama, polisi berjaga-jaga dengan helm pelindung dan tameng nan lengkap. Pengunjung sidang kasus Susno dan Blowfish sudah mulai berdatangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pukul 10.30
Keributan terjadi ketika Susno Duaji tida di loka persidangan. Keributan ini terjadi sebab usaha para wartawan nan ingin mewawancarai Susno, sedangkan Susno sendiri datang dengan pengawalan nan ketat.
Pukul 11.00
Pembacaan dakwaan terhadap Susno Duaji. Ruang sidang dipenuhi oleh para pengunjung nan sebagian besar ialah wartawan dan keluarga Susno. Sementara itu, pengunjung sidang kasus Blowfish sudah mulai memasuki loka persidangan.
Pukul 12.00
Sidang perdana Susno selesai. Kericuhan kembali terjadi ketika para pemburu warta berusaha mengambil foto dan meminta komentar Susno atas dakwaan kepadanya. Keluarga Susno nan mendampinginya saat itu pun ikut terjebak dalam desak-desakan tersebut.
Pukul 13.00
Aksi kerusuhan antara kedua kubu kasus Blowfish tersebut pecah. Hal ini berawal dari adanya sebuah isu bahwa salah satu kelompok nan berselisih tersebut akan mendatangi PN Jakarta Selatan dengan menumpang bus Kopaja. Mereka diisukan akan melakukan penyerangan sebagai efek dari kerusuhan sebelumnya.
Kelompok lain nan mendengar warta ini, langsung mendatangi dan menghalangi kelompok nan menumpang bus Kopaja tadi di Jalan Ampera sebelum memasuki wilayah persidangan. Mereka langsung mengeroyok dan menghancurkan bus Kopaja 608 tersebut.
Bus Kopaja itu pun hancur. Kaca-kaca pecah serta loka duduk dan seisi bus itu dihancurkan oleh massa. Bahkan ada nan ingin membakar bus tersebut. Namun, ada seseorang nan menghalanginya sehingga perbuatan itu diurungkan.
Akhirnya, aksi saling pukul dan lempar batu diantara kedua kubu tak dapat dihindarkan. Senjata tajam pun saling mengayun diantara keduanya. Bahkan, dikabarkan ada nan membawa senjata api. Di tengah kerusuhan saat itu terlihat seorang lelaki nan terkapar di tengah jalan dengan darah nan berlinangan.
Pukul 14.00
polisi anti huru-hara tambahan mulai berdatangan. Diikuti oleh sebuah mobil ambulans dari PMI Jakarta Selatan. Korban dampak kerusuhan ini mulai dievakuasi.
Pukul 14.50
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Raffli Amar mendatangi lokasi. Lalu, disusul oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo. Boy mengatakan bahwa terdapat tiga korban nan tewas dampak bentrok dan lebih dari sepuluh orang luka-luka.
Imajinasi Berkebangsaan nan Luntur
Benecdict Anderson, seorang profesor emiritus dalam bidang Studi Internasional di Universitas Corwell, berpendapat bahwa bangsa ialah sebuah komunitas nan terimajinasi. Pendapat ini dimuat dalam bukunya nan sangat tersohor nan berjudul Imagined Community .
Kita memiliki imajinasi-imajinasi nan membentuk sebuah komunitas, yakni bangsa Indonesia. Apakah kita mengenal saudara-saudara kita nan ada di Papua, Sumatera, Kalimantan, dan suku-suku lainnya di Indonesia? Apakah kita membantu ketika mereka mendapat kesusahan? Apakah kita menangis ketika diantara mereka ada nan mati?
Terlepas dari semua itu, kita tetap menganggap bahwa mereka saudara kita sebab mereka juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Hal inilah nan dimaksud oleh Anderson sebagai sebuah komunitas nan terimaji.
Komunitas tersebut dibentuk melalui pencerahan akan kesatuan bukti diri nan disatukan oleh media bahasa. Dengan begitu bahasa merupakan penyatu buat membangin sebuah bukti diri dan mengikat komunitas. Maka dari itu, bukanlah tanpa alasan ketika para pemuda nan melakukan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 buat menyatakan bahwa bahasa mereka satu, yakni bahasa Indonesia sebagai pemersatu.
Tragedi Ampera nan terjadi di Jalan Ampera depan PN Jakarta Selatan, menunjukkan memudarnya konsep kebangsaan nan diutarakan oleh Anderson ini. Lunturnya khayalan kebangsaan ini, juga merupakan merosotnya rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia. Hal ini sangat berbahaya bagi eksistensi suatu bangsa.
Apabila peristiwa-peristiwa lain nan serupa Tragedi Ampera ini muncul di wilayah-wilayah lain, maka dapat menimbulkan suatu gejolak nan besar di dalam suatu bangsa. Dampak terburuk ialah terjadinya perang saudara nan jelas sangat merugikan bagi bangsa, karena perang saudara sebenarnya ialah perang dengan diri sendiri. Ketika kita menang, maka sebenarnya nan diperoleh ialah kekalahan.
Lunturnya rasa kebangsaan ini terbukti bahwa sebenarnya bentrok massal nan melatar belakangi Tragedi Ampera ialah berawal dari sebuah isu. Isu nan belum tentu kebenarannya. Coba pikirkan apabila di dalam bus tersebut ada orang nan tak tahu apa-apa? Dan apakah kelompok nan menumpang bus Kopaja tersebut datang ke persidangan namun tak bermaksud melakukan penyerangan?
Bangsa ini terlalu mudah percaya pada lidah provokator nan terkadang tak terbukti kebenarannya. Bangsa ini begitu mudahnya dipecah belah dengan isu-isu. Seharusnya kita dapat belajar pada sejarah, yakni ketika negara ini mampu dikalahkan Belanda melalui politik devide et impera .
Aceh nan dulu kala terkenal sangat kuat dan sukar ditaklukkan akhirnya bisa ditaklukan oleh Belanda, yakni dengan memecah belah persatuan dan kesatuannya. Hal ini menunjukkan bahwa ketika suatu negara terlalu mudah pada provokator, maka akan semakin mudah juga negara tersebut dihancurkan.
Belajar dari Tragedi Ampera ini, pemerintah beserta seluruh masyarakat Indonesia harus mampu mengembalikan semangat persatuan dan kebangsaan demi kelangsungan dan keutuhan bangsa Indonesia.
Tragedi Ampera merupakan sebuah peristiwa nan terjadi dampak kelalaian manusia terhadap rasa berkebangsaan nan tak boleh terjadi kembali. Semoga hanya ada satu Tragedi Ampera, yakni nan terjadi di depan PN Jakarta Selatan dan tak ada lagi peristiwa serupa.