Rumah Bersahabat dengan Alam
Program Properti Ramah Lingkungan
Tidak ada tanah urug. Tidak ada penimbunan. Yang ada ialah penyesuaian pendirian rumah dengan kondisi dan situasi tanah loka didirikannya bangunan. Itulah nan dikerjakan oleh pemerintah daerah provinsi Sumatra Selatan, dalam hal ini kota madya Palembang, dalam pembangunan properti murah buat rakyat. Properti murah tersebut berdiri di atas hamparan tanah rawa. Tanah rawa nan telah dimanfaatkan tersebut berada di luar kota.
Wilayah pembangunannya bukan di daerah terisolir. Properti nan murah tersebut berada di jalan lintas nan cukup ramai dilalui oleh berbagai jenis kendaraan. Apalagi saat ini, truk-truk tak boleh melintasi Jembatan Ampera nan masih dalam pemugaran dampak terbakar beberapa bulan nan lalu. Selain itu, dengan dibukanya wilayah Jakabaring nan akan dijadikan pusat pemerintahan kota Palembang, wilayah sekitar properti cukup murah ini semakin ramai.
Kendala nan mungkin dihadapi ialah pola pikir masyarakat nan ada di daerah Palembang dan sekitarnya. Keberadaan rumah murah ini ada di luar kota Palembang. Dengan kata lain, wilayah ini jauh dari pemukiman penduduk atau jauh dari perkampungan. Sebenarnya jeda ke kampung terdekat itu sekira 5-7 km. Namun, bagi masyarakat Palembang, 5-6 km itu cukup jauh. Berbeda memang dengan orang-orang nan tinggal di perkotaan seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Bagi mereka hal itu merupakan jeda tempuh nan dekat.
Jauh dari perkampungan, artinya jauh dari loka belanja dan tempat-tempat keramaian lainnya. Hal ini menjadi sesuatu nan patut dipikirkan oleh pihak pemerintah. Oleh sebab itulah di beberapa loka didirikan pasar tradisional baru terutama nan jumlah penduduknya cukup pesat dalam hal pertambahannya. Namun, ternyata pembangunan nan telah menghabiskan dana nan cukup besar itu masih belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat nan menjadi target pembangunan.
Mereka lebih bahagia menyewa rumah nan sangat kecil di daerah perkotaan daripada menyewa rumah nan sangat sederhana dengan harga nan sangat mahal tetapi harus bersusah payah mencari penghidupan di perkotaan. Palembang mempunyai wilayah nan cukup luas, sekira 440,61 kilometer persegi. Keadaan ini akhirnya membuat banyak tumbuh rumah-rumah kumuh nan dibangun diatas rawa. Rumah kumuh diatas rawa itu rawa itu tentu saja merusak pemandangan kota.
Pemerintah berusaha mengambil jalan tengah tetapi masyarakat terkadang memang sulit diatur. Mereka merasa tak bersalah membangun rumah di atas rawa sebab mengira bahwa rawa itu tak ada pemiliknya. Terkadang kasihan juga melihat keadaan orang-orang miskin nan membangun rumah di loka nan berawa itu. Nyamuk banyak dan air higienis tak ada. Belum lagi lingkungan nan kumuh dengan tumpukan sampah nan menggunung dan berbau.
Kemiskinan menjadi satu momok nan terus berusaha dipecahkan oleh pemimpin daerah nan sedang berkembang ini. Ada beberapa perumahan nan sangat sederhana nan diperuntukan bagi kaum nan kurang beruntung ini. Sekali lagi sebab tempatnya nan jauh, orang miskin pun jadi enggan tinggal di loka tersebut. Sepertinya pemerintah harus membangun loka dengan konsep kota mandiri. Walaupun kota itu bukan kota nan latif dengan gedung-gedung nan latif pula, semua fasilitas kehidupan dapat didapatkan dengan mudah.
Pasar, rumah sakit, jalan nan bagus dan tak becek, lingkungan nan aman, sekolah, dan lain-lain ada di sana. Kalau fasilitas cukup lengkap, mungkin akan banyak orang berusaha dan mau buat tinggal di sana. Sayang sekali kalau dana nan dikucurkan cukup besar tetapi tak bermanfaat atau tak dimanfaatkan oleh banyak orang. Kesia-siaan tentu saja bukan sesuatu nan baik. Memang tak mudah buat menyenangkan semua pihak, namun bagaimanapun semua itu harus dilakukan dengan lebih terukur.
Daerah Perluasan
Bila melalui jalan Musi 2, maka akan melintasi deretan rumah berukuran 3x3 nan dibangun di atas rawa-rawa. Rumah bercat putih tersebut diperuntukkan bagi kaum urban kota nan semakin banyak di kota Palembang dengan harga sewa hanya Rp 1000/ hari. Deretan rumah sangat sederhana nan berada di luar kota itu ialah program properti cukup murah buat rakyat. Walaupun masih terlihat belum banyak nan mendiami rumah-rumah itu, bagi sebagian orang, rumah tersebut sangat bermanfaat.
Para abang becak dan pemulung dapat menempati rumah tersebut. Akses ke jalan raya cukup dekat, hanya sekitar 70 meter. Jalan setapak nan dibuat dari papan kayu terlihat cukup kokoh. Bila saja rumah-rumah tersebut dibuat dengan lebih artistik, maka rumah-rumah itu akan terlihat seperti bangalow-bangalow romantis. Tapi mungkin sebab pembuatannya nan belum selesai, jadi belum terlihat estetika dari rumah-rumah nan berdiri di atas rawa-rawa tersebut.
Bila pemerintah serius menggarapnya, maka ruamh-rumah itu memang dapat menjadi salah satu solusi bagi perumahan buat rakyat jelata. Agar tak hanya rumah nan dapat dimanfaatkan, pemerintah dapat juga mengadakan pengenalan bagaimana hayati dengan keadaan nan sangat sederhana itu. Tidak sporadis orang-orang dengan ekonomi nan kurang mampu ini tak mempunyai pencerahan hayati sehat sebab mereka tak tahu bagaimana hayati sehat.
Pendidikan membuat keterbatasan informasi. Untuk itulah ada baiknya melakukan penyuluhan dan memberikan bimbingan agar rumah-rumah nan sangat sederhana itu tak menjadi loka kumuh baru nan akan membuat pemandangan kota menjadi tak karuan. Tidak mudah buat melakukannya sebab karakter penduduk nan terkadang sulit buat ditahlukan. Sine qua non sistem dengan peraturan nan tepat dan pas agar apa nan dicanangkan menjadi berhasil.
Rumah Bersahabat dengan Alam
Wilayah Palembang itu penuh dengan rawa. Kalau rawa ditimbun, banjir niscaya akan datang. Apalagi ketika pasang datang. Banjir rob menjadi sesuatu nan tidak terelakan. Dari kata ‘Palembang’ telah implisit bahwa kota ini berada tak tinggi di atas permukaan air laut. ‘Palembang’ bermakna kota nan penuh dengan air. Untuk itulah para pengembang harus bersahabat dengan alam agar tak mengsengsarakan orang lain dikemudian hari.
Banyak kejadian ketika ada pembangunan perumahan baru nan mengambil tanah rawa, maka wilayah nan sebelumnya tak banjir, akan banjir walaupun hujan tak deras dan tak dalam waktu nan lama. Selain itu, wilayah nan sebelumnya hanya banjir setinggi 10 cm, akhirnya akan menjadi 30 cm-50 cm sebab tanah resapan telah beralih fungsi. Tentu saja hal ini bukan suatu solusi nan baik dan nan diharapkan oleh banyak orang.
Apa nan diharapkan itu ialah pembangunan merata tetapi tak menambah masalah. Kalau satu loka terlihat cantik sedangkan loka lain malah menjadi kumuh sebab tergenang banjir, hal ini tak adil dan terkesan menzalimi orang lain. Pembangunan rumah murah nan ada di dekat jambatan Musi 2 itu sebenarnya sudah sangat benar. Hanya saja memang kualitas bangunan nan harus lebih diperhatikan. Jangan sampai sebab harganya nan murah lalu bahan bangunan nan digunakan menjadi asal-asalan.
Rumah sangat sederhana tersebut cukup sehat dengan jendela nan cukup. Sedangkan buat MCK, disediakan loka khusus. Angin rawa nan berhembus akan membuat suasana di dalam rumah tak akan terlalu panas. Jalan setapak nan menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya hanya selebar satu meter. Tapi hal tersebut sudah cukup memadai.
Bahan nan dipakai ialah bahan kayu. Bahan kayu akan membuat kondisi dalam rumah lebih nyaman. Rumah kayu berbentuk anjung tersebut suatu saat dapat menjadi loka rekreasi baru. Semoga pemerintah kota Palembang dapat membuat properti murah tersebut multi fungsi -perumahan rakyat dan daerah percontohan pemanfaatan daerah rawa serta loka rekreasi keluarga.
Rumah Susun
Masalah perumahan ialah masalah setiap pemerintahan daerah di mana pun. Pemerintahan Palembang juga membangun rumah susun sewa nan cukup presentatif di tengah kota, tepatnya di daerah Ilir Barat dekat Palembang Latif Mall. Rumah susun tersebut cukup diminati oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan terisi penuhnya setiap ruangan di setiap lantainya.