Fenomena Band dengan Rona Musik Melayu
Pernah mendengar musik milik ST12? Niscaya pernah. Anda akan merasa jenis lagunya akrab di telinga, perbedaan makna melayunya kental, cengkoknya mirip lagu malaysia campuran dangdut. Itu ialah musik Melayu. Harus disadari bahwa munculnya kenyataan lagu dengan genre dan perbedaan makna melayu mendadak merajut tren baru di blantika musik tanah air.
Contohlah kemunculan ST12 dengan aroma melayu yang kental, lalu berlanjut pada D’bagindas, Band sembilan, Hijau Daun nan mengambil genre serupa. Lalu, mendadak para band papan atas mulai ikut-ikutan tren ini, seolah-olah menjadi latah, sebut saja Ungu nan kemudian mengubah jenis musiknya menjadi melayu dangdut. Tak bisa dipungkiri, musik bernuansa Melayu memang sedang naik daun. Namun tahukah Anda bagaimana asal mula dan sejarah musik bernuansa Melayu di Indonesia?
Sejarah Musik Melayu di Indonesia
Musik bernuansa Melayu diperkirakan sudah ada sejak tahun 600 Masehi dan berkembang di antara suku bangsa Melayu di Asia Tenggara (tak hanya Indonesia). Seni musik ini dipengaruhi oleh musik Portugis, Cina, Arab, Persia, dan India. Begitu banyaknya budaya dan seni musik nan tercampur dalam elemen musik bernuansa Melayu menyebabkan jenis musik ini sulit diterka bentuk aslinya.
Musik bernuansa Melayu merupakan bagian dari kesenian Melayu, setara dengan tarian, lagu, dan bentuk kesenian Melayu lainnya. Pengaruh budaya luar nan dengan mudah diserap oleh musik bernuansa Melayu disebabkan oleh adanya interaksi dagang Kerajaan Melayu Aru dan Malaka berabad-abad silam. Ditambah dengan pedagang-pedagang negeri lain nan singgah ke Malaka.
Rupanya perdagangan ini tidak sekadar bertukar barang dan jasa, tetapi juga kebudayaan dan kesenian. Perkawinan antara kesenian Melayu orisinil dan kesenian-kesenian bangsa lain melahirkan sebentuk kesenian nan kini kita kenal dengan kesenian Melayu, termasuk seni musiknya. Sebut saja pengaruh Portugis. Kesenian Portugis (terutama nada dalam musik dan mobilitas dalam tarian) mewarnai ragam kesenian Melayu. Perbedaan makna musik dan tarian Melayu pun berbau Portugis.
Pengaruh negeri Siam atau Thailand juga diterima dan diakulturasi dengan baik. Ini dibuktikan dengan sering adanya pertunjukan dramatari Menora, Makyong, dan Mendu di kawasan Langkat dan Kerajaan Serdang. Sementara itu corak musik Arab mulai mewarnai musik bernuansa Melayu seiring dengan masuknya Islam ke kawasan Melayu. Kesenian Arab ini paling berpengaruh terhadap perkembangan alat musik bernuansa Melayu (digunakannya gambus, rebana, dan sebagainya).
Para pedagang dari Tamil (India Selatan) pun tidak mau kalah. Kesenian Tamil berkontribusi mewarnai kesenian Melayu melalui bentuk teater dan alat musik. Tak lupa juga nada dan tempo musik mereka mewarnai musik bernuansa Melayu, dan hal tersebut masih dirasakan hingga kini; di mana musik Melayu terdengar agak ke-India-India-an.
Berbagai Alat Musik Melayu
Ada berbagai alat musik tradisional nan dipergunakan suku bangsa Melayu dalam mempertunjukan musiknya. Biasanya alat-alat tersebut bervariasi di daerah Melayu nan satu dengan daerah Melayu lainnya. Namun, jenis alat musik nan digunakan itu secara generik sama, yakni:
-
Aerofons atau alat musik tiup
-
Cordofons atau alat musik petik nan memiliki senar
-
Idiofons atau alat musik perkusi nan dimainkan dengan dipukul
-
Membranofons atau alat musik pukul terbuat dari membran kulit
Salah satu daerah nan memiliki musik tradisional bernuansa Melayu ialah Riau. Masyarakat Melayu di Riau memiliki alat-alat musik nan pada prinsipnya memiliki konsep seperti keempat jenis alat musik di atas, tetapi tetap memiliki karakteristik khas kedaerahannya; nan artinya alat musik tersebut tak 100% sama dengan daerah lain nan juga memiliki musik khas bernuansa Melayu. Inilah beberapa contoh alat musik Melayu di Riau:
-
Rebana Ubi. Alat musik nan satu ini sudah ada sejak masa jaya Kerajaan Melayu Kuno. Rebana sendiri berasal dari tanah Arab dan diperkenalkan ke wilayah Melayu oleh para saudagar nan datang ke sana. Rebana ubi biasanya dimainkan dalam upacara pernikahan. Karena bunyinya nan keras, rebana ubi dahulu dipakai sebagai alat komunikasi nan sederhana. Syahdan jumlah pukulan rebana ubi memiliki makna sendiri nan dimengerti oleh masyarakat Melayu Riau dahulu.
-
Kompang. Alat musik ini ialah nan cukup populer, bahkan hingga sekarang. Kompang biasanya dipergunakan dalam acara-acara sosial, misalnya pada pertunjukan pawai hari kemerdekaan. Kompang juga biasa digunakan dalam mengiringi lagu-lagu gambus. Kompang mirip dengan rebana, tetapi kompang tidak memiliki cakram logam nan bergemerincing di sekelilingnya.
-
Sape. Alat musik ini ialah alat musik tiup khas Melayu. Terbuat dari bambu panjang nan dilubangi, sape menghasilkan nada latif jika ditiup. Sape biasanya dimainkan buat mengiringi pertunjukan tari tradisional Melayu. Sape saat ini juga digunakan dalam mengiringi lagu-lagu dangdut. Lagu dangdut sendiri ialah perkembangan dari musik bernuansa Melayu.
Seiring perkembangannya, musik bernuansa Melayu juga dipertunjukan dengan alat-alat musik modern, seperti gitar, organ, dan sebagainya. Ini juga merupakan bentuk pengaruh budaya luar terhadap eksistensi musik bernuansa Melayu. Uniknya, meskipun telah mengalami berbagai perubahan zaman, musik bernuansa Melayu ini tetap eksis meski tak selalu menjadi tren.
Fenomena Band dengan Rona Musik Melayu
Tidak salah sebuah band musik mengambil satu jenis aliran buat pembawaan bandnya. Lalu, tetap konsisten dengan pembawaannya. Namun, sayang sekali kalau kemudian hal tersebut malah menjadikan homogen kelatahan nan rasanya konyol sekali. Katakan saja, saat ini zamannya jenis musik Melayu , namun dapatkah jenis musik melayu ini bertahan dalam jangka waktu nan lama?
Perlu diketahui, ada satu masa sekitar tahun 90’an, di mana saat itu musik SKA digemari. Dari mulai anak-anak sampai kakek-kakek, semua ber-SKA-ria. Lalu berbondong-bondong banyak band-band beraliran SKA muncul. Merekah, namun sekejap langsung layu. Mengapa? Karena tren ikut-ikutan membuat khalayak lebih cepat mengalami kebosanan.
Katakan seperti ini. rendang itu enak sekali. Bumbunya khas, rasanya nikmat, dimakan pun seperti melumerkan mulut. Namun, apa jadinya kalau rendang disajikan tiap hari? Niscaya Anda akan lebih cepat merasa bosan, dan bahkan nyaris eneg bila harus monoton dicekoki Rendang tiap hari. Musik pun sama, telinga kita dicekoki hal serupa, terus menerus, taraf kebosanan pun lebih cepat datang.
Menyukai sebuah aliran musik, lantas masyarakat mengandrunginya tidak ayal membuat para label besar kemudian berlomba-lomba menyajikan bentuk nan sama. Kelatahan menjamur, taraf suka menjadi jemu lebih cepat. Karena semua terdengar menjadi seragam, keanekaragaman hilang, maka cepatlah punah segala sesuatu nan disukai khalayak.
Sebentar lagi rasa suka itu akan menyisakan bosan, lantas masyarakat kemudian akan berganti lagi menyukai jenis lagu lain. Dapat RnB, dapat Rock, tergantung bagaimana angin berhembus, lalu jenis lagu Melayu pun tinggalkan, dan akan berkembang entah kapan lagi, siapa nan tahu? Di mana-mana, berbeda bukanlah dosa. Begitu pun jenis musik, harusnya hal tersebut disadari dengan baik oleh para pengamat musik dan pemilik label besar. berutunglah para band nan tetap berpegang pada genre awal, lalu tetap konsisten di jalurnya.
Walau tak langsung dapat menjaring penggemar sebanyak nan menjadi tren, namun selalu ada penggemar loyal nan akan tetap membeli album-albumnya secara rutin. Jadi, jangan takut berbeda dan tetaplah membuat keanekaragaman, agar telinga masyarakat tak cepat menjadi bosan. Untuk para band genre musik Melayu, tetap saja di jalur itu, walau kelak akan tak terkenal lagi, namun selalu ada nan niscaya mencintai dengan benar-benar tulus. Lagipula, kemunculan band-band Melayu dapat jadi merupakan hal baik nan akan membantu eksistensi musik Melayu ini.