J-lyric: Intensitas Hayati dalam Lirik Lagu Jepang
Musik Jepang dikondisikan dengan instrumen musik Barat pada masa setelah perang 1945. Ia pun mendapatkan nama Kayokyoku buat produk-produk nan dihasilkannya. Dari sisi lirik, Jepang masihlah Jepang nan tak ingin membuang-buang makna dengan repetisi dan susunan kalimat lengkap dan tertutup.
Kelahiran genre band jepang : Jpop, Jrock, Jjazz, dan sebagainya tak lepas dari sejarah perkembangan lirik pada Kayokyoku. Orang Jepang terkadang tak peduli kecanggihan musik, nan krusial bagi mereka apakah lirik itu menunjukkan sesuatu. Ini bukan sebab pabrikan musik sythesizer dan alat musik lainnya nan berkualitas dibuat di Jepang, melainkan istilah " lied " nan mempengaruhi karakteristik bermusik orang Jepang.
Lied diambil dari bahasa Jerman. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, ia ialah sonata atau susunan syair lagu nan dipenuhi unsur penceritaan nan artistik. Berdasarkan lied , lirik lagu Jepang harus mampu bercerita tentang situasi utuh.
Idolkayo: Regenerasi Musik dari Artistik kepada Artis
Pada dasa warsa 70 sampai sekarang, Kayokyoku lantas mengalami pergeseran maksud. Musik tak lagi dapat dinikmati tanpa menikmati siapa nan menghasilkan musiknya. Musik berpindah kepada idola musik atau Idolkayo. Hanya sedikit lagu nan dikatakan legendaris, berkualitas, dan mampu lepas dari bayang-bayang nan menyanyikannya.
Lagu klasik nan lepas dari para idola itu salah satu contohnya ialah lagu Okuru Kotoba yang dinyanyikan oleh banyak seniman dalam singel berbeda dan pendekatan aliran musik nan berbeda pula.
Dari Band Flow nan membawakannya dengan rock n roll, Sendai Komatsu nan membawakannya dengan gaya beat rock, Miki Fujimoto nan menyanyikan dengan gaya Enka, atau nan dibawakan secara pop oleh Aya Ueto. Keempat seniman itu berada dalam generasi nan sama.
Lagu Jepang tak mudah abadi, sedikit nan disebutkan seperti lagu-lagu Pink Lady pada dasa warsa 70-80. Pepper Keibu, singel pertama Pink Lady pada 1977, dibawakan kembali oleh Morning Musume pada 2009 lalu. Pepper Keibu mungkin bukan lagu abadi, justru hal itu menunjukkan sisi hebat dari Pink Lady nan masih menyisakan penggemar di abad ke-21. Dimulai dari band Pink Lady, generasi penyanyi idola bermunculan.
Dari Pasta Hingga Pikiran nan Mengabur
Isi lirik Jepang sangat beragam, sejalan dengan bermacam aliran nan hayati di belantika musiknya. Hal ini tak seperti di Indonesia. Musik nan "terpakai" ialah musik nan mengekor kesuksesan satu musikus dari musikus lainnya. Di Jepang, tak ada istilah musik seragam. X Japan nan menghadirkan aliran Jrock Visual Kei jatuh bangun menjual kaset bersaing dengan musikus pop lainnya.
Tidak ada nan dominan di global musik Jepang selain dua nama nan dikecualikan. Utada Hikaru dan Ayumi Hamasaki. Keduanya barangkali bukan manusia melainkan makhluk planet sebab selalu konsisten menjual berkali lipat musikus lainnya.
Bahkan, keduanya pembayar pajak terbesar hiburan di Jepang. Keduanya pun menjual lirik nan isinya puitis dan penuh teka-teki. Sulit dibaca bagi nan ingin hiburan saja. Ayumi, misalnya. Ada nan mencurigai bahwa dia sebenarnya seorang penyair sebab kedalaman lirik lagu nan dibuat. Sementara, Utada membuat lirik sederhana, tetapi vokalitasnya tanpa tanding di aliran R and B.
Lirik Jepang majemuk bentuk dan menyisakan keanehan bagi nan memahami isinya. Sebagai contoh lagu Otome Pasta ni Kandou, nan dibawakan band Tanpopo nan kurang lebih isinya bercerita tentang hayati gadis muda, bahagia pasta, lupa mengembalikan video rental, namun berujung cinta. Atau, lagu Phantom Minds dari Nana Mizuki nan berisikan cinta nan kabur di antara perasaan itu sendiri atau pikiran nan menyesatkannya.
Kedua lagu tersebut berasal dari aliran musik nan berbeda. Namun, pendekatan lied pada lirik lagunya, menjadikan setiap lagu nan diproduksi di Jepang memang sebaiknya lebih dapat dinilai dari perfomence para penampilnya. Karena, menilai lirik lagu mereka sama-sama intens, rumit, dan bikin pusing.
J-lyric: Intensitas Hayati dalam Lirik Lagu Jepang
Okuru Kotoba