Masa Depan Radio Transistor
Di zaman digital ini, masihkah ada orang nan menenteng radio transistor ? Atau setidaknya menjadikan radio 'berteknologi' baterai itu jadi teman pengantar tidur? Jawabannya teramat jarang, kalau tak mau dibilang sudah langka. Padahal ketika tahun enam puluhan, radio nan bisa dihidupkan dengan energi dari batu baterai tersebut, sempat jadi primadona.
Bukan hanya di pedesaan, masyarakat perkotaan pun tergila-gila dengan kehadirannya. Apalagi ketika itu, listrik belum punya jangkauan nan luas. Masih terbatas di kota-kota besar. Radio transistor pilihannya. Televisi pun belum dimiliki semua orang. Jadilah radio transistor sebagai media buat mendapat informasi dan hiburan.
Ditambah lagi dengan kondisi sosiologis masyarakat nan lebih banyak mendengar radio daripada membaca media cetak (koran atau majalah) dan menonton televisi. Ini sebab aktivitas mendengarkan radio dapat dibarengi dengan kegiatan lain, seperti bekerja. Maka dari itu, sangat jamak terlihat masyarakat saat itu biasa menenteng radio di jalan atau ke sawah/kebun (tempatnya bekerja).
Ketika itu, radio merupakan pilihan primer buat kebutuhan akan info-info mutakhir dan hiburan murah meriah (hiburan rakyat). Siaran seperti warta dari Radio Republik Indenesia (RRI), sandiwara radio, acara berbalas pantun dan salam antar pendengar, pemutaran lagu-lagu daerah, nasional (lagu kebangsaan), dangdut maupun pop, jadi idola. Selalu ditunggu dan dinanti. Layaknya ibu-ibu rumah tangga zaman sekarang, nan tidak sabar menanti tayangan sinetron berseri di televisi.
Lazimnya nan digunakan ialah radio transistor menggunakan 4 sampai dengan 6 baterai. Masa pakainya terhitung lama, yaitu sampai satu bulan jika dipakai setiap hari. Dan bila habis, harus diganti dengan baterai baru. Tapi jika tak mau bersusah payah, baterai nan lama masih tetap dapat digunakan. Syaratnya, dijemur di tengah terik matahari. Baterai lama dapat seperti baterai baru lagi. Sangat praktis dan ekonomis, bukan?
Radio Transistor vs Radio Digital
Seiring bergulirnya zaman, teknologi informasi terus berkembang. Teknologi radio berbasis analog, nan jadi basis teknologi penggunaan radio transistor, berganti menjadi berteknologi digital. Perubahan ini membawa akibat keberadaan radio transistor jadi ditinggalkan dan dilupakan.
Walaupun bagi beberapa kalangan, khususnya masyarakat di perkampungan, radio transistor masih biasa digunakan. Tapi tetap saja, radio bertenaga baterai itu harus rela tergerus oleh perkembangan teknologi.
Lalu, radio digital itu apa? Secara singkatnya radio digital merupakan radio berteknologi frekuwensi digital dalam mengirimkan informasinya. Kelebihannya, suara nan diperoleh lebih jernih dibanding radio analog, kualitas frekuwensi pun jauh lebih bagus. Tak hanya itu saja, fasilitas seperti bisa di- pause , di- rewind , atau disimpan sementara (record) jika ingin mendengarkannya nanti, ada pada radio digital.
Untuk lebih lengkapnya, berikut dapat kita cermati kelebihan radio digital dibanding radio analog (radio transistor):
- Radio digital punya kualitas suara jauh lebih baik dibanding dengan radio analog. Bagus dan jernih. Suara dari radio digital pun lebih tahan terhadap gangguan frekuwensi dari radio lain. Jadi, overlapping (tumpang-tindih) frekuwensi radio lebih kecil kemungkinannya terjadi.
- Adanya layanan nan bersifat interaktif dan ubiquitous . Maksudnya, pendengar radio bisa mengikuti siaran nan disukainya pada waktu kapan saja, di mana saja, dan dengan alat apa saja. Ini akan sangat membantu bagi pendengar nan hendak mengikuti acara voting atau bersifat live , seperti diskusi, talk show, workshop, dan acara-acara homogen nan membutuhkan respons langsung dan segera dari pendengarnya.
- Radio digital punya fasilitas unik seperti Single Frequency Network . Ini membuat satu kanal (saluran) bisa diisi oleh lima sampai enam saluran dari program radio. Sangat efisien dan praktis.
- Spektrum frekuwensi radio digital juga lebih stabil. Tak terkendala pada situasi cuaca seperti pada radio analog.
- Dilihat dari perhitungan ekonomis, radio digital pilihan bijak. Hal itu disebabkan teknologi pada radio jenis ini dapat menekan biaya produksi pada pengadaan infrastruktur dan daya pancar.
- Dipadu dengan sistem digital broadcast , radio digital bisa dimaksimalkan sebagai alat penyebar informasi potensi bala (Emergency Warning System) kepada masyarakat secara massal.
- Dengan seabreg kelebihannya itu, wajar apabila keberadaan radio transistor semakin tersisih.
Bentuk radio transistor nan lebih 'gemuk', juga jadi pertimbangan tersendiri. Dibanding radio digital nan cenderung lebih mungil, radio berbasis analog itu memang punya bodi gede . Bentuknya pun monoton, yaitu persegi panjang dengan pola dekoratif nan tidak semenarik radio digital.
Sebagai kebutuhan sekunder (informasi dan hiburan), radio transistor memang menyediakannya. Tapi, radio digital dengan teknologi nan lebih lengkap dan tampilan lebih molek (menarik), jadi faktor primer berpalingnya hati sebagian besar konsumen radio transistor.
Radio Transistor vs Teknologi Informasi (IT)
Di zaman sekarang, kita mengenal teknologi informasi dengan istilah information technology (IT). Yaitu teknologi jenis dan rupa apa pun nan membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan, dan menyebarkan informasi.
Istilah ini muncul pertama kali dalam sebuah artikel bertahun 1958 nan diterbitkan oleh Harvard Business Review. Adapun jenis IT sangat beragam. Mulai dari komputer pribadi (pc), telepon, televisi, peralatan rumah tangga elektronik, peranti genggam modern (ponsel), dan lain-lain. Radio transistor juga termasuk dalam jenis IT.
IT ialah terobosan revolusioner dalam menyatukan komputasi dan komunikasi berkecepatan super tinggi buat data (teks dan gambar), suara, dan video. Lebih jauh lagi, IT telah menjangkau hal-hal tak terbatas seperti pada perangkat lunak komputer, sistem informasi, perangkat keras komputer, bahasa program, dan data konstruksi.
Bidang-bidang pekerjaan nan di masa sebelumnya (masa ketika radio transistor digandrungi) sama sekali tidak terpikirkan. Jika diringkas, aktivitas apa saja nan membuat data, informasi atau pengetahuan apapun bisa disimpan dan didistribusikan dalam format visual dan audio melalui prosedur multimedia, itu ialah bagian dari IT.
Keberadaan radio (baca: radio transistor) tak terlepas dari perkembangan IT nan spektakuler. Bayangkan saja, hanya dalam beberapa dekade, manusia telah menemukan majemuk media nan semakin memudahkan informasi disebarluaskan. Apalagi ketika munculnya media berbasis online (internet), global pun jadi seolah kampung kecil ( small village) .
Globalisasi melaju tanpa kendala layaknya di jalan tol. Kini, apa nan terjadi di belahan global paling barat, dalam hitungan detik bisa diketahui oleh mereka nan berdiam di belahan global paling timur.
Lalu, bagaimana nasib dan keberadaan dari radio transistor? Walau radio transistor merupakan bagian dari IT, namun ia termasuk jenis lawas. Muncul ketika perkembangan global IT tak sepesat sekarang. Mampukah radio transistor tetap jadi pilihan? Atau setidaknya jadi pilihan alternatif di antara media-media informasi lainnya?
Masa Depan Radio Transistor
Berbicara tentang masa depan radio transistor, harus realistis. Bila saat ini saja, keberadaan radio transistor sudah sporadis ditemukan, apalagi pada berapa tahun ke depan? Apakah radio transistor hanya akan jadi barang antik, dan terlepas fungsinya sebagai salah satu media penyampai informasi bagi masyarakat?
Wajar memang jika pandangan realistis berbau pesimis itu mengemuka. Itulah realitanya. Tapi, sebelum mengambil konklusi mengenai masa depan keberadaan radio transistor, ada baiknya kita cermati salah satu isi warta nan dikutip dari sebuah media online .
Berita tersebut mengabarkan bahwa pada Selasa, 16 November 2010, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyumbangkan sebanyak 2.000 radio transistor kepada para pengungsi korban bala erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman.
Masih menurut warta itu, pemilihan donasi berupa radio (selain donasi pangan dan pakaian) berperan vital sebagai media penyampai pesan moral, memompa semangat, dan motivasi sekaligus wahana hiburan bagi para pengungsi. Dan radio transistor dipilih sebab ia dianggap paling tepat dibanding media penyampai informasi lainnya.
Radio transistor bersifat 'mobile' dan dapat dioperasionalkan menggunakan baterai. Sangat praktis buat situasi dan kondisi evakuasi nan memang membutuhkan sesuatu nan tak ribet.
Dari warta ini, setidaknya kita mendapat wawasan baru bahwa secepat apa pun perkembangan media berbasis teknologi informasi, keberadaan radio transistor masih tidak tergantikan. Ia tetap dianggap sebagai media rakyat. Media nan bisa dimiliki oleh siapa saja dan tanpa perlu bersusah payah menggunakannya.