Chairil Anwar dan Kebudayaan
Senja di Pelabuhan Kecil
Ini kali tak ada nan mencari cinta/Di antara gedung, rumah tua, pada cerita/Tiang serta temali, kapal, bahtera tak berlaut/Menghembus diri dalam mempercaya maut berpaut/Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kepak elang/Menyinggung muram, desir hari lari berenang/Menemu bujuk pangkal akanan.Tidak bergerak /Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak/Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan/Menyisir semenanjung, masih pengap harap/Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan/Dari pantai ke empat, sedu penghabisan dapat terdekap.
Betapa estetika langsung menyeruak dari bait-bait salah satu puisi karya ciptanya berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”. Puisi ini bahkan sampai membuat Taufik Ismail berkunjung ke Pelabuhan Tanjung Priok buat melihat suasana dan penggambaran nan sinkron dengan cerita dalam puisi Chairil Anwar itu. Namun, tidak menemukan sepotong senja laiknya nan tergambar dan tersketsa secara rapi dan mencengangkan sinkron dengan bunyi-bunyi dalam bait itu.
Sebuah puisi nan bersetting di sebuah pelabuhan kecil dimana tidak ada seorang nelayan pun nan hendak melaut. “Ini kali tak ada nan mencari cinta”, menggambarkan manusia-manusia di sekitar pesisir itu berdiam, tak melaut sehingga suasana di tepi bahari itu sepi, muram, dan hanya ditemani oleh semilirnya angin pantai.
Sampai akhirnya, si “Aku” nan bercerita dalam puisi tersebut mengucapkan salam perpisahan pertanda dirinya akan meninggalkan jejak-jejak sepinya di kesunyian pelabuhan kecil itu.
Puisi Deru Campur Debu
Sayang tidak dapat ditolak, sebab komplikasi penyakit dampak gaya hayati nan serampangan Chairil Anwar hanya diijinkan Tuhan buat melihat, mendengar dan merasakan segala kenyataan di global tidak lebih dari 26 tahun.
Namun, di usianya nan sangat pendek itu, ia tergolong manusia langka sebab begitu banyak karya-karyanya. Supaya tidak berserakan, maka diusulkan buat dibuatkan saja antologi puisi Chairil Anwar buat kembali menyapa para penggemarnya.
Dalam antologi puisi bersama dengan teman-temannya Asrul Sani dan Rivai Apin, puisi-puisi Chairil berjudul “Aku”, “Tiga Menguak Takdir”, dan “Kerikil Tajam dan nan Terampa dan Yang Putus” diterbitkan dalam tajuk Deru Campur Debu.
Hal itu merupakan sebuah upaya mengenang almarhum nan telah dianggap sebagai simbol pencetus puisi modern Indonesia. Selain itu, buat mengobati rasa kangen dari para sastrawan-sastrawan lintas generasi buat semakin mengenal sosok Chairil Anwar dari ragam karya-karyanya nan mengagumkan.
Antologi puisi Chairil Anwar banyak mengajarakan tentang kehidupan, cinta, cipta, dan keindahan.
Chairil Anwar dan Kebudayaan
Dalam bidang kesusastraan, terdapat kesamaan nan sama seperti dalam bidang politik. Ketika seseorang telah menunjukkan kepiawaiannya dalam bersastra, maka terdapat semacam kedudukan di tengah masyarakat, khususnya orang-orang nan bergelut di bidang sastra.
Kecenderungan tersebut bahkan lebih terasa kuat di dalam global seni sebab di bidang ini kebesaran seseorang kurang bergantung pada kolaborasi organisasi seperti halnya pada global politik. Dengan demikian, wilayah kedudukan nan dimiliki tiap personal nan terangkum dalam global sastra akan lebih tinggi tempatnya secara politis.
Salah satu sastrawan nan terkenal sebab puisinya ialah penyair Chairil Anwar nan bahkan hingga kini namanya masih melambung dan berbagai puisinya masih dibahas dan dikaji sebagai objek penelitian sastra.
Dalam kebudayaan, terutama kesusastraan, Chairil Anwar dipandang sebagai sosok pribadi nan andal dan berani sebab mampu memberontak sisi lain dari sejarah dan global perpuisian nan sebelumnya bergerak dalam Pujangga Baru.
Ia bahkan dijuluki jalang sebab salah satu puisinya nan mengatakan bahwa /aku ini binatang jalang/ dari kumpulan nan terbuang//. Puisi tersebut bahkan hingga kini menjadi semacam mitos nan sulit digeser dalam kebudayaan sebab telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun, dalam beberapa puisinya, terdapat pula orientasi budaya nan gamang dampak munculnya pesona kemerdekaan nan belum pernah terangkul dalam puisi-puisi sebelumnya.
Jika dalam puisi Balai Pusataka dan Pujangga Baru, para penyair menyibukkan dirinya buat dapat merdeka dari berbagai macam penjajahan serta memberikan seruan nan lebih bernilai religius, maka angkatan 45 ternyata memiliki sesuatu nan dapat dibilang berada di garis perbatasan.
Perubahan bentuk puisi Chairil Anwar merupakan salah satu bukti bahwa ada perubahan bukti diri bangsa Indonesia dari terjajah menjadi merdeka. Akan tetapi, di sisi lain, hal tersebut juga justru memberikan makna lain dalam kebudayaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, mau dibawa ke mana bangsa Indonesia ini bergerak? Mungkin hal itu nan menjadi pertanyaan bagi para penyair angkatan 45 nan mulai merenungi nasib bangsanya nan sudah meredka, namun belum dapat memiliki apa-apa buat dijadikan sebuah hakikat bernegara.
Orientasi budaya nan seperti ini sepertinya dirasakan pula oleh masyarakat zaman sekarang nan tengah tergamangkan oleh adanya peradaban dan modernisasi dalam ruang lingkup nan luas sehingga kebudayaan menjadi tersamarkan, bahkan terlihat seperti hilang.
Antara Eropa dan Indonesia
Kenyataan bahwa Chairil Anwar berada dalam global perbatasan ialah ketika ia banyak menyisipkan kata-kata baru nan belum muncul dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, adanya kegigihan Chairil Anwar dalam membewarakan sajaknya merupakan wujud bahwa ia ingin menemukan kembali identitasnya sebagai bangsa Indonesia tanpa campur tangan bangsa Eropa nan dahulu telah menjajah negerinya.
Dengan kata lain, penjajahan sepertinya bukan hanya sebagai sesuatu nan menakutkan dan menguras keinginan buat merdeka, tapi juga sebagai sesuatu nan mencemari tanah kelahiran bangsa Indonesia buat dapat bangkit sebagai dirinya sendiri.
Bahkan dalam beberapa puisi cinta pun, Chairil senantiasa memperlihatkan betapa negara-negara Eropa telah memperlakukannya dengan amat mulia sekaligus kejam sehingga cinta pun tak dapat lagi selembut seharusnya, tapi lebih pahit daripada nan seharusnya.
Puisi-puisi perjuangan nan dibuat oleh Chairil bukan lagi semata-mata buat mendokumentasikan apa nan telah dilakukan oleh para pejuang tanah air, melainkan bagaimana nasib bangsa ini ke depannya ketika para pejuang tersebut sudah tak ada lagi, penjajahan dalam bentuk tindakan nan kejam sudah tak ada lagi, dan manusia Indonesia masih mengingat zaman sejarah ketika orang tua mereka dijajah oleh bangsa lain.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa hampir setiap puisi dapat menerka apa nan teradi pada zamannya, serta apa nan akan terjadi pada zaman berikutnya setelah para penyair tersebut telah tiada. Chairil Anwar sukses memberikan fakta bahwa pada kehidupan selanjutnya, salah tujuan budaya bangsa Indonesia akan segera terjadi dan masyarakat Indonesia akan menemukan konflik budaya nan lebih mencengangkan dibandingkan dengan penjajahan oleh bangsa lain.