Pakaian Tradisional buat Pejabat Negara, Para Cendikiawan
Sandang tradisional aceh , seperti baju tradisional dipengaruhi oleh kebudayaan dan kehidupan sosial dari masyarakatnya. Di mana suku Aceh menjadi suku nan masyrakatnya menjadi penduduk mayoritas dari propinsi Nangroe Aceh Darussalam nan terkenal dengan kehidupan islaminya. Selain suku Aceh, suku-suku lain nan mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu suku Tamiang nan mendiami Kabupaten Aceh Timur Bagian Timur, suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara, Aneuk Jamee di daerah Aceh Selatan, suku Naeuk Laot, Semeului dan Sinabang nan berada di Kabupaten Semeulue.
Setiap suku memiliki pola pikir dan budaya masing-masing, nan masih dipengaruhi oleh adat istiadat Melayu. Di mana setiap kegiatan, anggaran nan berlaku dan tingkah laku masyarakat disesuaikan dengan hukum syariat Islam. Ini disebabkan sebab masala lalu Provinsi ini memang diuassai kesultanan islami nan kebudayaannya terus berkembang hingga saat ini. Ini disebabkan karana pada zaman dahulu kala, Suku Aceh ialah suku pertama di Indonesia nan mendirikan Kerajaan Islam dan penduduknya memeluk agama Islam.
Syiar agama Islam ini pun tak hanya terjadi di tanah suku Aceh, tetapi juga menyebar dan berkembang hingga sekarang di sebagian besar wilayah Nangro Aceh Darusalam. Itulah mengapa, Nangro Aceh darusalam ini mendapatkan penghargaan terkait keistimewaan syariat Islamnya, bahkan disahkan oleh Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.
Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hayati sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) nan didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Sayriat islam ini menjadi sebuah budaya di Aceh, bahkan buat baju sehari-harinya pun harus sinkron dengan prinsip ajaran Islam. Wanita di Aceh harus memakai baju nan menutup aurat, yaitu di bawah kaki hingga tumit, begitu juga lengan badan dan rambut nan harus ditutupi. Pada zaman dahulu, dalam berpakaian para wanita Aceh biasanya harus menggunakan celana panjang. Perkembangan zaman akhirnya merubah Norma ini, di mana saat ini masyarakat Aceh lebih suka menggunakan kain sarung dan blus batik, akan tetapi masih dalam keadaan tertutup aurat.
Maysarakat Aceh sangat menjunjung tinggi tata krama dalam kehidupan mereka. Itupun harus diikuti oleh warga asing nan masuk ke daerah mereka. Ketika dua orang bertemu, mereka harus saling menyapa dengan mengucapkan "Assalaamu'alaikum". Kemudian harus dijawab dengan jawaban "Walaikum Salam".
Adanya tata karma dan adab kesopanan di Aceh tak lain juga sebab dipengaruhi oleh adanya tingkatan lapisan sosial. Di mana pada zaman kesultanan, tiap tingkatan itu dibagi dengan keluarga Raja, Bangsawan, Ulama dan warga biasa. Itulah sebabnya, di zaman dahulu baju Adat Aceh ini disesuaikan dengan tingkatan mereka sinkron taraf penghormatannya.
Pakaian Tradisional buat Raja dan Keluarga Kerajaan
Pada zaman dahulu, seorang Raja beserta keluarganya akan menggunakan baju nan bernama Ulee Balang. Dimana baju tersebut sangat megah dengan dihiasi dengan berbagai aksesoris nan terbuat dari emas asli. Sandang Ulee Balang ini sangat terkenal dan dikagumi oleh orang banyak. Desainnya sangat unik, dengan corak nan sangat latif dan memukau mata. Pada coraknya sendiri penuh dengan balutan emas, begitu pula dengan alas kepala.
Pakaian Tradisional buat Cut (bangsawan) dan Para Ulama
Ulee Balang juga digunakan oleh para bangsawan dan para ulama ketika itu. Motif atau coraknya hamper sama. Akan tetapi perbedaannya terlihat dari kesederhanaan pakaiannya nan tak dibaluti oleh emas.
Pakaian Tradisional buat Pejabat Negara, Para Cendikiawan
Berbeda dengan keluarga istana dan ulama, para pejabat istana dan cendikiawan biasanya akan mengenakan busana Patut-patut nan menandakan bahwa mereka hanya orang kalangan menengah nan memiliki jabatan spesifik di pemerintahan.
Pakaian Tradisional buat Rakyat Jelata
Rakyat jelata sendiri merupakan m asyarakat kecil nan tak memiliki kedudukan di Aceh. Mereka tak berpendidikan dan tak dipentingkan. Untuk itulah dalam berpakaian mereka tak memperhatikan bahan, atau motif tertentu.
Pakaian Tradisional Aceh
Seiring dengan perkembangan jaman saat ini, baju tradisional Aceh nan masih dapat ditemukan ialah baju Ulee Balang. Sandang ini sudah mengalami modifikasi pada bahan dan bentuknya, sebab biasanya nan menggunakan busana ini ialah para pengantin. Selain itu, penggunaan emas murni pada baju ini juga sudah tak digunakan lagi.
Untuk Laki-laki:
Baju Adat Aceh nan digunakan dalam upacara pernikahan memang memiliki banyak varian. Biasanya, sang pengantin pria harus menggunakan celana berwarna hitam dengan bahan katun. Pada zaman kerajaan, celana ini biasanya menggunakan Sutra, tapi saat ini sudah tak terlalu dipermasalahkan lagi. Pada ujung bawah celana memiliki model nan agak lebar. Walaupun sudah tak lagi memakai emas murni, namun celana ini tetap disulam dengan benang berwarna emas, agar tetap terlihat memukau.
Setelah menggunakan celana, kemudian pada bagian pinggang celana hingga 10 cm di atas lutut akan dililit kain dengan bahan sutera. Setelah itu, sang pengantin akan menggunakan pakaian berlengan panjang nan memiki bentuk kerah Cina. Pada leher bagian depan, ujung tangan dan saku akan disulam motif pucuk rebung dengan benang emas. Pada salah satu lubang kancing dari baju tersebut akan disematkan tali jam nan memiliki bentuk seperti rantai.
Tidak lupa kopiah nan memiliki bentuk seperti topi bangsa Turki, nan lingkaran kelilingnya akan dikaitkan kain tengkuluk, yaitu homogen kain sutra serta kasab benang emas dengan ukuran 95x95 cm. Kain ini dilipat hingga memiliki bentuk menyerupai piramida, dan bagian atasnya dihiasi tampuk kopiah.
Untuk hiasan lain pada kopiah yaitu dipasangnya rumbai-rumbai nan terbuat dari permata dan emas. Tidak ketinggalan rencong nan merupakan senjata khas Aceh. Rencong ini akan diselipkan sang pengantin sebagai senjata di pinggangnya. Di mana senjata ini umumnya memiliki hiasan emas dan permata.
Untuk Perempuan:
Tidak hanya penganti pria, pengantin wanita juga menggunakan celana, nan biasanya terbuat dari bahan katun atau kain panel. Celana buat penganti wanita biasanya agar lebar para bagian pinggang dan menyempit di bagian kaki. Sulaman dengan benang emas agar menghiasi ujung kaki dengan motif saluran daun, pucuk rebung, dan kembang tabur. Celana ini akan ditumpuk dengan kain songket nan harus menutupi sebagian celana dan baju. Agar tak mudah lepas, maka kain ini dikencangkan menggunakan seutas tali pinggang nan terbuat dari bahan perak dan emas.
Pengantin perempuan akan menggunakan pakaian dengan lengan panjang berbahan beludru merah, nan memiliki kerah bulat serta kancing pada bagian depan. Baju ini akan memakai aneka perhiasan, sehingga tak menggunakan hiasan sulaman. Aneka tubuh pengantin wanita biasanya akan diberi hiasan, mulai dari kaki, pinggang, leher dan kepala nan terbuat dari perak, emas, permata, suasa, dan lainnya.
Pada bagian dahi akan diberi hiasan dari bahan emas dan perak nan berbentuk sulur dan ukiran kaligrafi. Di bagian kepala atas akan diberi tusuk sanggul dengan bentuk kembang sunting, penyekam rambut, serta mainan berbentuk rumbai-rumbai . Untuk kalung biasanya terbuat dari buah eru, dan hiasan dada nan memiliki bentuk menyerupai bulan sabit.
Tidak lupa pada bagian tangan juga akan berjejer perhiasan. Pada lengan di atas siku sebelah kiri dan kanan memakai gelang, gelang pucuk rebung pada pergelangan kedua tangan, serta cincin pintu aceh di jari manis. Untuk bagian kaki, di pergelangan sebelah kanan dan kiri akan dipakaiankan gelang kaki dengan ukiran pilin tali, dengan jalur-jalur mengkilap nan biasanya disebut sebagai teknik cane intan.
Pakaian tradisional Aceh ini masih ada hingga sekarang selain sebagai baju pengantin juga buat melestarikan bukti diri budaya Aceh dengan baju tradisionalnya nan sopan dan sinkron syariat Islam.