Problematika Kesenian Ketoprak
Dulu, Kesenian Ketoprak memiliki loka nan begitu istimewa di lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Namun, coba tanya kepada anak muda sekarang, "Apa itu kesenian ketoprak?" Jawabannya mungkin akan terdengar menyedihkan. Kalau bukan, "Itu kan nama makanan," nan paling mendekati sahih adalah, "Itu kan tayangan lawak di televisi."
Miris memang, melihat empiris kata 'ketoprak' nan adiluhung itu kini inheren pada makanan dan lawakan. Sebab, dua hal itu nan terkomunikasi pada generasi sekarang. Coba saja lihat, di mana kita dapat menemukan pertunjukan Kesenian Ketoprak nan masih mengemban pakem pertunjukan nan sebenarnya?
Jika di era 80-an, banyak tobong Kesenian Ketoprak menangguk untung dari tiket pertunjukan nan tidak pernah sepi pengunjung atau tayangan Kesenian Ketoprak di TVRI nan menjadi acara favorit dan merajai prime time , maka sekarang jangankan berlaga di layar kaca, pertunjukan live -nya pun hanya dihadiri segelintir orang nan bahkan kalah banyak dibanding jumlah pemain.
Sudah matikah Kesenian Ketoprak? Jangan sekali pun men judge bahwa Ketoprak telah mati. Mungkin saat ini memang kesannya demikian. Tapi tunggu beberapa saat lagi, sebab para pegiat Ketoprak nan tersisa takan pernah rela membiarkan kesenian nan dicintainya wafat dan lenyap begitu saja.
Nah, buat mengingat kembali kejayaan-kejayaan nan pernah diraih Kesenian Ketoprak, tidak ada salahnya jika kita sama-sama mengulas tentang sejarah Kesenian Ketoprak. Selain itu, kita juga akan mencari tahu akar problematik dalam Kesenian Ketoprak dan mencari solusi terbaik buat mengangkat kembali gambaran Kesenian Ketoprak.
Sejarah Kesenian Ketoprak
Kesenian Ketoprak ialah kesenian rakyat nan memadukan seni drama, musik, dan sastra sekaligus. Kesenian Ketoprak ini tumbuh fertile di Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta sebagian daerah Jawa Timur. Dahulu, Kesenian Ketoprak ini tumbuh fertile di daerah tersebut. Kesenian Ketoprak menjadi salah satu pertunjukan nan menghibur masyarakat.
Kesenian Ketoprak bermula dari permainan rakyat menabuh lesung pada bulan purnama nan disebut gejogan. Awalnya, tabuhan lesung ini menjadi pengiring nyanyian dolanan, nan kemudian dimasukkan unsur cerita ke dalamnya sehingga membentuk suatu teater sederhana. Keanggunan sastra terlihat pada penggunaan bahasa nan latif dan sastrawi.
Kesenian Ketoprak semakin menemukan bentuknya dengan rangka penopang berupa cerita Babad Tanah Jawa . Cerita tersebut sangat menarik. Apalagi, diperkaya dengan cerita-cerita legenda bahkan mengadaptasi cerita dari luar negeri. Meskipun begitu, Kesenian Ketoprak tak pernah memainkan lakon nan diambil dari repertoar Mahabharata maupun Ramayana.
Beberapa lakon Kesenian Ketoprak nan terkenal misalnya: Darma-Darmi, Kendana-Gendini, Aryo Penangsang Mati Ngadeg, Warok Suramenggala, Abdul Semararupi, Panji Asmarabangun, Klana Sewandana, Ande-ande lumut, Anglingdarma, Rara Mendut-Pranacitra, Damar Wulan , dan sebagainya.
Kesenian Ketoprak nan Semakin Redup
Industri hiburan nan berkembang dahsyat belakangan ini telah menggeser eksistensi kesenian ketoprak. Global industri hiburan berorientasi pada kapitalisme, dan minat publik telah berpaling ke bentuk hiburan nan lebih masal seperti televisi.
Televisi berlomba-lomba membuat tayangan modern dan mengabaikan kesenian-kesenian tradisional nan dinilai tak lagi mampu menghimpun penonton. Kesenian rakyat pun megap-megap sakaratul maut. Ketoprak sedang menanti detik-detik kematian sebab tobong-tobong ketoprak ditinggalkan penghuni, bangku-bangku pertunjukan kosong melompong, dan televisi semakin pelit memberi ruang.
Kalaupun ada media nan masih menggandeng Kesenian Ketoprak, itu hanya RRI Daerah Istimewa Yogyakarta. Menyedihkan, bahkan penyiarannya hanya sebulan sekali, sangat jauh dari cukup buat membuat Kesenian Ketoprak dikenal generasi muda.
Problematika Kesenian Ketoprak
Siapa nan patut dipersalahkan atas musnahnya kesenian rakyat ini dari anjung hiburan masal? Banyak hal nan menyebabkan semua ini dapat terjadi. Namun, alasan primer menghilangnya Kesenian Ketoprak ini datang dari para penggiatnya sendiri.
Tak dapat dipungkiri, kemacetan kreatif di dalam tubuh kesenian rakyat, khususnya Kesenian Ketoprak menjadi penyebab primer ditinggalkannya kesenian ini. Kebanggaan dan kecintaan tidak terwariskan kepada generasi berikutnya dampak kejenuhan, miskin inovasi, dan tak mampu menampung gelegak pembaruan.
Kesenian modern dalam industri hiburan dewasa ini lebih memanjakan penonton, serta menawarkan pengalaman baru. Tak sepenuhnya dapat disalahkan mengapa gemerlapnya dapat memalingkan perhatian masal dan membuat kesenian rakyat jauh tertinggal di belakang.
Penyebab lainnya ialah kurang mampunya pelaku kesenian dalam mengelola penonton. Pertunjukan Kesenian Ketoprak dinilai tak lagi menampilkan kesan atraktif dan kreatif. Itu sebabnya kesenian tersebut gagal bertarung di tengah riuhnya industri hiburan modern.
Kesenian Ketoprak Wajib Berbenah
Agar dapat bertahan di tengah gempita global hiburan, tidak dapat tidak, Kesenian Ketoprak dan kesenian daerah lain harus berbenah. Sine qua non upaya kreatif nan menyeluruh buat menarik kembali hasrat publik. Pekerja seni tradisional harus menemukan formula pertunjukan nan kreatif, atraktif, dan komunikatif.
Kita tak dapat mengandalkan donasi pemerintah buat memberikan "napas buatan" pada kesenian daerah nan sekarat di ambang kematian. Masyarakat harus disadarkan mengenai warisan budaya sebagai kekayaan seni nan tidak ternilai harganya.
Angin segar itu bertiup saat mulai ditemukan upaya pembaruan Kesenian Ketoprak menjadi bentuk baru nan mengakomodasi kemodernan. Sebutlah misalnya Kesenian Ketoprak Ringkes nan saat ini mengalami perkembangan cukup baik di Yogyakarta.
Kesenian Ketoprak Ringkes mengakomodasi minat masyarakat terhadap isu-isu aktual, memadukan ketoprak klasik dengan adaptasi situasi politik sosial nan sedang hangat diperbincangkan. Ditambah sentuhan lawak satire, Kesenian Ketoprak Ringkes menjadi alternatif tontonan nan segar, lucu, dan membuka wawasan.
Beberapa kelompok drama di Jawa Tengah memasukkan unsur musikal nan bersahabat dengan telinga anak muda, misalnya menambahkan sentuhan violin, keyboard , gitar, bahkan drum. Lagu pengiringnya mengambil koleksi lagu-lagu pop nan sedang " in ."
Lain lagi nan dilakukan Lembaga Artis Gumregah, Yogya. Mereka membuat pembaruan tata anjung dengan memasukkan unsur teater modern. Anjung menjadi multiseting, dan pengadeganan lebih menarik. Ditambah lagi dengan memasukkan ilmu tari tari kontemporer, sehingga adegan peperangan lebih bergerak maju dan dramatik.
Bangkitlah Kesenian Ketoprak!
Kesenian Ketoprak memang cenderung dianaktirikan-jika tidak mau disebut dibuang-dalam pentas industri. Menanti perhatian pemerintah bagaikan menunggu cendawan tumbuh di musim kemarau. Kita boleh berharap pemerintah berbaik hati menggelar festival Kesenian Ketoprak, atau lomba, dan sejenisnya nan dapat membuat kesenian ini hidup. Atau, boleh juga berharap global pendidikan mengakomodasi ketoprak sehingga masuk dalam kurikulum pendidikan.
Ah, tapi selagi itu semua masih harapan, ada baiknya kita memulai dengan meminati Kesenian Ketoprak ini. Minimal dengan mempelajari dan menyelami keindahan nan terkandung di dalamnya. Seperti pepatah uzur, "Lebih baik menyalakan lilin daripada memaki kegelapan."
Sudah saatnya bagi para penggiat Kesenian Ketoprak buat bangkit. Sudah saatnya bagi mereka buat menciptakan kemasan baru dan kembangkan kreativitas baru bagi kesenian ini. Jangan mau kesenian nan adiluhung ini hilang tidak berbekas. Masyarakat Jawa, khususnya generasi muda, tentu tak ingin mengetahui kebesaran Kesenian Ketoprak ini hanya dari mulut ibu bapak dan kakek neneknya saja.