Kritik terhadap Harian Kompas

Kritik terhadap Harian Kompas

Siapa nan tak kenal harian Kompas ? Tampaknya Indonesia akan selalu berterima kasih pada Petrus Kanisius Ojong atau P.K. Ojong dan Jacob Oetama. Indonesia akan selalu memberikan buminya pada P.K. Ojong dan Jacob Oetama sebab telah memberikan salah satu harian terbesar di Indonesia, yakni Harian Kompas.

Harian Kompas lahir pada 28 Juni 1965. Harian Kompas mampu mengangkat baku jurnalisme Indonesia, yakni baku buat bertahan, dan terus melayani, sebagaimana nan telah mereka lakukan pada Indonesia selama 47 tahun. Kemunculan Harian Kompas dipenuhi mitos pendirian, nan sebenarnya merupakan suatu azimah , bahkan namanya sendiri ialah pemberian dari pendiri republik ini, Ir. Soekarno langsung.

Harian Kompas ini pada awalnya dimaksudkan buat menjadi koran politik suatu kontestan partai politik bernuasa keagamaan (katolik), menginjak tahun 1964 Presiden Soekarno mendesak Partai Katolik buat mendirikan suatu forum nan bergerak pada bidang koran.

Atas desakan tersebut, Partai Katolik pun langsung merekrut beberapa wartawan bulanan pada media Intisari dan secara kebetulan merupakan tokoh Katolik terkemuka pada masa itu, seperti Frans Xaverius Seda, P.K. Ojong, Policarpus Swantoro, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, R. Soekarsono.

Para jurnalis itu mengadakan rendezvous bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik, dan Partai Katolik. Semua nan tergabung dalam rendezvous itu sepakat mendirikan Yayasan Bentara Rakyat. Dari Yayasan Bentara Rakyat itulah terlahir media Harian Kompas.

Harian Kompas lantas berkembang menjadi harian nan merupakan milik semua agama, kesamaan politik, dan bahkan memperkenalkan pula batasan-batasan suatu surat kabar nan harus netral secara ideologis. Dan selain itu, media ini hanya mengabdi pada rakyat, sebagaimana slogan Harian Kompas itu sendiri. Amanat Hati Nurani Rakyat .

Begitu banyak pula sprektum sinar nan terpancar dari tubuh Harian Kompas, menghasilkan bibit perubahan dan bahkan telah tumbuh dewasa hingga bermanfaat di berbagai bidang dan dimensi nan pernah dilewatinya. Sebagai contoh, kelahiran lini usaha di bawah naungan Harian Kompas, nan berawal dari satu dua kolom harian ini, menyiratkan bahwa kepentingan buat melayani kerja kejurnalistikan begitu luas.

Walau terkadang, ada pula semacam kode generik nan perlu disepakati para jurnalis di bawah naungan Harian Kompas, nan syahdan harus mampu beradaptasi dengan situasi politik di Indonesia. Jurnalisme tak harus terlampau idealis face to face dengan penguasa lalim, jurnalisme juga harus optimis mampu berdiri sama tinggi dengan penguasa tersebut.

Surat kabar nan netral Harian Kompas memang pernah di bredel penguasa pada 1978 sebab dituding menyebarkan berita-berita sesat. Bahkan menurut Pangkopkamtib Soedomo "tindakan itu dilakukan buat memelihara ketenteraman generik dan menghindarkan tersebarnya berita-berita nan menyesatkan masyarakat.", dan diibaratkan menganggu stabilitas nasional, tentu saja nan dimaksud ialah stabilitas kekuasaan orde baru. Setelah kejadian itu, pendekatan Harian Kompas pada kekuasaan berubah.

Harian Kompas tetap menjadi ‘hati nurani rakyat’ walau tak harus terang-terangan di headline . Melawan melalui klik-klik budaya popular nan dilahirkan oleh media sampingannya, nan diterbitkan dan dibiayai dari kas Harian Kompas sendiri, di bawah naungan Group Kompas Gramedia, semisal majalah Jakarta-Jakarta .

Bahkan tetap melawan dalam kehalusan sebagaimana nan ditampilkan pada kolom-kolom budaya (sebenarnya kolom politik) tersembunyi melalui sindiran-sindiran nan tajam, misalnya khas kolom Asal-Usul, nan terbit setiap Minggu, dan pernah melambungkan kolumnisnya sendiri ke jajaran jurnalistik dengan tulisan politik tanpa tanding di Indonesia, H. Mahbub Djunaidi.



Corong Kelas Menengah Indonesia

Bentuk perlawanan lain dari suatu surat kabar nan dikerangkeng ialah melahirkan para pemikir nan tak dikerangkeng. Harian Kompas memang netral, tapi lulusannya galak-galak dan tukang gigit penguasa.

Kolumnis tetap Kompas, seperti M. Sobari, Ariel Heryanto, Abdurrahman Wahid, dan Amien Rais, begitu rajin mengkritik pemerintah Orde Baru, melalui komentar-komentar nan dimuat pada Harian Kompas.

Mempertahankan sisi kenetralan dengan gaya semacam itu, merupakan esensi sense of crisis nan punya dimensi tersendiri. Bukan menjadi penjilat, tapi lebih kepada melayani para ratusan ribu pembaca setia. Untuk apa menjadi idealis, bila tak dapat lagi melayani.

Segmentasi Harian Kompas sebenarnya buat semua kalangan nan memiliki uang Rp 3.500 saja. Bila dibandingkan dengan koran nasional lain, harganya bersaing. Dengan range ekslemplar sebanyak 500.000, dan mencapai 600.000 pada hari Minggu, dengan pembaca sebanyak 2.5 juta orang, Harian Kompas dapat disebut sebagai koran terbesar di Asia Tenggara.

Bukan hanya soal uang saja, konten Harian Kompas ditujukan buat pembaca kalangan menengah ke atas. Para pengusaha, mahasiswa, karyawan, politikus, dan intinya mereka nan telah mapan, dan bersedia mencerna pemberitaan-pemberitaan dengan gaya bahasa nan sedikit banyak pembacanya harus terbiasa dengan istilah serapan.

Bersumber dari angket pembaca Harian Kompas, pembacanya 57% pria, 54% golongan menengah ke atas, dan 60% usia produktif 20-40 tahun. Dari data tersebut sebenarnya sudah dapat dipahami seberapa besar pengaruh Harian Kompas pada bangsa Indonesia ini.



Kritik terhadap Harian Kompas

Walau menjadi corong kelas menengah, Harian Kompas mengabarkan peristiwa keseharian tanpa memandang kelas sosial. Tentu saja ini menjadi karakteristik khas dari media besar, namun dapat merupakan kritik sendiri pada Harian Kompas nan berkaitan dengan keberadaanya sebagai kekuatan keempat.

Terdapat pertanyaan sentral, “Jika Kompas merupakan hariannya kelas menengah berdasarkan survey di atas, maka kegagalan kelas menengah dalam merumuskan arah Indonesia kepada pembangunan manusianya, dapat jadi merupakan kesalahan Harian Kompas juga?”

Pertanyaan kritis tersebut spesial milik Harian Kompas, nan telah sekian lama melayani pembacanya. Harian Kompas seharusnya mampu lebih baik lagi mengarahkan pembacanya nan merupakan pelaku sejarah riil di Indonesia.

Walaupun begitu, adapula kritik berujung cacat nan sempat inheren pada Harian Kompas, nan uniknya datang dari unlikely consument , alias dari golongan Islam sempalan nan garis keras nan memandang Harian Kompas merupakan medianya orang Katolik.

Uniknya, Harian Kompas sendiri bagi golongan Islam pada umumnya, kurang peka memenuhi kebutuhan muslim sebagai penganut mayoritas di Indonesia. Terutama dalam perkara nan sama-sama unlikely /tidak disangka, yakni peran Harian Kompas buat menjaga Indonesia tetap sekuler, tak jatuh kepada golongan manapun.

Sementara itu, kritik pembaca dari kalangan kelas menengah lebih menyoroti Harian Kompas nan terlalu soft pada penguasa padahal situasi telah berubah, dan demokratisasi tengah dibangun. Mustahil pencapaian demokratis di Indonesia dicapai tanpa peran surat kabar terbesar seperti Harian Kompas.

Menjelang hari jadinya nan ke-50 tahun Harian Kompas, nan tak lain merupakan ulang tahun emasnya, rakyat Indonesia sebenarnya tengah menanti ulang tahun sebagian jiwa mereka sendiri. Karena pelayanan media massa kepada rakyat lebih intim dan terasa dibandingkan pelayanan pemerintahan kepada rakyatnya.

Media berdiri sejajar dengan rakyat, media dapat tunduk pada rakyat, sementara pemerintah belum tentu. Harian Kompas telah menjadi baku baru nan dapat dibandingkan dengan harian lain di luar negeri. Kekuasaan ada pada Harian Kompas, tinggal menanti hasilnya nan harus diterima rakyat Indonesia.