Menghapus Tatto - Pendapat Al-Imam An-Nawawi
"Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah kreasi Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa nan menjadikan setan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian nan nyata."
Surat An-Nisa (4) ayat 19 tersebut dijadikan pijakan bagi para ulama Islam buat mengharamkan tato . Relevansi ayat di atas nan menceritakan tipu daya setan kepada suatu kaum, sebenarnya "menembak" mereka nan hendak mengubah dan melakukan modifikasi genetis (kloning, invitro, mutagen) seperti nan diperlihatkan ilmuwan nan mengikuti projek genom dengan cara membuat varian bagian-bagian tubuh, menciptakan duplikat dengan sel tunggal manusia atau hewan. Akan halnya, ayat tersebut ternyata dapat dikhususkan buat melarang tato.
Ayat Al-Quran telah "membaca" zaman jauh sebelum kejadian nan sebenarnya tiba. Ternyata, manusia dapat mengubah bentuk dan bagian tubuh sekehendaknya, menciptakan duplikat binatang. Tentu saja, masalah etika dikesampingkan dari inovasi terkini ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, ayat nan selama ini digunakan buat melarang segala jenis tato itu, lebih tepat disampaikan kepada mereka nan melakukan projek genom manusia nan memang merusak dan kontroversial. Karena dalam Islam sendiri terdapat dua pendapat, nan membolehkan dan nan melarang. Yang melarang berdasarkan ayat di atas dipraktikkan oleh Muslim Sunni, sedangkan nan tak melarang dipraktikan oleh Muslim Syiah. Alasan Muslim Syiah tak melarang tato sebab tak ada hadits nan spesifik buat melarangnya.
Indonesia merupakan negerinya kaum Muslim Sunni. Oleh karenanya, sebagian besar orang Indonesia kikuk menghadapi tato. Bagi mereka nan puritan perdebatan tentang tato selesai sampai di klarifikasi ayat di atas. Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya, nan lebih permisif dan terbuka, membawa tato ke wilayah kultural dan tak lagi ke wilayah religi. Yang menolak dari wilayah ini menegur bahwa tato ialah Norma asing nan harus ditolak. Ini patut dipertanyakan sebab tato ternyata merupakan warisan budaya Indonesia dari zaman prasejarah, dan masih dipraktikkan oleh beberapa suku tradisional hingga saat ini, seperti Suku Mentawai, suku Dayak, suku Sunda, Suku Dani, suku Asmat, suku Belu, suku Sumba, dsb. Sehingga perdebatan tentang bolehnya tato atau tak bergeser dari ranah religi ke ranah seni.
Bolehkah Bertatto?
Jika sudut pandang Anda hanya berbatas pada aktualisasi diri seni, bahkan ritual dari nan telah Anda yakini, maka pendirian semacam itu tak ada kaitannya lagi dengan moralitas masyarakat nan masih enggan melihat kulit manusia dikotori dengan segala macam coretan. Namun, di masa modern ini, tato telah menjadi benda komplemen, benda nan diwajibkan ada mengikuti kesamaan pasar, melalui musik, budaya, dan sebagainya. Abdul Kadir Olong dalam bukunya Tato (2005) menuliskannya:
“Konsekuensi logis nan terjadi ialah tato menjadi budaya pop, bahkan budaya massa dengan segala ikon nan disandangnya. Budaya pop kaum muda ini bisa eksis di negara-negara nan telah maju maupun sedang berkembang. Salah satunya ialah Indonesia. Mengguritanya budaya pop ini tentu tak lepas dari derasnya berbagai arus informasi, propaganda, liberalisme nan menyulap batas-batas negara menjadi sangat kabur.”
Era musik 1970-an, dikenal musik punk-pyschedelic nan berkembang di Inggris melalui banyak band underground. Pengaruhnya, sampai ke Amerika Utara, terasimilasi dengan musik folk rock n’ roll, dan mengemuka menjadi musik metal. Musik ini merupakan musik nan mengawinkan antara unsur punk-retro dan rock n’ roll, karakteristik utamanya ialah permainan distorsi gitar, namun karakteristik primer seniman musiknya ialah penampilan glamour dan tato.
Jika dahulu di Indonesia tato nan digunakan oleh para gangster, gali, atau partikelir sedikit banyak berakar dari penggunaan tato oleh forum beladiri nan berakar jauh di kebudayaan Cina, sama halnya dengan tato nan dibuat berdasarkan alasan-alasan religius, buat kepentingan spiritual. Seperti tato bagi masyarakat mentawai.
Ady Rosa menulis bahwa tato dibuat tak semata-mata buat menghiasi tubuh tetapi merupakan ungkapan dari kepercayaan mereka. Mereka memandang tato sebagai baju abadi nan mereka pakaian sampai mati. Itu dulu. Maka kini, di Indonesia tato merupakan gaya hayati urban. Boleh tidaknya, maka tinggal minta izin pada orang tua masing-masing. Dan, apabila ada nan mencibir gaya Anda bertato, itu risiko Anda sendiri.
Tatto dalam Pandangan Islam
Tato ialah konduite nan salah dan tak pantas dilakukan oleh anak muda, remaja, maupun orang tua nan beragama Islam. Menghiasi tubuh dengan tato ialah perbuatan menganiaya diri sendiri. Tato bukanlah berhias, melainkan merusak kulit tubuh sendiri. Orang nan bertato, hukumnya tak absah jika melaksanakan salat sebab air wudhu sulit menembus bagian kulit nan ditato. Kesimpulannya, bertato bagi umat muslim itu haram hukumnya.
Menghiasi bagian tubuh -yang bukan termasuk kewajiban dibasuh saat wudhu- dengan tato seperti di dada dan bagian dalam tubuh nan lain, juga tak diperbolehkan. Meskipun terdapat tato di bagian dalam tubuh nan bukan panca indera, seperti tangan dan kaki, tetap saja hal ini akan menghalangi kesucian saat orang nan bertato tersebut melakukan mandi junub atau mandi besar setelah melaksanakan interaksi suami istri. Dengan demikian, salatnya pun tak sah.
Bagaimana jika seseorang nan bertato kemudian sadar, bertaubat nasuha serta ingin menjadi muslim serta ingin melaksanakan salat? Jika memang orang nan bertato tersebut telah bersungguh-sungguh tobat kepada Allah Swt., tentunya hal ini msauk ke dalam klasifikasi darurat. Artinya, berdoalah memohon kepada-Nya mudah-mudahan Allah Swt. menerima semua amal ibadah salat dan mandi junub orang nan bertato tersebut.
Dalam Islam itu ada pintu darurat dan bisa diartikan yaitu hal-hal nan sebelumnya haram mungkin saja berubah menjadi halal sebab faktor kedaruratan tadi (orang bertato nan taubat). Oleh sebab itulah, sebagai seorang muslim lebih baik tak mendekati tato, apalagi sampai bertato.
Bertato pada akhirnya akan mempersulit diri sendiri dalam beribadah kepada Allah Swt. Spesifik buat para remaja, orangtua atau pihak keluarga harus melakukan pendekatan secara hati-hati berkenaan dengan masalah tato ini. Remaja tak bisa dilarang dengan cara-cara nan keras atau kasar, terlebih masalah nan berhubungan dengan sesuatu nan sedang digandrungi, seperti menggunakan tato.
Menghapus Tatto - Pendapat Al-Imam An-Nawawi
Al-Iman An-Nawawi mengatakan bahwa tatto wajib dihapus jika memungkinkan buat dihilangkan. Tatto tak wajib dihilangkan jika dikhawatirkan melukai anggota tubuh, berisiko kehilangan anggota badan lainnya, kehilangan kegunaan dari anggota badan tersebut, atau takut terjadi sesuatu nan membahayakan bagi anggota tubuh nan ditatto. Jika bertobat, orang ini tak berdosa.
Sebaliknya, jika penghapusan tatto ini tak dikhawatirkan terjadi hal-hal seperti nan disebutkan di atas, hukumnya wajib dihilangkan. Dalam hal ini, seseorang dianggap melakukan maksiat jika menunda buat menghapus tatto di tubuhnya. Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.