Peran Guru buat Lingkungan
Guru ialah teladan bagi murid-muridnya. Guru harus mampu menginspirasi dalam setiap tindakannya. Guru dapat menginspirasi murid dari hal-hal kecil, misalnya jujur dalam bertindak, berkarya, menulis, dan lain-lain. Peran guru salah satunya menginspirasi siswa dalam berbagai kegiatan dengan sikap nan baik secara ialah contoh pendidikan nan baik. Peran guru seperti itu dapat menghindari murid dari sikap tak jujur, praktek curang dan sikap tak baik lainnya.
"Guru tak bekerja laiknya seorang tukang, tetapi bak seniman. Guru seperti ini tak sekadar berusaha mencetak murid-murid naik kelas dengan baku angka-angka tertentu, namun ia mampu membekali murid-muridnya dengan inspirasi nan tidak pernah mati" (Lendo Novo -Pendiri Sekolah Alam Bandung)
Salah satu sikap curang dan tak jujur ialah mencontek. Kita tak dapat menutup mata bahwa mencontek itu terjadi di sekolah-sekolah saat tes atau ujian. Mencontek ialah akar plagiarisme. Dalam definisi wikipedia, plagiarisme atau sering disebut plagiat ialah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.
Plagiat bisa dianggap sebagai tindak pidana sebab mencuri copyright orang lain. Di global pendidikan, pelaku plagiarisme bisa mendapat sanksi berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator.
Plagiasi pernah menjadi bahasan beberapa minggu terakhir di beberapa surat kabar lokal dan nasional, sangat menarik dilihat dari sisi pendidikan. Hal nan luput dari peran guru dalam supervisi belajar siswa. Salah satu hal kecil mulai dari kegiatan mencontek. Mencontek ialah kegiatan curang, sesuatu nan tak jujur dilakukan buat mengisi pertanyaan dalam tes atau ujian.
Orang nan melakukan perbuatan tak jujur biasanya akan mendapatkan balasan nan setimpal dengan kecurangannya. Begitu juga dengan siswa nan curang, selain tes atau ujiannya dapat digugurkan lebih parah lagi dia dapat tinggal kelas. Guru dapat meminimalisasi kegiatan mencontek dengan berusaha mengajarkan kejujuran baik itu dalam dirinya kemudian memberikan inspirasi tentang sikap jujur itu sendiri.
Jangan abaikan kegiatan siswa nan mencontek, kebiasan nan dianggap kecil ini dapat menjadi Norma nan tak baik dikemudian hari. Pada mulanya mencontek sebab ada kesempatan, kemudian berkembang Norma nan sulit dilepaskan. Untuk mencegahnya perlu penanganan nan baik. Misalnya dengan selalu menyisipkan dalam berbagai pelajaran dan juga kegiatan perihal pentingnya mengutamakan kejujuran, sikap baik saat belajar atau juga bermain, dan menghindari sikap curang.
Persis sama juga dengan kegiatan tak jujur lainnya. Sementara itu plagiarisme menjadi bagian lanjutan dari proses mencontek nan dilakukan dengan tak jujur. Dengan mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri maka secara tak langsung sudah tak menghormati karya orang lain.
Peran Guru buat Lingkungan
Peran guru sebagai penginspirasi siswanya dapat dilakukan mulai dari kegiatan kecil, seperti membuang sampah, memilah sampah organik dan anorganik dengan tepat. Kegiatan memperlakukan sampah juga bagian nan kecil tetapi sangat besar peranannya dalam membangun pencerahan lingkungan. Nah, jika membicarakan sampah tak akan terlepas dari masalah konduite dan pola hidup.
Semuanya berawal dari mentalitas tentang pencerahan buat menjaga lingkungan agar tetap higienis dan terjaga. Hal ini pula nan mengawali setiap konduite kita terhadap sampah. Memperlakukan sampah sebaik mungkin dengan cara nan baik akan tentunya akan berdampak positif bagi kehidupan itu sendiri. Tidak membuang sampah sembarang ialah permulaan dari upaya memperlakukan sampah nan baik.
Sampah nan biasa dibuang sembarang dari hasil buangan konsumsi kita akan berdampak jelek pada kualitas lingkungan sekitar. Bertebarannya penyakit dampak sanitasi nan kotor lalu saluran air nan tersumbat dan air nan tercemar ialah bukti dari ketidakpedulian kita pada lingkungan. Di sinilah peran guru sangat besar buat memberikan pemahaman tentang sampah.
Permasalahan sampah tak selesai di pengelolaan akhir saja apalagi menyerahkan sepenuhnya ke Perusahaan Daerah Kebersihan, harus dimulai dari individu-individu dalam lingkup nan kecil. Coba bayangkan saja, potensi sampah nan dihasilkan di Kota Bandung mencapai 3.677.377 meter kubik per harinya. Dari jumlah tersebut, Dinas Kebersihan Kota Bandung hanya mampu mengangkut 82 persennya saja.
Dalam 5 tahun terakhir ini saja pada 2008, Sunyoto menuliskan bahwa volume sampah di Bandung bertambah rata-rata 41 % atau 462.430 m3 per tahun. Volume sampah nan diolah baru 10% dari total produksi sampah kota. Volume sampah tahun 2001 sebanyak 887.990 m3, tahun 2003 sebanyak 1.053.957 m3, tahun 2004 sebanyak 1.165.652 m3 dan tahun 2005 sebanyak 2.737.712 m3.
Setiap tahun volume sampah kota Bandung mengalami peningkatan cukup signifikan. Setiap penduduk berpotensi menghasilkan sampah 3 liter per hari. Tak heran dengan jumlah penduduk sekitar 2,5 juta jiwa, beban sampah tahun 2005 mencapai 7500 m3 per hari. Sekitar 66% atau 4.952 m3 di antaranya berasal dari rumah tangga.
Industri ialah penghasil sampah kedua dengan produksi 798,5 m3 atau 11% per hari, disusul sampah pasar 618, 50 m3, komersial 302, 80 m3, jalan 452,30 m3, nonkomersial sebanyak 363 m3 dan sampah dari saluran 12,90 m3 per hari.
Jika sebelumnya pelajaran tentang sampah berkutat pada jargon buanglah sampah pada tempatnya, kini pelajaran tentang sampah bukan hanya membuang tetapi memilah sampah organik dan anorganik, memberdayakan sampah menjadi barang nan bernilai, dan lebih bagus lagi menerapkan konsep zero waste (meminimalisasi sampah) bahkan kalau dapat menghilangkan sampah sampah dari setiap barang nan kita gunakan.
Sampah nan dibuang pada tempatnya ternyata tak menyelesaikan masalah sampah itu sendiri. Sampah nan dibuang pada tempatnya akan berkumpul menjadi gunung sampah di loka pembuangan akhir sampah. Masalahnya terjadi ketika loka pembuangan akhir sampah sudah tak muat lagi menampung volume sampah nan dibuang pada tempatnya.
Sementara sampah nan diberdayakan dengan proses pemilahan jenis organik dan anorganik akan memberikan laba berupa pupuk kompos buat jenis organik nan diolah dengan komposter atau keranjang takakura. Sementara sampah anorganik dapat diberdayakan menjadi barang-barang bernilai seni atau bentuk kreativitas lain nan terbuat dari sampah.
Hal lain nan dapat dilakukan buat masalah sampah ini ialah mengubah cara pandang masyarakat terhadap sampah. Peran guru dalam memberikan cara pandang ini krusial buat siswa nan akan selalu berinteraksi di masyarakat.
Jika sebelumnya sampah dianggap sebagai barang nan tak akan terpakai lagi, kini harus dikampanyekan bahwa sampah dapat memiliki nilai lain nan dapat digunakan. Dibutuhkan kreativitas masyarakat secara masif buat mengubah kerangka berpikir terhadap sampah ini.
Sekolah menjadi media nan tepat melalui pendidikan lingkungan hayati buat mengkampanyekan dan mendidik generasi muda menjadi generasi nan berparadigma sampah ialah barang nan dapat diberdayakan menjadi sesuatu nan memiliki nilai.
Mengubah mindset dan kerangka berpikir murid di sekolah terhadap sampah harus dimulai oleh gurunya. Guru harus kreatif mengantarkan pendidikan lingkungan hayati dengan cara nan menarik misalnya membuat karya dari barang bekas kemudian tak lupa menyisipkan pesan-pesan positif perihal sampah nan dapat diberdayakan. Hasilnya memang tak akan secepat mengembalikan telapak tangan, butuh waktu dan proses nan berkelanjutan buat melihat hasil pendidikannya
Peran guru nan strategis dapat mencegah kegiatan plagiasi siswa di masa nan akan datang. Guru selayaknya nan dikatakan oleh Lendo Novo, dalam setiap kegiatannya harus menginspirasi murid-muridnya.
Peran guru harus memberikan contoh-contoh kejujuran dan kepedulian terhadap lingkungan sampai inheren dalam benak murid. Harapannya tentu saja kejujuran dan kepedulian lingkungan itu menjadi bagian dari diri murid-murid sehingga jika sekali waktu dia tak jujur, dia akan malu. Kemudian, dia tak peduli lingkungan, dia juga akan malu.