Puisi Aku dan Cerminan Chairil Anwar
Puisi terkenal Chairil Anwar nan akrab di telinga masyarakat ialah puisi berjudul Aku dan Karawang-Bekasi. Keduanya dianggap memiliki nilai sejarah dalam kisah perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sehingga, kedua puisi tersebut sering kali dijadikan materi bahasan dalam pelajaran di bangku sekolah.
Padahal selain keduanya, masih banyak puisi terkenal Chairil Anwar lainnya nan sama-sama berkualitas. Selain kedua puisi tersebut, Chairil Anwar juga banyak menelurkan karya lain sepereti Prajurit Jaga Malam, Diponegoro, Maju atau juga Persetujuan dengan Bung Karno.
Bukan hanya bertema perjuangan nan menjadi inspirasi dalam puisi terkenal Chairil Anwar . Penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922 ini juga kerap menulis puisi berlatar belakang cinta. Namun, sebagaimana penyair angkatan 45 lainnya, tema percintaan nan ditulisnya bukan sebagai cinta nan meratap ratap atau patah hati. Namun cinta nan penuh semangat dan keyakinan akan sebuah prinsip.
Beberapa puisi terkenal Chairil Anwar nan bertema tentang cinta seperti Senja di Pelabuhan Kecil. Puisi ini ditulisnya buat seorang perempuan bernama Sri Ajati pada tahun 1946. selain puisi tersebut, masih ada puisi bertema cinta lain karya Chairil Anwar. Seperti Cintaku Jauh di Pulau, Sajak Putih dan juga Hampa.
Makna Puisi Chairil Anwar
Chairil Anwar meninggal di usia muda, 26 tahun sebab pola hidupnya nan tak teratur. Sehingga penyakit banyak nan bersarang di tubuhnya, terutama TBC, hal ini kebiasaannya merokok nan di luar batas.
Namun demikian, dengan masa hayati nan singkat, puisi karya Chairil Anwar banyak memiliki peran dalam perjuangan bangsa Indonesia. Beberapa makna puisi terkenal Chairil Anwar dalam sejarah perjuangan Indonesia di antaranya adalah:
- Meningkatkan semangat tempur para pejuang nan sedang berada di garis depan melawan penjajah. Dengan puisinya, Chairil Anwar mengingatkan para pejuang, bahwa perjuangan membela tanah air ialah sebuah perbuatan nan mulia. Hal ini ditunjukkan melalui puisi berjudul Maju. Dalam baitnya, Chairil mengatakan, Sekali Berarti, Sudah itu mati.
- Menggelorakan nasionalisme penduduk Indonesia buat tak tunduk pada penjajah. Bait puisi Aku, Chairil menulis “Aku mau hayati seribu tahun lagi”. Hal itu ialah buat mengingatkan bangsa Indonesia buat jangan pernah menyerah menghadapi perjuangan. Dan mengajak buat yakin, bahwa perjalanan masih panjang dan harus diperjuangkan.
- Perang syaraf pada penjajah. Dengan kemampuannya menuliskan puisi nan menggelorakan semangat juang bangsa, Chairil Anwar ingin menunjukkan pada penjajah bahwa perjuangan dapat dilakukan dengan cara apa saja. bukan sekedar melalui pertempuran senjata. Hal ini menjadikan penjajah cukup risi atas semua agitasi nan dilakukan oleh Chairil Anwar, mampu memunculkan semangat perjuangan bangsa Indonesia.
- Menciptakan persatuan Indonesia. Puisi ialah seni. Dan seni ialah bahasa universal. Dengan adanya seni melalui puisi, Chairil Anwar ingin menyatukan seluruh elemen bangsa agar dapat manunggal padu melawan penjajah dan melupakan bukti diri kelompok. Bahasa pemersatu ialah melalui puisi.
Chairil Anwar Adalah Aku
Dari banyaknya puisi nan Chairil ciptakan, salah satu nan terkenal ialah puisinya nan berjudul Aku. Tidak ada nan dapat mendeskripsikan secara niscaya apa pengertian dari puisi. Sebuah puisi nan dinilai bagus juga tak memiliki batasan serta syarat-syarat mutlak. Semuanya mengalir dan bebas.
Puisi lebih tepat jika disebutkan sebagai suara hati. Suara hati nan hanya pas jika diwujudkan dalam bentuk goresan tinta di atas kertas. Sebuah suara hati nan justru tidak sinkron ketika diucapkan.
Seperti nan dilakukan Chairil ketika menyatakan kekagumannya pada gadis impian. Chairil lebih memilih buat menuangkan kekagumannya pada bait-bait puisi. Puisi Aku karya Chairil Anwar misalnya.
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tidak seorang pun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan dapat kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan saya akan lebih tak perduli
Aku mau hayati seribu tahun lagi
Puisi Aku dan Cerminan Chairil Anwar
Puisi Aku mencerminkan sifat Chairil Anwar nan teguh, tangguh, dan cenderung keras kepala. Dalam puisinya tersebut, ia seolah bercerita bahwa kematian sekalipun tak akan mampu “membunuhnya”.
Puisi ini sama dengan sebagian besar puisi-puisi karyanya nan bertemakan kematian. Bait pertama pada puisi ini sudah menjelaskan semua, kalau sampai waktuku.
Kata waktuku pada bait tersebut jelas bermakna kematian bagi Chairil Anwar. Chairil tak ingin kematiannya bisa membuat orang-orang di sekitarnya bersedih. Ia sama sekali tidak perlu sedu sedan itu.
Ketangguhannya ia perlihatkan dalam bait selanjutnya, aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang . Bahwa kematian pun tidak akan mampu membuatnya “benar-benar mati”. Terlihat jelas dalam bait Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang/ Luka dan dapat kubawa berlari/ Berlari.
Sebuah puisi nan mencerminkan kekuatan pribadi Chairil Anwar. Dari puisinya ini, Chairil bahkan mendapat julukan Si Binatang Jalang dari para penggemar sekaligus rekan penyairnya. Chairil Anwar meninggal dalam usia nan masih sangat muda, 26 tahun. Ia meninggal di Jakarta 28 April 1949.
Kumpulan Puisi-puisi Chairil Anwar
Kumpulan puisi-puisiterkenalChairil Anwar, meskipun tak banyak, tetapi sarat dengan makna kemanusiaan. Puisi pertamanya nan berjudul nisan ialah kisah tentang kematian neneknya.
Nisan
Bukan kematian menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutabu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
(Oktober, 1942)
Dalam puisi itu, kita bisa berempati tentang kekalahan manusia dalam menghadapi maut.
Puisi-puisi Chairil Anwar juga banyak bicara tentang pemberontakan (lihat puisi ‘Aku’), tentang kekhusuan dalam berdoa pada Tuhan (lihat Puisi ‘Doa’), tentang cintanya nan latif ( lihat puisi ‘Cintaku jauh di Pulau’) tentang semangat nan nan berapi-api dalam semangat patriotik (lihat puisi Krawang-Bekasi), tentang kepedihan hati, tentang kegagalan cinta, dan tema-tema nan lain nan berkaitan dengan pembelaan terhadap manusia dan kemanusian.
Doa
Tuhanku dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Memngikat kau penuh seluruh
Cahyamu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelas sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintumu saya mengetuk
Aku tidak bias berpaling
***
Puisi tersebut termasuk dalam genre realisme nan mengungkapkan curahan hati kepada Tuhan dengan mengunakan ungkapan-ungkapan apa adanya tak hiperbola atau lebay .
Metafora nan digunakan pun selalu ada kaitannya dengan kelogisan maksud penyair. Misalnya, "Kerdip lilin di kelas sunyi," hal itu melambangan sesuatu nan sangat berarti.
Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda nan lincah nan tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah wafat ini
Aku suka pada mereka nan berani hidup
Aku suka pada mereka nan masuk menemu malam
Malam nan berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tak tahu apa nasib waktu !
(1948)
***
Malam
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
***
Krawang-Bekasi
Kami nan kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak dapat teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah nan tak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak
Kami wafat muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa nan kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum dapat memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi ialah kepunyaanmu
Kaulah lagi nan tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang buat kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tak buat apa-apa,
Kami tak tahu, kami tak lagi dapat berkata
Kaulah sekarang nan berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding nan berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(1948)
***