dalam Interaksi Rumah Tangga
Kata-kata menyakitkan , mungkin sebagian besar orang sudah penrah mendengar kata-kayta tersebut. Apa nan terbersit dalam benak Anda ketika mendengar dua pribahasa ini: “Lidah Bagaikan Pedang”, dan “Mulutmu Harimaumu”? Mungkin setiap orang akan berbeda mempresentasikannya, namun satu hal nan niscaya bahwa pribahasa lama nan sudah generik terdengar ini menandakan satu maksud,yaitu setiap orang harus berhati-hati pada ucapannya.
Anak kecil nan baru belajar bicara niscaya akan mencontoh setiap perkataan nan didengarnya dari mulut orang lain. Oleh sebab itu, peran orang tua sangat krusial buat membentuk dan mengajarkan pada anak buat menggunakan bahasa nan baik pada kesempatan apapun.
Jika terucap kata nan kurang baik, Anda sebisa mungkin perlu mengarahkan anak buat belajar berlaku dalam berbahasa.
Hal itu bukan tanpa sebab, penggunaan bahasa nan baik akan menunjukkan kualitas diri seseorang. Terutama jika memiliki anak nan baru pandai berkata-kata dan mudah menirukan setiap kata nan didengarnya. Seiring perkembangan anak, ia akan berjumpa dengan lingkungan nan lebih luas dan orang nan lebih banyak.
Semakin ia pandai bertutur dan berbahasa dengan baik dan benar, membuktikan bahwa orang tua dan lingkungan sukses mengupayakannya agar menjadi insan nan berbudi.
Anda mungkin sering melihat dalam berinteraksi banyak hal nan dapat terjadi hanya sekedar berasal dari kata-kata nan terucap. Hal tersebut dapat berdampak baik ataupun buruk. Orang nan mempergunakan kata-katanya buat mengungkap pujian dan majemuk hal baik, tentu akan berdampak baik bagi orang lain dan juga dirinya.
Namun apa jadinya jika seseorang mempergunakan bahasanya buat mengungkapkan kata-kata nan menyakitkan?
Kata kata menyakitkan nan pernah Anda dengar baik dari mulut orang lain ataupun dari mulut Anda sendiri, niscaya tak akan membawa imbas baik apapun. Kata-kata nan menyakitkan akan selalu keluar dari mulut dengan niat nan tak baik, sekalipun diucapkan dengan maksud-maksud tertentu.
Jika seseorang telah merasa tak nyaman dengan perkataan nan menyinggung, dan bahkan menyakitinya, pada dasarnya orang nan mengucapkannya pun juga akan merasa demikian.
Meskipun sebenarnya ia merasa bersalah dan menyesal telah mengucapkan kata-kata nan menyakitkan orang lain. Seringkali seseorang justru membela diri atau menutup mata dan telinga sama sekali terhadap ucapan nan telah dikeluarkannya.
Ia akan mencoba meyakinkan dan membenarkan dirinya bahwa apa nan ia ucapkan, sekalipun memang menyakitkan, ialah hal nan baik. Atau dengan alasan lain “untuk kebaikan orang tersebut, sebab ia memang patut menerimanya.”
Lalu pertanyaannya, apa nan patut dan apa nan baik, jika ternyata seseorang telah merasa tersakiti?
Tidak sporadis pada banyak kasus, terjadi banyak pertengkaran dari nan sekadar adu mulut biasa hingga standar hantam hanya sebab kesalahan ucap. Mungkin masalahnya sepele, tapi kata-kata berikutnya nan keluar, bukan malah menyelesaikan masalah, justru jadi berbentuk hinaan dan saling menyakiti satu sama lain.
Jika sudah begini, tak aneh rasanya jika pihak nan sama tersakiti akan saling membela kepentingannya masing-masing dengan standar hantam.
Bagi permasalahan dan kasus nan lebih besar lagi, bahkan hanya berawal dari permasalahan ucapan dan kata-kata nan kurang mengenakkan dan mungkin menyakitkan hati, dapat terjadi standar hantam di meja DPR nan seharusnya menjadi wakil serta aspirasi rakyat.
Apalagi ketika keributan terjadi seluruh mata di Indonesia bisa menyaksikannya melalui media visual seperti televisi ataupun internet. Hal tersebut menjadi bertambah kisruh sebab pemberitaan media nan justru tak menyelesaikan masalah melainkan semakin membukanya.
Itu baru contoh segelintir kasus, di global terjadi perang antarsuku, antarnegara, dan juga antaragama kebanyakan berasal dari kata-kata menyakitkan nan dikeluarkan. Ketika terjadi perang agama misalnya, hal itu disebabkan sebab membela kepentingan agama masing-masing. Awalnya pun disebabkan oleh kata-kata nan keluar tak pada tempatnya.
Mungkin masih hangat dalam ingatan Anda ketika nabi Muhammad dihina oleh oknum nan mengatasnamakan dirinya sebagai umat kristiani hingga terjadi terorisme pemboman nan dilakukan oleh umat muslim. Hasilnya, bukan hanya merusak ketenangan beragama kedua belah pihak, tapi juga mengorbankan masyarakat sipil nan tak bersalah.
Hal ini cukup membuktikan bahwa kata-kata bagaikan sebilah pedang nan dapat menusuk dan menghujam dan akhirnya hanya menyisakan kesedihan serta penyesalan.
Kasus-kasus di atas bisa menjadi contoh bagi kita buat selalu menggunakan bahasa dan menempatkannya dengan baik. Apapun nan akan Anda ucapkan lebih baik jika disaring terlebih dahulu. Karena setiap kata nan sudah dikeluarkan dari mulut tak akan bisa ditarik kembali.
Kata maaf memang dapat memperbaiki keadaan, meskipun tak akan pernah mengubah kejadian.
Banyak alasan dan penyebab sehingga kata-kata nan menyakitkan bisa muncul dan keluar dari mulut seseorang. Salah satunya ialah sebab tak terkontrol dengan baiknya emosi seseorang atau supervisi diri nan kurang sehingga seseorang menjadi lebih mudah terpancing emosinya.
Sebenarnya banyak keburukan dan kejadian nan tak diinginkan bisa diminimalisir jika kita bisa menahan diri dengan melatih kesabaran . Meskipun cara nan ditempuh pun akan cukup sulit.
Dalam kehidupan sehari-hari, cukup banyak permasalahan nan bisa terjadi dan dapat dipetik hikmahnya ketika terjadi keribuutan disebabkan oleh terlontarnya kata kata menyakitkan. Hal tersebut niscaya terasa sangat tak mengenakkan terutama jika terjadi dengan orang nan hubungannya dekat dengan Anda.
Berikut ini ada beberapa tips buat menghindari pertengkaran nan diawali dengan kata menyakitkan dalam beberapa bentuk interaksi nan terdekat dengan kita:
Kata-Kata Menyakitkan dalam Pertemanan
Ketika Anda merasa nyaman dengan seseorang sebab pembicaraan nan “nyambung”, secara langsung akan terjadi hubungan nan menyebabkan terjalinnya pertemanan. Mencari teman memang mudah, namun mencari musuh pun jauh lebih mudah.
Agar pertemanan dapat terjaga dengan baik dan silaturahmi dapat tetap terjalin, sebaiknya Anda juga dapat menempatkan diri dalam kapasitas pertemanan. Misalnya dengan memahami batasan-batasan dalam pertemanan.
Ada hal-hal nan tak dapat Anda usik atau campuri terlalu jauh dalam setiap petemanan. Seandainya teman berbuat salah pun Anda tak dapat segera menghakiminya hanya sebab merasa dekat.
Perasaan dan tingkah laku juga harus tetap dijaga agar pertemanan bisa bertahan lama. Sekalipun bercanda, sebaiknya tak terlalu berlebihan. Karena kebanyakan berawal dari hal semacam ini bisa terjadi persinggungan nan nantinya berujung tak mengenakkan.
Meski tak sedalam interaksi percintaan, interaksi pertemanan pun perlu dibina. Jika ada masalah nan menimpa, jangan malah mengungkap sisi jelek seorang teman. Takutnya hal tersebut justru menyakitkan hati dan memicu pertengkaran. Buruknya, interaksi pertemanan pun dapat terputus.
Kata-Kata Menyakitkan Antara Orang Tua dan Anak
Orang tua dan anak memiliki jalinan interaksi terdekat yaitu darah daging. Setiap orang tua akan merasa memahami anaknya, sekalipun anaknya bersikeras bahwa orang tuanya tak mengerti keinginannya. Anak akan cenderung memberi perlawanan jika keinginannya tak bisa terpenuhi.
Ada nan memberontak dengan diam dan ada juga nan melawan secara terang-terangan. Keduanya tentu saja tak akan menjadi baik jika tak segera dibicarakan.
Antara anak dan orang tua perlu terjalin komunikasi intens agar keduanya saling memahami. Karena seringkali cara berpikir anak akan berbeda dengan orang tua. Masih banyak hal nan belum dirasakan anak namun sudah dikecap oleh orang tua.
Orang tua tak bisa seenaknya menentukan apa nan diinginkan oleh anak, terutama jika anak sedang menginjak masa-masa peralihan dimana lingkungan juga menjadi patokan pemikirannya. Jika hal ini terjadi, tak sporadis kata kata menyakitkan dapat terlontar dari mulut anak atapun orang tua. Pertengkaran keduanya akan berdampak jelek pada harmonisasi keluarga.
Kata-Kata Menyakitkan dalam Interaksi Rumah Tangga
Hubungan rumah tangga merupakan interaksi kompleks nan terjadi antara dua orang nan pada dasarnya berbeda. Dalam berumah tangga Anda akan menemukan sekian banyak disparitas dan berusaha belajar menerima ketidakcocokkan tersebut.
Rumah tangga tanpa pertengkaran rasanya seperti sayur kurang bumbu. Hanya saja perlu dipahami kapasitas dari pertengkaran tersebut. Jika intensitasnya sering dan jadi terkesan saling menzalimi, mungkin salah satu atau kedua pihak benar-benar kesulitan menyesuaikan diri dengan pasangannya.
Meksipun demikian, pasangan nan sudah berumah tangga sebaiknya selalu mengingat komitmen awal ketika akan membangun jalinan rumah tangganya. Tidak sporadis dalam suatu interaksi terlontar kata-kata hinaan nan menyakitkan kedua belah pihak.
Mungkin permasalahannya akan lebih kompleks, misalnya dengan membuka keburukan pasangan, apalagi jika dituturkan di depan orang lain.
Atau nan sering juga terjadi ialah mengungkap kekurangan nan dirasakan ada pada pihak keluarga pasangan, umumnya mertua nan dirasa kurang baik. Sebaiknya hal-hal seperti ini dihindari buat menjaga perasaan pasangan.
Unek-unek nan muncul pun ada baiknya dikomunikasikan ketika pikiran sedang jernih dan dengan pembicaraan nan lebih santai. Sehingga tak memicu pertengkaran berarti.
Jadi ketika Anda merasa kesal atau marah, ada baiknya Anda memilih diam. Karena pada beberapa keadaan dan jika digunakan dengan tepat, diam bisa berbuah emas.
Demikianlah beberapa hal tentang penggunaan kata dalam komunikasi keseharian nan mungkin bisa memicu konfrontasi . Semoga kita semua termasuk orang-orang nan sabar lagi bertutur kata baik.