Fenomena Apakah Ini?
Bicara tentang soal soal UN, ternyata ada fakta nan mengejutkan. Berdasarkan pengakuan para siswa, soal soal UN nan dianggap susah ialah soal-soal pelajaran Bahasa Indonesia. Pengakuan tersebut sinkron dengan data di lapangan, pada tahun 2011 lalu. Banyak siswa tak lulus UN pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Hal tersebut diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh dalam penilaian hasil UN SMP/ MTs. Beliau mengatakan, "memang di antara pelajaran lainnya, nilai mata pelajaran Bahasa Indonesialah nan paling rendah. Kondisi rendahnya nilai UN Bahasa Indonesia taraf SMP/MTs ini sama dengan hasil nilai UN buat jenjang SMA dan sederajat."
Pengakuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut berdasarkan data rekapitulasi nilai Ujian Nasional (UN) 2011 nan menunjukkan adanya 20.234 siswa SMP nan dinyatakan tak lulus dari 3.660.803 peserta.
Tampaknya, mata pelajaran bahasa Indonesialah nan menjadi momok para peserta, buktinya rata-rata nilai bahasa Indonesia dalam UN taraf SMP dan sederajat ialah sebesar 7,12. Adapun nilai terendahnya 0,40. Artinya, siswa tersebut hanya bisa menjawab dengan sahih sebanyak dua soal dan nilai paling tinggi 10,00. Selain itu, rata-rata, nilai UN matematika 7,30, bahasa Inggris 7,52, dan IPA 7,41.
Fakta tersebut sekali lagi mengejutkan kita semua. Ternyata, siswa SMP dan SMA dan nan sederajat kesulitan dalam menjawab soal soal UN Bahasa Indonesia dibandingkan dengan pelajaran lainnya. Bahkan banyak pula nan tak lulus UN hanya sebab nlai Bahasa Indonesianya nan kurang memadai.
Padahal, selama ini seringkali pelajaran matematika lah nan dianggap paling menakutkan bagi para siswa. Dikarenakan pelajaran matematika memerlukan keterampilan menghitung nan tinggi, daya nalar, dan logika nan baik. Selain itu, perlu latihan soal sesering mungkin.
Dengan kondisi seperti itu, tidaklah mengherankan jika banyak orangtua siswa nan memberikan porsi belajar tambahan di luar sekolah. Misalnya, dengan memasukkan ke kursus jarimatika, sempoa, kumon, atau dengan memanggil guru les privat ke rumah.
Walaupun begitu, tetap saja hal tersebut tidak sinkron dengan fakta UN. Bukan matematika nan menjadi masalah, melainkan justru pelajaran Bahasa Indonesia.
Fenomena Apakah Ini?
Ada beberapa alasan nan memungkinan terjadinya kenyataan rendahnya hasil UN Bahasa Indonesia, yaitu:
1. Soal soal UN Bahasa Indonesia sulit sebab adanya disparitas antara kemampuan lisan dan tulisan
Sebagai bahasa ibu, setiap anak Indonesia nan lahir dan besar di Indonesia, niscaya dapat berbahasa Indoesia. Oleh karenanya, sebagian besar siswa meremehkan pelajaran Bahasa Indonesia. Para siswa beranggapan bahwa mereka sudah dapat berbahasa Indonesia dengan baik, mengerti percakapan dan dialognya dan sudah dipraktikkan setiap harinya.
Anggapan para siswa tersebut tidaklah salah sepenuhnya. Hanya saja kemampuan berbahasa lisan tersebut tak diikuti dengan kemampuan tertulis nan baik pula. Padahal, sebagian besar soal soal UN ialah soal tertulis.
Belum lagi faktor budaya. Siswa di daerah Papua misalnya, penggunaan bahasa Indonesia mereka hanyalah sebatas di lingkungan sekolah saja. Di luar itu, mereka kembali menggunakan bahasa orisinil daerah masing-masing. Jadi, tidak mengherankan jika mereka tetap saja kesulitan saat mengerjakan soa soal UN bahasa Indonesia.
2. Siswa kesulitan mengerjakan soal soal UN Bahasa Indonesia bukti rendahnya budaya membaca
Harus diakui budaya menulis dan membaca di kalangan siswa masih sangat rendah. Bahkan bukan di kalangan siswa saja, melainkan di hampir semua kalangan secara holistik di Indonesia.
Buktinya, di sepanjang jalan beraneka toko menawarkan produknya. Kebanyakan ialah produk makanan, mulai nan sekelas kaki lima di tenda, seperti nasi goreng atau warteg hingga sekelas restauran baik nan tradisional maupun internasional.
Bagaimana dengan toko buku? Hmm, barangkali perlu keberanian dan kapital nan tinggi jika mau membuka usaha toko buku di sini karena dapat saja dalam waktu 2- 3 bulan sudah harus gulung tikar.
Bukti lainnya, anak muda nan sedang pacaran lebih suka mengajak pacarnya menonton di bioskop atau makan di restauran ketimbang mengajak pergi ke perpustakaan. Artinya, orang Indonesia itu lebih suka menonton daripada membaca. Sekalinya pergi ke perpustakaan, nan ada hanyalah sederetan meja kursi nan kumuh dan berdebu.
Tak mengherankan jika Norma membaca ( reading literacy ) anak-anak Indonesia masih sangat rendah. Jangankan dibandingkan dengan negara maju, seperti Jepang atau Amerika, di kawasan ASEAN saja, Indonesia menempati posisi terakhir!
Data tersebut dirilis oleh Vincent Greannary nan dikutip oleh World Bank dengan tajuk " Education in Indonesia From Cricis to Recovery " pada 1998. Hasil studi tersebut ternyata kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar Indonesia hanya dinilai 51,7 berada di bawah Filipina nan memperoleh nilai 52,6. Adapun Thailand dengan nilai 65,1, disusul Singapura dengan nilai 74,0, dan nan paling tinggi Hongkong dengan nilai nilai 75,5.
Data lainnya, berdasarkan International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada 1992 dalam sebuah laporan studi tentang kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV di 30 negara dunia. Hasilnya dapat ditebak, Indonesia hanya menempati posisi 29 dari 30 negara nan diteliti tersebut, setingkat di atas Venezuela.
3. Siswa kesulitan mengerjakan soal soal UN Bahasa Indonesia bukti rendahnya budaya menulis
Jika budaya membaca saja sudah rendah, apalagi dengan budaya menulisnya. Logikanya, jika kemampuan membaca bagus, kemampuan menulisnya pun baik. Sebaliknya, jika budaya membacanya jelek maka budaya menulisnyapun tak bagus.
Ada pepatah Melayu antik nan berkata "guru kencing berdiri murid kencing berlari". Hal ini mengandung pengertian, jangan-jangan rendahnya minat dan budaya membaca di kalangan siswa dikarenakan rendahnya budaya membaca guru nan mengajarkan mereka.
Hal tersebut bukannya tanpa dasar, karena jika sebagian besar guru di Indonesia stagnan di golongan IV A, mereka seperti sulit buat naik ke jenjang berikutnya. Apa sebabnya? Berdasarkan peraturan kepegawaian, guru golongan IV A ingin naik jenjangnya, diharuskan mengadakan penulisan karya ilmiah, selain komponen mengajar.
Tampaknya, hal ini menjadi hambatan nan berarti. Hampir sebagian besar guru kesulitan melakukan penulisan karya ilmiah tersebut. Akibatnya, dari sekitar 2,6 juta guru hanya 0, 87 % saja nan bergolongan IVB. Sekitar 0, 07 % bergolongan IVC, dan hanya 0,02 % saja guru nan bergolongan IV D. Hal ini membuktikan budaya menulis nan sudah bermasalah sejak dari strata pengajarnya, tidak mengherankan jika akhirnya "menular" kepada para siswanya.
4. Soal soal UN Bahasa Indonesia melelahkan dan membingungkan
Jika diamati, memang soal soal UN bahasa Indonesia berbeda dengan pelajaran lainnya. Disparitas tersebut terlihat dari konsep soalnya. Biasanya soal di awali dengan wacana sebanyak 100 hingga 200 kata. Lalu, siswa diharuskan menjawab berdasarkan wacana tersebut. Berikut ini contoh soalnya.
Jumong ialah nama air terjun di Desa Berjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi air terjun ini tak jauh dari Grojogan Sewu, Tawangmangu. Dari Surakarta, kita bisa menempuh jalan nan sama dengan jalur ke Tawangmangu. Bedanya, di pertigaan setelah Pasar Karangpandan, kita belok ke kiri jika mau ke Jumog. Belokan ke kanan ialah arah ke Grojogan Sewu.
Jumong memang belum seterkenal Grojogan Sewu. Namun, Jumong tidak kalah latif dari Grojogan Sewu. Air terjun setinggi 25 meter ini terletak di lembah dataran tinggi. Oleh sebab itu, udara di Jumong cukup dingin. Apalagi lingkungan sekitar air terjun dipenuhi tumbuhan hijau nan tinggi dan besar.
Manakah fakta nan sinkron tentang Jumong?
A. Terletak di Grojogan Sewu
B. Ketinggian lembahnya 25 m
C. Lingkungannya rindang
D. Belok kiri jika mau ke Jumog
Apa konklusi dari contoh soal UN di atas? Pertama, melelahkan. Jika hanya 4-5 soal seperti ini mungkin tidak masalah. Namun, jika soal berbentuk wacana seperti di atas mendominasi soal secara holistik maka akan membuat siswa lelah sebab harus bolak-balik membaca dan mencari jawaban nan tertera secara eksplisit maupun tersirat di wacana.
Kedua, contoh soal UN di atas, jika tidak teliti dapat membuat para siswa terjebak. Mungkin ini nan memang diinginkan oleh si pembuat soal. Namun, jika banyak soal jebakan nan seperti ini, di mana setiap pilihan jawaban sepertinya benar, maka tidak heran jika hasilnya banyak nan buruk.
Tampaknya, semua pihak harus berbenah agar raihan UN khususnya pelajaran Bahasa Indoesia dapat lebih baik. Para siswa pun bisa mengerjakan soal soal UN dengan penuh keyakinan berdasarkan pengertian nan mantap. Semoga saja.