Lagu-lagu Masa Tanam Padi

Lagu-lagu Masa Tanam Padi

Mendengar nama Kanekes, tentu kita akan teringat dengan masyarakat Badui di Lebak, Banten, nan patuh terhadap nilai-nilai adat dan tradisi. Mereka punya anggaran hayati sendiri, pemerintahan, dan cara-cara tradisional dalam melestarikan kehidupannya. Badui sendiri terdiri atas dua jenis. Ada Badui Dalam dan Badui Luar.

Cara membedakannya, selain dari rona pakaian dan ikat kepala, warga Badui Dalam lebih tertutup pada hal nan berbau modernitas, dibandingkan Badui Luar nan sudah hayati lebih modern. Meski demikian, keduanya tetap rukun tak saling mengganggu.

Dalam hal ritual adat nan dipadu dengan kesenian berupa angklung kanekes , mereka tetap melesatarikannya. Bahkan, Badui Luar mematuhi adat nan berlaku di mana angklung kanekes hanya dapat didapatkan dari Badui Dalam.

Khusus bagi warga Badui Luar, angklung kanekes bukan hanya dimainkan pada masa tanam dan pengobatan padi saja, melainkan pada saat terang bulan. Tentunya, dengan lagu-lagu Sunda nan tak sedikit jumlahnya.

Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai angklung Kanekes dan ritual tanam padi nan dilakukan oleh Suku Badui, ada baiknya jika kita membahas sedikit mengenai bagaimana corak kehidupan suku nan terkenal masih memegang nilai-nilai budaya primordial tersebut.



Sedikit Tentang Suku Badui

Salah satu suku nan terdapat di wilayah Jawa Barat ini sangat terkenal sebab kebudayaannya nan masih sangat dekat dengan alam sehingga tak mau dicampuri dengan berbagai hal duniawi, apalagi modernitas.

Masyarakat Suku Badui ini sangat enggan berkomunikasi terlalu jauh dengan masyarakat di luar lingkungannya. Hal ini disebabkan oleh keyakinan mereka buat senantiasa menjaga kebudayaan lokal nan diturunkan oleh leluhur mereka.

Peradaban ialah hal nan harus dihindari agar kebudayaan mereka tak luntur begitu saja sehingga mereka sama sekali tak mau menggunakan produk modernitas nan menjadi kebutuhan masyarakat di luar Suku Badui.

Misalnya saja, produk peralatan kebersihan tubuh nan biasa digunakan oleh masyarakat modern, tak diperbolehkan buat dibawa ke dalam wilayah Badui sebab takut akan terjadinya pencemaran.

Masyarakat Badui sendiri sebenarnya terbagi menjadi tiga wilayah utama, yaitu Desa Cikeusik, Desa Cikertawana, dan Desa Cibeo. Ketiga tersebut dibagi buat menunjukkan adanya tiga sistem kehidupan dalam Suku Badui, yakni sistem pemerintahan, ekonomi, dan politik.

Sementara itu, komunikasi nan dilakukan sesama masyarakat Suku Badui ialah dengan menggunakan budaya lisan saat mengumumkan atau memberikan nilai-nilai edukasi. Bahasa nan digunakan oleh masyarakat suku ini ialah bahasa Sunda dengan dialek nan berbeda dari bahasa Sunda nan digunakan oleh masyarakat wilayah Jawa Barat lainnya.

Sementara itu, kepercayaan nan dianut oleh masyarakat Kanekes ialah Sunda Wiwitan, yakni kepercayaan masyarakat sunda antik nan masih mendapatkan pengaruh besar dari kerajaan atau ajaran Hindu. Namun, ada juga masyarakat kanekes nan sudah memeluk agama Islam.

Sementara itu, sistem pemerintahan nan digunakan pada masyarakat Suku Badui terdiri atas dua macam, yakni sistem pemerintahan tradisional dan sistem pemerintahan nan berlaku di negara sebab mereka sendiri mengakui bahwa masyarakat badui termasuk ke dalam negara Indonesia.

Sistem tradisional nan digunakan oleh masyarakat Suku Badui disebut juga dengan sistem adat, yakni sistem di mana masyarakat dipimpin oleh kepala suku paling tinggi nan dinamakan Pu'un. Sementara itu, sistem nasional nan berlaku di wilayah Kanekes memberlakukan sistem nan sama seperti desa pada umumnya, yakni kepemimpinan kepala desa nan disebut dengan jaro pamarentah



Angklung Kanekes

Pada dasaranya, penggunaan angklung nan berada di daerah Kanekes ini hanya dimainkan pada saat ritus nan berkaitan dengan padi. Jadi, salah jika kemudian keberadaanya hanya buat hedonisme dan hiburan. Biasanya, angklung kanekes ini akan dibunyikan jika tiba masa tanam padi ladang. Cara memainkannya pun terdapat disparitas antara Badui Dalam dan Badui Luar.

Warga Badui Dalam memainkannya secara bebas, atau dalam bahasa Sunda disebut dikurulungkeun. Sementara itu, Badui Luar memainkannya dengan ritmis khusus. Kendati angklung ini hanya dimainkan pada masa penanaman padi hingga masa mengobati padi nan biasanya dilakukan tiga bulan setelah masa tanam,angklung kenekes masih dapat dimainkan sepanjang tak hiperbola dan bersifat hura-hura.

Setelah lewat masa ini, alat musik apa pun tak boleh dimainkan hingga masa tanam kembali datang. Nah, adat nan mengatur penutupan penggunaan angklung kanekes ini disebut dengan musungkeun angklung atau menitipkan angklung agar disimpan.

Setiap angklung dan bedug dalam proses kesenian angklung kenekes ini mempunyai nama. Adapun nama-nama angklung Kanekes dilihat dari ukurannya, mulai nan terbesar hingga nan kecil, yakni Indung, Ringkung, Dongdong, Gunjing, Engklok, Indung Leutik, Torolok, dan Roel. Roel merupakan dua buah angklung. Sementara, nama-nama bedug dari nan terpanjang hingga nan pendek ialah Talingtit, dan Ketuk.



Lagu-lagu Masa Tanam Padi

Terkait angklung kanekes nan penggunaannya di luar masa tanam atau masa pengobatan padi, angklung kanekes akan dimainkan hanya buat hiburan tepat pada malam terang bulan dan tak ada hujan. Lokasi nan dipakai biasanya di buruan, sebuah nama buat menyebut halaman luas di areal desa.

Lagu-lagu nan biasa dinyanyikan oleh masyarakat Suku Badui ialah sebagai berikut.

* Lutung Kasarung
* Yandu Bibi
* Yandu Sala
* Ceuk Arileu
* Oray-orayan
* Dengdang
* Yari Gandang
* Oyong-oyong Bangkong
* Badan Kula
* Kokoloyoran
* Ayun-ayunan
* Pileuleuyan
* Rangda Ngendong

Biasanya, jumlah pemain angklung kanekes ada delapan orang, ditambah tiga orang nan bertugas menabuh bedug kecil. Mereka berdiri sambil berjalan dan menari sederhana membentuk jalan melingkar. Ini hanya dapat dilakukan kaum laki-laki saja, perempuan tak diperkenankan. Huburan semacam ini hanya ada di Badui Luar, sementara Badui Dalam menganggap hal ini menyalahi adat dan anggaran pantangan. Bagi warga Badui Dalam, angklung hanya dimainkan pada acara ritual saja.



Filosofi Angklung Kanekes

Bagi sebagain orang, apalagi masyarakat modern, mungkin angklung hanyalah alat musik biasa nan digunakan buat mengiringi nyanyian eksklusif dan bersifat menghibur orang nan mendengarkan atau menontonnya. Namun di Kanekes, sepertinya budaya angklung bukan semata-mata sebagai media hiburan saja.

Seni memainkan angklung sama halnya dengan seni menata kehidupan bermasyarakat sebab karakter angklung nan dimainkan oleh satu dengan nan lain berbeda, hal tersebut serupa dengan karakter tiap orang dalam kehidupan masyarakat.

Namun, disparitas tersebut ternyata bukan menimbulkan huru hara, melainkan memunculkan nilai keindahan sendiri nan membuat pendengar menjadi merasa terhibur sebab bebunyian nan menarik itu.

Hal ini menandakan bahwa angklung merupakan alat musik nan memadukan antara perbedaan, toleransi, kerjasama, dan kebersamaan nan memainkannya sehingga bunyi nan dihasilkan bersifat harmonis. Keharmonisan tersebut kemudian harus dijaga agar senantiasa terus mengalunkankeindahan.

Sama halnya dengan nilai-nilai toleransi, kerjasama, dan kebersamaan nan harus dijaga oleh masyarakat Kanekes atau Suku Badui tersebut buat tetap memberikan harmonisasi kehidupan nan bernilai adiluhung.

Selain itu, ada pula filosofi lain nan membuat angklung memiliki nilai budaya nan tinggi, yakni kedekatannya dengan alam sebab bahan nan digunakan buat membuat alat musik tersebut ialah berupa bambu. Bambu memiliki ciri nan kokoh sehingga hal tersebut bisa pula digunakan sebagai analogi kokohnya akar kebudayaan nan dimiliki oleh masyarakat Badui.

Dengan demikian, tak heran jika angklung menjadi salah satu alat musik nan dimainkan oleh warga Kanekes.