Tanggung Jawab
Jagat hiburan bukan milik seniman semata. Sekarang ini, makhluk halus tengah menjadi pendatang baru dalam industri hiburan di Indonesia. Makhluk halus macam jin, kuntilanak, genderuwo nan dulunya ditakuti justru sekarang dicari agar dapat tertangkap kamera. Ternyata, ekspedisi alam mistik dapat jadi komoditas bisnis bagi global entertaimen. Rasa horor, mencekam, juga takut, membuat pemirsa malah ketagihan. Terbukti, dengan menjamurnya film esek-esek berbau alam gaib.
Tak mau ketinggalan, televisi memproduksi acara sejenis. Formatnya beragam, tetapi tujuannya jelas mencari penampakan makhluk halus. Booming kenyataan ini bisa dijumpai di medio 2000-an. Saat itu, tayangan semacam ekspedisi ke global lain mendominasi shampir semua televisi swasta. Ekspedisi alam mistik laku dijual sebab menjual semacam reality show. Di sana ada bumbu-bumbu gaib dibalut dengan drama dari para pelakunya. Tak sporadis memang ada bayangan aneh nan terekam kamera. Ternyata, makhluk halus pengin ingin tenar juga!
Bohong?
Acara ekspedisi alam mistik nan sering nongol di televisi sekarang ini dianggap ada unsur drama (settingan). Intinya, acara ini menampilkan kesemuan semata. Karena apa nan terjadi di sana tak benar-benar terjadi, melainkan rekayasa. Namun, itu semua ditampilkan seolah nyata. Misalnya, dengan penyebutan, “Tayangan ini telah memperoleh persetujuan dari pihak pihak nan terkait”.
Kecurigaan ini muncul sebab tayangan demikian terlihat secara vulgar seperti drama (sinetron) sungguhan. “Kok, reality show tapi kayak acting?” begitu gumam pemirsa. Pelakunya seperti terlihat melafal skrip. Tentunya pemirsa mempunyai feeling (perasaan) mana nan reality dengan rekayasa.
Belum reda masalah tersebut. Organisasi atau komunitas keagamaan mempermasalahkan hal ini. Karena dianggap tak sejalan dengan anggaran agama. Kesannya memang manusia ingin cari gara-gara dengan hantu. Seperti acara nan pernah ngetop semisal pemburu hantu. Kejanggalan nan lain terjadi seperti saat jam tayang akan selesai si hantu pun selesai ditangkap. Seolah hantunya itu sudah tahu kalau jam tayang di televisi akan segera habis.
Meskipun sebenarnya hal tersebut dapat saja dibantah oleh mereka nan membuat acara tersebut. Walaupun ada kemungkinan buat menangkap tayangan penampakan ketika sutting berlangsung dan pembuat acara dapat mengeditnya sehingga menjadi sebuah tayangan nan apik.
Namun semua tetap meninggalkan pertanyaan dalam benak seluruh pemirsa. Sebenarnya kita juga tak dapat menyalahkan orang nan membuat film ini secara keseluruhan. Pola pikir masyarakat nan masih memiliki kepercayaan terhadap hal tersebutlah nan juga ikut andil bagian dalam penayangan acara ini.
Masyarakat kita sangat percaya akan banyak sekali tahayul dan hal nan berbau mistis. Peluang ini kemudian ditangkah dan dikemas sedemikian cantiknya sehingga menjadi sebuah acara nan kemudian disukai oleh banyak pemirsa.
Namun ternyata kemasan tersebut lebih mengutamakan nilai jual sehingga menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat. Ada nan menilai bahwa dalam tayangan ini tak memberikan sebuah nilai edukasi nan baik kepada pemirsa. Makanya berbagai kritik pun mengalir dari berbagai sudut.
Tayangan nan menghibur memang sebuah kebutuhan nan harus dipenuhi oleh sebuah penyelenggara tayangan televisi. Namun bukan berarti harus mengindahkan berbagai dampak nan dapat ditimbulkannya. Jika bisa, harus menimbulkan sebuah imbas nan postif ketika orang selesai menonton acara tersebut.
Yang terjadi di sini dianggap sebagai sebuah pembodohan kepada masyarakat sebab tayangan nan berisi tentang nilai-nilai buat pendidikan kurang ada. Masyarakat diajak buat takut akan suatu hal nan belum niscaya ada. Padahal sudah saatnya sebuah tayangan pertelivisian mampu buat mengajak bangkit orang nan menonton sebuah tayangan.
Bangkit dalam artian nan positif, yakni mampu memberikan sebuah motivasi agar menjadi insan nan lebih baik. Seperti sebuah tayangan tentang bagaimana seseorang bangun dari sebuah keterpurukkan sehingga menjadi seseorang nan sukses.
Acara nan seperti inilah nan dibutuhkan oleh masyarakat kita sehingga ketika seseorang mengalami sebuah kegagalan maka orang tersebut akan segera bangkit. Bangkit buat memperbaiki kesalahan dan menjadi orang nan lebih baik. Dan bukannya malah meratapi segala kesalahan nan pernah dilakukan sehingga dirinya menjadi terpuruk.
Jarang sekali ada tayangan seperti ini nan hadir di paras pertelevisian kita. Kebanyakan dalam tayangan tersebut malah meratapi segala keterpurukkan dan menimbulkan belas kasih. Bukannya tak boleh buat meminta belas kasih ke orang lain tetapi memberikan sebuah nilai buat dapat bangkit dari keterpurukan akan lebih baik daripada hanya menjual rasa kasihan.
Tanggung Jawab
Media dituntut memiliki tanggung jawab. Tidak saja berdasar pada rating, tetapi nilai edukasi dan kemanfaatan harus dipertimbangkan. Selama ini, nan menonjol terlihat, tayangan televisi tak punya prinsip nan jelas. Bila satu acara sedang ngetop, muncul acara homogen nan menirunya. Memang, idiom "rating ialah Tuhan" tak sepenuhnya salah. Namun, dengan kreativitas acara nan bernilai edukasi pun dapat diminati oleh masyarakat. Ayo media, berani menjawab tantangan ini?
Memang sahih bahwa pendidikan atau nilai edukasi harusnya ada di dalam setiap tayangan pertelevisian nan ada di nusantara ini. Sudah menjadi kewajiban bagi semua pihak setiap hal nan dapat diakses di muka generik hendaknya memiliki muatan positif nan harus diberikan kepada masyarakat.
Jadi tak hanya menjadi tanggung jawab televisi pemerintah saja nan harus memberikan tayangan dengan nilai edukatif nan baik bagi seluruh rakyak Indonesia melainkan juga semua televisi nan ada di nusantara ini. Sementara sekarang ini banyak sekali tayangan nan kurang memberikan nilai edukatif nan dipandang sangat perlu diberikan kepada khalayak ramai, terutama penonton nan masih dalam kategori kurang mengerti.
Tidak semua tampilan nan ada di siaran pertelivisian di negara ini nan tak mendidik tetapi porsi nan diberikan sebenarnya kurang berimbang. Tayangan nan disuguhkan buat pemirsa lebih banyak ke hal nan memiliki nilai hiburan tanpa ada edukasinya. Bahkan ada nan memberikan sebuah arahan buat dapat melakukan tindak kejahatan.
Sebut saja suatu acara seperti nan pernah ditayangkan dalam sebuah stasiun televisi swasta. Dalam acara disebutkan bagaimana cara membuat makanan nan tak layak konsumsi nan secara langsung ditunjukkan dengan detail. Ada sebuah kesan bahwa dalam acara tersebut malah memberikan contoh bagaimana pedangang lain nan awalnya tak tahu menjadi tahu cara membuatnya. Bukankah ini sebuah edukasi nan negatif.
Sebenarnya cukup saja disortir cara pembuatannya dan nama bahannya diganti dengan nama senyawa kimia nan tentu saja akan membuat orang bingung. Paling tak buat penayangannya tak terlalu transparan sehingga seseorang malah tahu bagaimana cara membuatnya.
Jika point nan ingin disampaikan ialah cara membedakan mana barang nan jelek dan nan baik maka cukup point itu saja nan diterangkan dan bukan cara membuatnya. Lagi-lagi masalah rating juga nan jadi pertimbangan dalam pembuatan acara tersebut. Jika langsung ke inti cerita akan kurang baik dan ratingnya juga tak akan bagus. Tetapi pesan moral nan diikuti oleh tindak kriminal nan dapat dilakukan oleh orang lain juga patut menjadi bahan pertimbangan.
Ini ialah salah satu contoh saja nan dipandang kurang mengedepankan nilai-nilai pendidikan nan positif bagi pemirsanya. Jadi perlu ada sebuah seleksi nan juga dilakukan oleh masyarakat selain nan dilakukan oleh badang sensor terkait.
Memang sangat disayangkan sekali sebab rasa tanggung jawab buat memberikan sebuah pendidikan nan terbaik bagi generasi penerus bangsa dirasakan masih kurang. Semuanya masih kalah dengan sesuatu nan bernama “materi” atau uang.
Bagi seorang pengusaha, uang memang kapital primer atau nan biasa menjadi fokus dalam setiap tindakannya. Meskipun klausa ini tak dapat dilakukan generalisir bagi semua pengusaha nan ada di nusantara ini. tetapi alangkah baiknya jika setiap melakukan usaha tersebut implisit sebuah langkah buat mendidik generasi bangsa.
Sudah saatnya memberikan tayangan dengan nilai pendidikan nan baik bagi penerus bangsa. Membuat sebuah tayangan nan memiliki nilai pendidikan tetapi tetap mampu menarik bukanlah perkara nan sulit. Namun hal tersebut juga bukan sebuah perkara nan mudah pula.
Harus ada sebuah kolaborasi nan baik dari kalangan pendidik dan kalangan entertaint ketika membuat acara tayangan pertelevisian. Dengan demikian akan ada sebuah tayangan nan bernilai edukatif namun tetap menghibur sehingga ada tanggung jawabnya ketika memberikan sebuah tayangan buat pemirsa.