Konsekuensi Beda Agama

Konsekuensi Beda Agama

Keberagaman agama di Indonesia bukan tak mungkin menghadirkan romansa dari dua agama berbeda. Memiliki pasangan hayati Kristen bagi mereka nan berseberangan keyakinan menjadi salah satu contoh keanekaragaman nan terjadi sebab disparitas agama.



Beda Itu Indah

Perbedaan ialah hal nan wajar. Estetika pelangi saja tercipta sebab disparitas warna. Majemuk nada nan dihasilkan dari ragam alat musik berbeda, justru akan menghasilkan harmonisasi nan indah. Begitupun disparitas keyakinan.

Hakikatnya, setiap agama mengajarkan hal-hal nan baik, saling mengasihi, dan menghargai. Tidak ada satu pun agama nan mengajarkan tentang bagaimana melakukan kejahatan nan benar.

Berbagai permasalah keagamaan, sejujurnya, tak bisa dipungkiri. Misalnya, permasalahan dalam mencari pasangan hidup. Mau tak mau, suka ataupun tak suka, disparitas itu niscaya akan menimbulkan permasalahan bagi sebagian orang.

Pada agama tertentu, menikahi seseorang di luar agamanya dianggap sebagai satu pelanggaran terhadap ajaran agama. Namun, ada juga agama nan sama sekali tak mempermasalahkan hal seperti itu. Itulah uniknya keberagaman di Indonesia. Di dalam perbedaan, masih terdapat perbedaan.



Dewasa dalam Bersikap

Keharmonisan sebuah interaksi tak semata-mata dinilai dari kecenderungan agama nan dianut, semua bergantung pada individu masing-masing. Bila di antara Anda memiliki pasangan hayati berbeda keyakinan, satu tip nan dirasa manjur ialah bersikaplah selayaknya orang dewasa.

Selayaknya orang dewasa, sikap nan sudah harus dimiliki salah satunya ialah mampu menilai mana nan baik dan mana nan buruk. Baik dan jelek seseorang bukan berdasar pada satu agama nan dianutnya, melainkan pada sikap individu tersebut.

Selama Ada Cinta, Beda Itu Tiada. Selama saling mencintai dan menghargai pasangan, disparitas agama dalam sebuah interaksi sepertinya tak perlu dipermasalahkan lebih lanjut. Semua kembali pada pribadi dan pemahaman masing-masing terhadap nilai-nilai ajaran kehidupan nan baik.

Bila interaksi Anda dan pasangan nan berbeda agama mendapat kontradiksi dari orang sekitar, jangan langsung menyerah. Yakinkan mereka dengan hal-hal baik tentang pasangan Anda. Tunjukkan bahwa pasangan Anda memang nan terbaik bagi Anda. Tegaskan pula bahwa Anda hanya akan senang bila hayati bersamanya.

Berpikir Positif. Bila semua usaha buat meyakinkan orang sekitar, khususnya orang tua Anda, dirasa tak berhasil, hal baik nan dapat Anda lakukan ialah bersabar, berpikiran positif, dan menerima fenomena bahwa dia memang bukan ditakdirkan buat Anda. Siapkan diri Anda buat menyambut hadirnya orang baru nan bisa membuat hayati lebih berwarna.

Satu hal nan sepertinya perlu diingat ialah Tuhan telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Berjodoh atau tidaknya kita dengan seseorang, sebenarnya sudah diisyaratkan oleh-Nya. Tinggal diri kita nan harus pandai-pandai menafsirkan isyarat Tuhan.



Konsekuensi Beda Agama

Namun dalam menjalani interaksi beda agama ini memang akan dihadapkan kepada beberapa persoalan nan siap menanti. Hal ini memang sebab alaminya, disparitas akan menimbulkan permasalahan sebab disparitas membutuhkan penyesuaian atau pun usaha buat bisa beradaptasi dan menerima disparitas tersebut.

Berikut ialah beberapa konsekuensi nan harus diterima bagi pasangan beda agama tersebut.

1. Birokrasi Negara

Kita tentu banyak melihat bagaimana para seniman nan sudah terlanjur terpikat dengan pasangannya nan beda agama memutuskan buat menikah. Mereka akan menikah di luar Negara kita, misalnya nan terdekat ialah di Negara Australia.

Hal ini ialah sebuah hal nan sangat wajar sebab ternyata Indonesia menentang atau tak mengakui adanya pernikahan beda agama. Seseorang bisa menikah seseorang nan lain jika mereka memiliki keyakinan nan sama. Jika terjadi disparitas maka sine qua non salah satu dari mereka nan mengikuti keyakinan dari nan lain. Atau dengan kata lain, nan satu harus berganti agama mengikuti agama pasangannya.

Terkadang hal ini menjadi sebuah pilihan dan keputusan nan sulit. Karena berganti keyakinan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Keyakinan nan sudah kita yakini dan ditanamkan kepada kita sejak kecil oleh orang tua dan juga kita yakini dengan sendirinya harus kita ubah begitu saja.

Namun bagi sebagian orang, hal ini terlihat gampang buat dilakukan. Semuanya atas nama cinta. Cinta bisa mengalahkan segalanya, termasuk dalam hal keyakinan ini. Seseorang bisa dengan mudah buat memutuskan mengganti agamanya dan mengikuti agama pasangannya.

Untuk sebagian orang nan lain nan memilih tetap memegang keyakinannya dan tidak mau berpindah agama menjadi sama dengan agama pasangannya, maka mereka pun akan menjadi pasangan beda agama.

Bagi pasangan beda agama ini, Negara kita memberlakukan sebuah hal nan sedikit berbeda. Negara kita tidak mengijinkan adanya pernikahan beda agama. Yang diijinkan hanyalah pasangan nan menikah dengan memiliki agama nan sama antara pasangan tersebut.

Untuk itu, bagi pasangan beda agama nan ingin tetap buat menikah maka mereka harus mencari institusi lain, lebih tepatnya Negara lain, nan mau mengakui pernikahan mereka. Serta mau mengurusi segala birokrasi buat menyiapkan pernikahan mereka.

Inilah masalah pertama nan akan timbul bagi pasangan beda agama. Bagi mereka nan memiliki cukup financial, mungkin hal ini tak akan menjadi sebuah masalah tersendiri. Mereka cukup pergi ke luar negeri dan mengurusi segala keperluan pernikahan mengenai birokrasi.

Masalah akan muncul bagi mereka nan tidak cukup banyak memiliki keuangan. Mereka tentu tidak bisa dengan mudah buat pergi ke luar negeri dan membayar semua hal mengenai birokrasi. Pilihan buat berganti agama pun bukan menjadi suatu hal nan diinginkan.

Ada sebuah contoh kasus dari pasangan dalam keadaan tak cukup financial ini. Untuk mengatasi masalah beda agama ini, ada satu orang nan bersedia mengganti agamanya dengan mengikuti agama dari pasangannya. Ternyata hal ini hanya hitam di atas putih belaka. Hanya buat mendapatkan legalitas Negara saja.

Setelah terjadi pernikahan, orang nan telah berganti agam tadi, pindah atau kembali kepada keyakinannya semula. Ia tidak merasa bertanggung jawab atau punya beban moral terhadap apa nan telah dilakukannya. Yang krusial sudah mendapatkan legalitas akan pernikahanny dan juga tetap bisa memeluk keyakinannya semula.

Hal ini memang tidak banyak ditemui di berbagai daerah atau hanya ada di beberapa kasus saja. Namun hal ini ialah bukti konkret bahwa pernikahan beda agama akan pertama kali dihadang oleh masalah birokrasi Negara. Jadi, semuanya harus siap buat meghadapi ini semua dengan lebih bijaksana dan tidak mementingkan kepentingannya sendiri.

2. Disparitas keyakinan bisa menimbulkan masalah

Hal ini memang sudah menjadi hal nan sangat wajar buat terjadi. Karena sejatinya ada hal nan prinsip nan berbeda. Yaitu masalah keyakinan kita terhadap hal prinsip pula. Dan sangat mungkin akan memicu permasalahan lain.

Misalnya mengenai hal sepele. Hari minggu dianggap sebagai hari libur, bagi pasangan nan non Kristen, tentu sangat mengharapkan bahwa hari minggu akan bisa digunakan sebagai hari keluarga loka dimana semua keluarga bisa berkumpul dan bercengkrama.

Namun bagi seorang Kristiani, hari minggu haruslah dijadikan sebagai hari ibadah. Mungkin hal ini bisa dikompromikan. Namun tetap kita tidak bisa menghindari adanya masalah nan lain.

3. Pendidikan anak

Hal inilah nan akan menjadi hal nan sulit bagi pasangan hayati beda agama. Anak mereka akan melihat dua hal berbeda dalam melakukan keyakinannya. Ayahnya melakukan hal nan tidak sama dengan ibunya.

Tentu hal ini akan menyebabkan kebingungan bagi anak. mana nan harus ia pilih. Sebenarnya, anak sudah harus sejak dini dididik buat mengenal agama agar jika ia sudah menginjak dewasa penanaman mengenai agama ini sudah inheren kuat pada dirinya.

Namun jika orang tuanya dalam keadaan beda agama, tentu hal ini tidak bisa dilakukan sejak dini. Tentu masing-masing orang tua ingin anaknya mengikuti keyakinannya. Jadi akan terjadi tarik menarik antara ayah dan ibu.

Terkadang ada pendapat nan mengatakan bahwa biarkan anak nantinya memilih mana keyakinan nan ia ingin peluk. Namun hal ini juga sangat riskan sebab memang dalam hal agama ini harus ditanamkan sejak awal.

Bagaimana dengan masa ketika anak masih bayi atau masih masa anak-anak. mereka masih belum dapat memilih sendiri. Kemampuan ini akan muncul ketika mereka sudah beranjak dewasa.

Begitulah kenyataan pasangan beda agama. Pasangan hayati Kristen nan menikah dengan orang nan berkeyakinan lain. Tentu aka nada konsekuensi dari hal ini.