Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu
PADAMU JUA
Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali saya padamu
seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
pelita ventilasi di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.
Petikan puisi tersebut merupakan salah satu puisi Amir Hamzah nan terkenal ‘Padamu Jua’. Dia ialah penyair terkenal pada era 1940-an. Puisi Amir Hamzah tersebut menceritakan tentang perjumpaan sepasang muda-mudi nan sudah lama tak berjumpa. Banyak menafsirkan, rendezvous nan dimaksud ialah rendezvous ‘aku’ sebagai manusia dengan Tuhan di alam keabadian.
Dalam puisi Amir Hamzah ini, banyak digunakan kata-kata nan mengandung makna nan berkonotasi positif. Misalnya, setia, pelita, kandil, atau dara. Sementara itu, kata-kata nan mengandung pengertian negatif, juga dapat ditemui pada kata-kata, seperti sunyi, kikis, ganas, dan sasar. Melalui penggunaan kata-kata, baik nan berkonotasi positif maupun negatif, akan sangat membantu buat mengungkap makna atau isi di balik puisi Amir Hamzah itu.
Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu
Kumpulan puisi Amir Hamzah, masing-masing ‘Nyanyi Sunyi’ dan ‘Buah Rindu’ hingga kini menjadi materi pembelajaran kesusastraan kepada siswa di sekolah-sekolah. Puisi Amir Hamzah sampai sekarang begitu inheren di hati masyarakat Indonesia, begitu abadi hayati di benak masyarakat. Khususnya pencinta sastra Indonesia. Namun, siapakah sebenarnya Amir Hamzah?
Nama lengkap Amir Hamzah ialah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura. Beliau lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara. Tepatnya pada 28 Februari 1911. Semasa masih kanak-kanak, ia tinggal di kampung halamannya dan sangat disayangi orang-orang sekampungnya. Sifatnya nan sopan dan parasnya nan rupawan, membuat banyak orang-orang menyayanginya.
Pemberian nama Hamzah, nan dimiliki Amir diambil dari nama sang kakek dari pihak ayah, Tengku Hamzah, nan tak lain ialah saudara kandung Tengku Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmatsjah, raja Langkat nan berkuasa pada periode1893-1927. Sementara, nama Amir Hamzah secara holistik dirujukkan sang ayah pada karya sastra Melayu klasik, Hikayat Amir Hamzah; sebuah hikayat tentang kepahlawanan paman Nabi Muhammad.
Nama ayah Amir Hamzah ialah Tengku Muhammad Adil, dengan gelar Datuk Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil memiliki garis kekerabatan dengan Sultan Machmud, yakni penguasa Kesultanan Langkat nan berkuasa antara tahun 1927–1941. Apabila didasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah merupakan generasi ke-10 Sultan Langkat dan menjadi pewaris tahta salah satu Kerajaan Melayu, yaitu Kesultanan Langkat.
Semenjak kecil, Amir tumbuh dalam keluarga kerajaan nan amat mencintai sastra Melayu. Ayahnya, nan pada masa itu mempunyai kedudukan sebagai bendahara di Kesultanan Langkat ialah seorang terpelajar nan memiliki minat tinggi pada budaya baca. Sementara itu, di rumahnya, sang ayah mengelola perpustakaan dan sering mengadakan diskusi.
Seringkali ayahnya membaca hikayat-hikayat Melayu lama, seperti Hikayat Amir Hamzah, Bustanus-salatun, dan Qususul Anbia.
Pada 1918 Amir masuk sekolah dasar berbahasa Belanda, “Langkatsche School” (kemudian dikenal sebagai Hollandsch-Inlandsche School, HIS). Sekolah nan mempunyai tujuh strata kelas ini didirikan oleh Sultan Langkat, Tengku Abdul Azis, pada 1900, dengan mendatangkan guru-guru dari negeri Belanda.
Sore harinya, Amir belajar mengaji di Maktab Putih, yaitu sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi, Langkat. Sesudah menamatkan pendidikan di Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sebuah sekolah tinggi nan berada di Medan. Setahun setelah itu, Amir Hamzah melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan, Batavia.
Setelah lulus, ia melanjutkan sekolah di Aglemenee Middelbare School (AMS) di Solo, Jawa Tengah dengan mengambil jurusan Sastra Timur.
Semasa bersekolah di Solo inilah, akhirnya proses kepenyairan beliau terbentuk sehingga banyak tercipta puisi Amir Hamzah . Dalam kurun waktu selama tujuh tahun di Pulau Jawa, Amir Hamzah memasuki masa-masa produktif.
Tidak heran kalau akhirnya tercipta 13 prosa, 50 puisi,18 prosa lirik,1 buah prosa liris terjemahan, dan 11 puisi terjemahan. Salah seorang tokoh sastrawan Indonesia, Ajip Rosidi, menilai puisi-puisi pada Buah Rindu ialah puisi Amir Hamzah ketika menjalani masa-masa “latihan kepenyairan”. D
emikian pula dengan asumsi Amir Hamzah sendiri bahwa Buah Rindu hanya sebagai latihan sebelum akhirnya ia menulis sajak-sajak sebagaimana nan terangkum dalam Nyanyi Sunyi. Hal inilah nan menjadi alasan mengapa puisi-puisi dalam Buah Rindu belum menunjukkan kualitas sebagaimana nan terlihat dalam antologi Nyanyi Sunyi.
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa selama proses kepenulisan puisi Amir Hamzah sewaktu di Solo merupakan proses awal nan menentukan posisi kepenyairannya. Masa ini ialah proses pembentukan dan pematangan dari seorang Amir Hamzah sebagai manusia. Kiprahnya sebagai penyair terus berkembang, sampai akhirnya beliau melanjutkan sekolah di Batavia.
Periode Solo dan Batavia, menjadi proses paling intensif sekaligus dalam kehidupan seorang Amir Hamzah. Intensitas pergulatan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke dalam puisi-puisi Amir Hamzah. Bahkan, sajak-sajak Amir Hamzah indentik dengan jalan hidupnya.
Kesan seperti ini tak bisa dihindarkan sebab sajak-sajak Amir Hamzah sepertinya secara langsung mencerminkan fakta dan peristiwa realitas dalam kehidupan, perenungan, serta pergulatan dan pencapaiannya di global sebagai manusia.
Di Batavia, bersama beberapa orang sahabatnya di Perguruan Rakyat, temasuk Armijn Pane, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Soemanang, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe. Pada babak inilah puisi-puisi Amir Hamzah nan diciptakan di Solo mulai disiarkan, termasuk di Majalah Timboel.
Setelah dimuat di majalah Timboel, puisi Amir Hamzah terus diterbitkan berbagai media massa nan lain, misalnya di majalah Pandji Poestaka, Pudjangga Baroe, dan sebagainya. Lama-kelamaan nama Amir Hamzah kian bergaung dan di lingkungan kalangan sastrawan.Ia nan dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru sudah mewariskan sekitar 160 karya berupa lima puluh sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, satu prosa liris terjemahan, tiga belas prosa asli, dan satu prosa terjemahan.
Karya-karyanya nan terkenal terkumpul dalam antologi Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937). Selain itu, ia menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari negeri tetangga, seperti Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lain dalam antologi Setanggi Timur (1939) dan terjemahan Bhagawat Gita nan dipetik dari Mahabarata.
Atas karyanya nan gemilang, A. Teeuw menyebutnya sebagai, “the only pre-war poet in Indonesia whose works reaches international level and is of lasting literary interest” (satu-satunya penyair sebelum masa perang di Indonesia nan karya-karyanya berkelas internasional dan abadi).
Sejak merantau ke Jakarta pada 1928, Amir seakan terombang-ambing antara tanah kelahiran nan ia cintai dan daerah baru nan penuh harapan. Dia berada di antara rasa sakit meninggalkan kampung halamannya dan rasa gembira menginjakkan kaki di tanah baru. Ia selalu berada di tengah antara tradisi dan modernisasi, Timur dan Barat, adat dan kebebasan individu, feodalisme dan demokrasi, masa lampau dan masa depan, Melayu dan Indonesia. Amir selalu berupaya merawat transedental antara keduanya, sebagaimana dalam sajaknya, “Hatiku Bertjabang Dua”.
Nama Tengku Amir Hamzah kini telah dilihat tak hanya dalam prestasi kepenyairannya, akan tetapi sebagai lambang kemelayuan, kepahlawanan, juga keislaman. Anthony H. Johns, menyebut Amir Hamzah dalam satu tarikan nafas, yaitu sebagai “Pangeran Melayu, Penyair Indonesia”.
Amir Hamzah pun tak bisa hanya dilihat sebagai anggota dari suatu kelompok atau angkatan. Ia seolah-olah tumbuh dan menonjol sebab dirinya sendiri, tidak terkait dengan suatu kelompok atau kesamaan apapun. Masyarakat akhirnya mengusulkan bahwa dikarenakan Tengku Amir Hamzah telah mengembangkan kebudayaan, khususnya kesusastraan agar mendapat perhatian.
Akhirnya, Surat Keputusan Presiden No.106/TK Tahun 1975, ia menjadi Pahlawan Nasional sejak 10 November 1975. Global mengakui bahwa seluruh pengorbanan dan prestasi nan telah dicapai takkan dapat turut terpancung bersama jasadnya. Semua penghargaan ini seakan mengamini bahwa hanya dengan tragedi kita tahu apa atau siapa nan seharusnya kita hargai.
Kematian Tengku Amir Hamzah ialah bertentangan dengan harapan sebuah revolusi nan tak pernah bisa diramalkan jangkauannya. Di satu pihak, ia ialah wakil nan harus melindungi Sultan dan kebesaran kerajaan, tetapi di pihak lain ia ialah bupati Indonesia nan seharusnya bergabung dengan massa buat memimpin revolusi. Inilah fakta sejarah, betapa kejamnya sebuah revolusi nan tak pernah mengenal siapa versus dan siapa kawan.