Hukuman Mati Koruptor
Korupsi, kolusi, nepotisme dan budaya suap di Indonesia sudah semakin parah dan memilukan dibanding Negara-negara tetangga. Bahkan dalam kasus korupsi Indonesia selalu menempati peringkat nan memalukan.
Seperti data Corruption Perception Indeks (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi nan dilansir oleh 10 organisasi internasional, pada tahun 2010, Indonesia berada di urutan 110 dengan nilai 2,8. Padahal Negara tetangganya, Singapura bertengger di peringkat 1 dengan nilai hampir mendekati 10 yakni, 9,3. Brunei 5,5 dan Malaysia 4,4 serta Thailand 3,5.
Data Seram CIA
Korupsi politik ialah istilah generik nan mengacu pada kejadian di mana pejabat pemerintah nan ditunjuk atau dipilih, dari hakim sampai legislator dan polisi, gagal buat menegakkan hukum secara adil dan seimbang.
Hal ini bisa mencakup kegiatan seperti mendukung undang-undang melalui suap, memberikan pemerkosaan pada peradilan dan hukum nan menguntungkan atau tak menguntungkan buat memilih minoritas dalam populasi, atau penyalahgunaan kekuasaan lainnya.
Sejarah manusia di pemerintah dari semua jenis telah menunjukkan korupsi dalam beberapa derajat. Praktek ini biasanya lebih luas, namun, dalam sistem politik nan tak memiliki inspeksi chek and balances buat membatasi kekuasaan di taraf lokal dan nasional, seperti di negara tiran dan rezim totaliter (apakah Indonesia termasuk? Mari tanya KPK).
Negara-negara nan paling tak stabil umumnya mereka dengan administrasi pemerintahan nan jelek dan kontrol atas penduduk, sebab gejolak ekonomi, militer, atau etnis. Hal ini sering menyebabkan korupsi politik meluas di pejabat pemerintah nan memperoleh kewenangan dan kantor dengan cara dipertanyakan di loka pertama dan nan mungkin tak mewakili kehendak rakyat.
Bangsa nan menduduki puncak daftar indeks negara gagal pada 2011 termasuk Somalia, Zimbabwe, dan Sudan. Setiap bangsa memiliki kondisi nan unik nan mengarah ke korupsi politik, dengan Somalia memiliki pemerintah pusat sangat lemah, Zimbabwe menghadapi tantangan ekonomi nan sangat besar, dan Sudan berjuang dengan konflik antar etnis.
Badan intelijen ternama seperti Central Intelligence Agency (CIA) secara teratur memeriksa korupsi oleh negara dan upaya buat cukup peringkat negara nan menggunakan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Mengapa CIA?
Karena AS mengendalikan sumber keuangan global melalui program bank global mereka, dan wajar bila mereka merasa terusik keuntungannya bila ‘bantuan’mereka bocor kepada satu dua keluarga di dalam rezim pemerintahan tertentu.
Daftar nan dibangun CIA ini termasuk indeks kebebasan politik dan konservasi pemerintah menawarkan kepada warga negara mereka. Daftar nan didasarkan pada hak-hak politik dasar dan kebebasan sipil yang, sekali mapan, meminimalkan korupsi politik seperti korupsi polisi dan pemerintahan nan tak adil oleh elite kekuasaan.
Peringkat CIA buat negara-negara dengan taraf kebebasan pada 2011 misalnya didasarkan pada hak-hak politik dari proses pemilu nan adil, pluralisme politik dan partisipasi penduduk, dan pemerintah, nan stabil berfungsi.
Ini juga termasuk peringkat menggunakan kebebasan sipil, seperti kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, penegakan hukum, dan konservasi hak-hak individu. Bangsa nan peringkat sebagai nan paling menindas di daftar dari tahun 2011 termasuk Burma, Libya, dan Korea Utara. Negara lain dianggap tinggi pada daftar buat sistem politik nan tak adil nan sering menyebabkan korupsi sistemik termasuk Cina, Kuba, dan Laos. Itu versi CIA.
Korupsi Kelas Atas Korupsi Kelas Bawah
Korupsi di pemerintah daerah sering merupakan contoh di mana pemerintah nasional lemah atau telah melepaskan tanggung jawab atas warganya, kecuali di ibukota dan kota-kota besar. Ini semacam korupsi politik bisa ditelusuri kembali ke kerajaan dan monarki dari masa lalu, di mana kelas penguasa politik nan menggunakan kekuasaan dan kekayaan buat mengeksploitasi penduduk setempat nan kurang beruntung.
Kondisi nan sama masih ada saat ini di banyak negara berkembang, di mana kekayaan sumber daya alam suatu negara disalurkan sebagian besar kelas penguasa, dan sebagian besar penduduk diabaikan dan diabaikan.
CIA World Factbook pada 2007 mencatat Republik Demokratik Kongo sebagai contoh sebuah negara di mana korupsi merajalela dalam sistem perbankan dan infrastruktur nan jelek berkontribusi buat membuat negara paling berbahaya buat tinggal keenam di dunia.
Skandal politik, bagaimanapun, tak semata-mata provinsi negara-negara miskin atau nan diperintah oleh rezim nan menindas. Negara demokrasi maju banyak pada satu waktu atau lain telah memiliki mesin politik nan merajalela dengan korupsi.
Negarawan besar seperti Inggris Winston Churchill mengakui bahwa korupsi politik ialah kondisi manusia nan muncul dalam semua bentuk pemerintahan dan bahwa salah satu cara terbaik buat meminimalkan itu buat mendorong partisipasi dari semua warga negara dalam proses pemerintahan.
Korupsi politik dalam bentuknya nan paling dasar ialah suatu tindakan oleh pejabat publik nan menentang kepentingan masyarakat luas, buat memberikan pertimbangan spesifik pada kebutuhan perusahaan asosiasi dan seperti hati individu. Dalam hal, korupsi politik ini maka merupakan tren bahwa semua pejabat publik harus di-jaga dalam menjalankan tugas sehari-hari mereka buat orang banyak di mana mereka bertugas melayani, dan bukan mengambil laba pribadi.
Hukuman Mati Koruptor
Dalam menangani maraknya kasus korupsi Indonesia perlu menerapkan sanksi mati. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, hakim tidak perlu takut buat menjatuhkan sanksi wafat bagi terpidana korupsi, sebab hal itu sudah diatur dalam Undang-undang.
Seperti nan termaktub dalam Undang-Undang No. 31/1999 nan kemudian diperbaharui dengan munculnya UU no. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, koruptor dapat dihukum wafat ketika korupsi dilakukan dalam keadaan Negara nan sedang mengalami bala alam atau dilanda krisis. Meskipun pada prakteknya, hingga saat ini belum ada keberanian hakim nan memvonis koruptor dengan sanksi mati.
Belajar dari China dan Lativia
Sedangkan menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, dalam menangani akutnya kasus korupsi Indonesia perlu belajar dari Negara lain seperti China dan Lativa. Kedua Negara ini dinilai berani dalam melakukan revolusi guna menumpas kejahatan korupsi di negaranya masing-masing.
China menjatuhkan sanksi wafat kepada para koruptor dengan memberlakukan kebijakan pemutihan sebelumnya. Dengan kata lain, semua pejabat China nan pernah melakukan korupsi sebelum tahun 1998 dianggap higienis dan diputihkan.
Akan tetapi begitu korupsi terjadi satu hari saja setelah pemutihan diberlakukan, pelakunya langsung dijatuhi sanksi mati. Praktis, hingga tahun 2007 saja, sudah 4.800 orang pejabat China nan terkena sanksi mati. Kini, China termasuk Negara nan higienis dari korupsi.
Sedangkan Latvia menerapkan kebijakan Lustrasi dengan mengeluarkan Undang-undang Mutilasi Generasi. Melalui pemberlakukan Undang-undang Lustrasi Nasional inilah seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan tokoh politik nan aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang buat aktif kembali. Dengan adanya kebijakan Lustrasi, Latvia nan sebelum tahun 1998 dikenal sebagai Negara nan korup, kini menjadi Negara nan higienis juga dari praktek korupsi.
Perlu Terobosan
Belajar dari pengalaman dua Negara di atas, perlukah Indonesia menerapkan kebijakan homogen buat memberantas korupsi nan semakin hari semakin merajalela menggerogoti tubuh Republik ini. Meskipun upaya tersebut akan menemui jalan buntu ketika dibenturkan pada problem Hak Asasi Manusia (HAM) dan tentunya hambatan politis nan sering dihadapi.
Betapa pun rumitnya persoalan, nan niscaya Indonesia perlu terobosan-terobosan baru agar hukum memberikan imbas jera bagi siapapun nan berniat melakukan korupsi di negeri ini, termasuk hukum pangkas tangan jika diperlukan!