Gejala TBC
Lebih Jauh Dengan TBC
Bakteri TBC nan bila dilihat dari mikroskop berbentuk basil atau batang ini merupakan bakteri penyebab kematian terbesar ketiga di Indonesia. Jumlah penderita TBC terus bertambah setiap tahunnya hingga mencapai setengah juta kasus. Jumlah kematian pun menembus angka 140.000 jiwa. Penyakit ini menyerang paru-paru manusia sebagai organ vital dalam proses respirasi. Sifat TBC nan mudah menular membuat banyak orang terkena penyakit ini.
Pengobatan nan cukup rumit dan harus tekun, juga menjadi satu hambatan tersendiri. Walaupun pemerintah berusaha menangani penyakit ini dengan membuka jalur spesifik buat pengobatan TBC ini di beberapa rumah sakit, nyatanya ialah bahwa masih banyak penduduk nan enggan mengobati TBCnya. Mungkin saja mereka tak tahu kalau TBC itu berbahaya atau mungkin mereka mengira kalau biaya pengobatan itu mahal dan mereka tak tahu kalau ada nan gratis.
Informasi telah disebarkan baik melalui koran atau media penyebaran warta lainnya. Yang berbahaya ialah kalau ada penderita nan tak tahu jika penyakit nan ia derita ialah TBC. Hal ini tentu saja sangat berbahaya sebab pengidap TBC itu dapat menularkan bakterinya ke orang lain tanpa ia sadari. Yang sangat menderita tentu saja bayi dan balita. Ketika bakteri TBC ini menyerang mereka, pertumbuhan dan perkembangan mereka niscaya terhambat. Mereka tak mau makan.
Perkembangan nan terhambat ini tentu saja akan menghambat perkembangan otaknya. Dengan demikian, dapat saja sang bayi atau anak mengalami penurunan kecerdasan. Alangkah kasihannya melihat bayi dan anak-anak nan terkena TBC. Tubuh rentan mereka harus dimasuki obat nan cukup banyak. Mereka harus meminumnya setiap hari selama 6 bulan. Hal ini niscaya akan membuat stres tak saja orangtua, tetapi si bayi atau si anak itu sendiri juga.
Bayi atau anak nan terkena TBC ini akan terlihat lemah dan kurang gizi. Mereka tentunya tak akan diajak jalan-jalan jauh atau bertamasya ke luar kota nan jauh. Orangtua akan berpikir berkali-kali buat mengajak mereka pergi. Kewajiban buat minum obat menjadi satu hambatan nan cukup berarti. Cukup repot dan sangat merepotkan kalau harus memberi bayi atau anak obat di tengan liburan keluarga. Kebahagiaan seolah tak lengkap.
Bahkan banyak orangtua nan stres menghadapi hal ini. Mereka menjadi bertengkar satu sama lain. Anak nan belum mengerti itu pun terkadang membuat kesal hati dengan tak mau meminum obatnya. Hal ini semakin membuat suasana liburan tak menyenangkan. Banyak akibat nan akan dialami oleh keluarga dengan penderita TBC. Kemuraman hayati terkadang tak dapat dihindari. Anggota keluarga nan lain mungkin tak mau datang bersilaturrahmi sebab takut tertular.
Hal ini sangat dapat dimengerti. Itulah mengapa ada baiknya mengamati lingkungan tetangga nan mungkin ada nan terkena TBC. Bukan saja membantu sang penderita mengobati TBC tersebut. Tetapi sesungguhnya melindungi diri sendiri dan keluarga dari tertular TBC. Kalau saling mendukung dan mengingatkan, maka penderita pun dapat tertolong dan lingkungan pun menjadi higienis dari agresi bakteri TBC.
Penyebab dan Penularan
Salah satu penyebab primer kasus TBC terus meningkat sebab penderita TBC tak tuntas berobat, meskipun pemerintah sudah mengusahakan pengobatan perdeo bagi mereka nan kurang mampu. Bila pengobatan tak dilakukan secara rutin, maka pasien harus mengulang kembali dari awal. Hal ini belum tentu ini sukses mengingat daya tahan tubuh pasien nan semakin melemah dari waktu ke waktu. Daya tahan nan melemah ini terkadang malah membuat obat tak terserap dengan baik.
Serapan obat nan tak baik ini membuat bakteri TBC masih bertahan di tubuh penderita sehingga pengobatan harus dilanjutkan selama 3 bulan lagi. Pengobatan yanh berlanjut ini, membuat pasien terkadang menjadi bosan dan putus harapan sehingga memilih membiarkan saja penyakitnya menjadi semakin parah, ia menjadi tak peduli dengan diri dan lingkungannya. Bila perasaan seperti ini menghinggapi penderita, tentu saja orang-orang nan ada di sekitarnya harus berusaha membangkitkan semangatnya.
Suntikan semangat dan menyadari ada orang nan sayang dan perhatian kepadanya, akan membuat penderita mendapatkan cahaya nan menguatkan hatinya. Semangat seperti ini tak mudah dipertahankan. Apalagi kalau sang penderita ternyata bukan orang nan aktif dalam hidupnya. Misalnya, ia merupakan orang miskin nan tidak berdaya. Ia juga tak mempunyai pekerjaan atau kehidupan sosial nan baik. Penderita seperti ini mudah lemah semangat.
Mengharapkan petugas kesehatan nan akan memberikan penyuluhan, tentu buakn sesuatu nan harus dilakukan. Banyaknya jumlah penderita TBC dan sedikitnya jumlah petugas kesehatan itu, menjadi satu hambatan nan seharusnya tak perlu menghambat masyarakat nan mengetahui adanya penderita TBC buat bergerak bersama. Kebersamaan malah akan membuat pengurangan jumlah penderita TBC dapat lebih cepat.
Kampanye berdikari nan dilakukan dari rumah ke rumah akan membuat orang lebih menyadari bahaya TBC dan akan berusaha buat mencari pengobatan secepatnya. Saling memberikan perhatian ini memang sangat penting. Anak-anak nan terlihat lemas dan tak mampu bermain seperti anak-anak sebayanya, dianjurkan buat memeriksakan diri. Rukun Tetangga juga perlu memikirkan adanya uang kas buat membantu keluarga nan tak mampu memeriksakan kesehatan terutama buat penyakit menular.
Adanya uang kas buat memeriksakan diri ke dokter, akan membantu seluruh masyarakat disana terhindar dari penularan penyakit menular terutama TBC.
Perlu diketahui bahwa bakteri penyebab TBC bisa hayati di loka nan ada oksigennya. Oleh sebab itu, ia menular dari satu orang ke orang lainnya melalui udara nan mereka hirup bersama. Lebih sering ketika sang penderita TBC batuk. Udara nan kering ketika musim kemarau juga membuat penularan bakteri ini semakin gencar.
Mikrobakterium tuberkulosa nan berkumpul dalam paru-paru kemudian berkembang biak dalam jumlah nan cukup banyak. Waktu nan mereka butuhkan buat melakukan pembelahan diri antara 16 hingga 20 jam. Kecepatan membelah itu telah membuat orang begitu menderita. Inilah mengapa mencegah itu jauh lebih baik daripada mengobati. Usaha buat mencegah penularan TBC itu harus menjadi satu gerakan nasional nan dilakukan secara terus-menerus.
Namun tak sampai di situ, bakteri ini selanjutnya dapat menjalar ke organ tubuh lainnya seperti ginjal, otak, saluran pencernaan, kelenjar getah bening, dan tulang melalui pembuluh darah. Bagi mereka nan daya tahan tubuhnya rendah, penyebaran bakteri ini dapat jadi sangat cepat. Kalau TBC menyerang organ lain selain paru-paru, maka kematian akan lebih cepat datang.
Tidak sporadis juga para penderita HIV AIDS mengalami penyakit TBC dan wafat bukan sebab virus HIV AIDS nan ia derita melainkan sebab TBC. Agresi TBC ini memang sangat luar biasa. Batuk-batuk hingga mengeluarkan darah merupakan sesuatu nan sangat menyakitkan. TBC dapat menyerang siapa saja. Namun, umumnya penderita TBC dewasalah nan lebih sering menularkan bakteri tersebut. Dan anak-anak dengan mudah terinfeksi.
Gejala TBC
Gejala nan ditimbulkan oleh adanya aktivitas bakteri TBC atau tuberkulosa dalam tubuh tidaklah terlalu berbeda dengan virus influenza. Umumnya, calon penderita akan mengalami demam nan mudah datang, mudah pula pergi. Lalu nafsu makan berkurang sehingga berat tubuh pun menurun.
Selama lebih dari 3 minggu ia akan batuk terus-menerus, bahkan disertai darah. Perasaan tak bersemangat, lemah, dan tak enak juga kerap muncul selama fase ini. Gejala lebih lanjut akan terlihat bila mikrobakterium tuberkulosa ini sudah masuk ke dalam organ tubuh. Gejala tersebut di antaranya:
Saat masuk ke saluran pernapasan nan menuju ke paru-paru, napasnya menjadi sesak. Sakit dada dapat terjadi bila bakteri mulai menginfeksi pleura sehingga menimbulkan rongga tersebut berair. Meyebabkan meningitis atau radang selaput otak pada anak-anak dengan gejala demam tinggi hingga kejang-kejang.