Ngalap Berkah di Gunung Kawi
Tidak jauh dari Kota Malang, ada sebuah objek wisata nan jadi unggulan di Jawa Timur. Gunung Kawi nan berada di Desa Wonosasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, mempunyai daya tarik bagi siapa pun. Terutama bagi para peziarah.
Sebenarnya, Kawi tak termasuk gunung tinggi, juga tak indah. Pemandangan alam nan ditawarkannya kalah jauh dengan gunung-gunung lain seperti Bromo, Lawu atau Semeru. Kawi menjadi objek wisata primadona bagi masyarakat Tionghoa, sebab diyakini sebagai loka persemayaman para dewa.
Awal Mula Gunung Kawi sebagai Loka Pesugihan
Dahulu, ada seorang guru silat pemilik padepokan. Namanya ialah Eyang Jugo. Ia memiliki banyak murid, tak hanya masyarakat Jawa tetapi juga orang dari negeri tirai bambu. Di akhir hayatnya, Eyang Jugo dimakamkan di gunung tersebut. Makam tersebut tak populer sebagai loka pesugihan, hingga suatu hari datanglah pria Tiong Hoa bernama Tamyang.
Tamyang datang kemari sebab pesan ibunya. Dahulu ibunya pernah berceita bahwa ketika ia masih berada di dalam kandungan, sang ibu berjumpa dengan Eyang Jugo nan saat itu sedang dalam perjalanan ke Cina. Sebagai wanita hamil nan abru kehilangan suaminya, sang ibu mengalami kesulitan hayati terutama di bidang finansial. Kedermawanan dan kepekaan Eyang Jugo menyebabkan ia sukarela membiayai hayati janda mikin ini.
Lantas tiba saatnya Eyang Jugo kembali ke pulau Jawa. Sebelum pergi ia mewanti-wanti sang janda agar kelak jika anaknya sudah dewasa, sang anak harus mengunjungi Eyang Jugo di pulau Jawa. Maka dari itu Tamyang datang ke sana. Karena Eyang Jugo sudah meninggal, Tamyang hanya menemukan sebuah makam di gunung tersebut. Dirawatnya makam itu dengan baik, sebagai tanda terima kasih atas kebaikan Eyang Judo nan telah membantu ibunya di masa-masa sulit.
Kemudian banyak orang berdatangan ke gunung tersebut buat melihat makam Eyang Jugo. Sayangnya, ujung-ujungnya mereka meminta berkah di makam tersebut dan melakukan berbagai ritual pesugihan; bukannya merenungi kebajikan dan kedermawanan Eyang Jugo lalu mencontohnya.
Kuil Dewi Kwan Im di Gunung Kawi
Menginjakkan kaki di gunung ini seolah masuk ke zaman Tiongkok kuno. Bagaimana tidak? Sepanjang mata memandang, tidak hanya etnis Tionghoa nan banyak terlihat. Nantinya para wisatawan akan banyak menemukan bangunan-bangunan dengan arsitektur khas Tiongkok, seperti kuil atau kelenteng dan patung-patung dewa. Dan, banyak juga pernak-pernik nan mengesankan budaya masyarakat Tionghoa. Biasanya orang-orang Tionghoa mengunjungi gunung ini buat melakukan ritual keagamaan atau sekadar melepas lelah.
Di gunung ini, ada dua loka ibadah nan menjadi loka spesifik para etnis Tionghoa, yaitu kediaman Tan Kie Lam dan Kuil Dewi Kwan Im. Tan Kie Lam ialah warga Tionghoa nan dulunya merupakan murid kesayangan salah seorang pemuka masyarakat di gunung ini. Adapun Kuil Dewi Kwan Im merupakan tujuan primer warga Tionghoa nan datang berkunjung.
Keberadaan Kuil Dewi Kwan Im tampak mencolok dengan lilin raksasa sebagai simbol dari Ti Kong. Lilin ukuran ekstra itu berpenampilan mewah dan berada di lantai kuil berbahan batu granit. Patung Dewi Kwan Im berwarna emas, berbahan dasar perunggu dengan tinggi delapan meter dan terletak di depan loka lilin Ti Kong. Seperti sedang menyambut siapa pun nan memasuki kuil ini.
Ngalap Berkah di Gunung Kawi
Setiap harinya kedua loka ini tidak pernah sepi. Pengunjungnya tidak hanya dari etnis Tionghoa, tapi juga dari berbagai etnis lain. Niatnya juga bermacam-macam. Dari sekadar melihat-lihat, berziarah, hingga nan paling banyak ialah buat ngalap berkah (mencari kekayaan) dari para dewa, atau hal lain nan mereka percayai. Apalagi pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Legi, Senin Pahing, hari Raya Imlek, dan seremoni tahun baru Jawa atau bulan Syuro. Pengunjung nan datang begitu melimpah. Menyulap gunung ini menjadi 'kota di pegunungan', layaknya pasar malam dengan lautan manusia dan toko-toko suvenir berjejeran. Bisnis penginapan dan guide (pemandu wisata) pun menjadi tumbuh subur.
Tempat kunjungan buat ngalap berkah tidak hanya ada di dua tempat. Banyak juga pengunjung nan mendatangi dan duduk di bawah pohon Dewandaru. Pohon ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shian-to atau pohon dewa. Dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan, kekayaan atau agar keinginan terpenuhi. Syaratnya, para pengunjung harus sabar menanti jatuhnya daun pohon Dewandaru. Untuk memanfaatkannya sebagai jimat keberuntungan, daun itu dibungkus dengan selembar uang dan disimpan ke dalam dompet.
Ada juga kompleks makam nan dikeramatkan, yaitu makam dua tokoh kejawen: RM Imam Soedjono, dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah Djoego. Di makam ini, banyak pengunjung atau peziarah nan melakukan berbagai ritual agar keinginan mereka terpenuhi. Sekitar enam kilometer dari kompleks makam, ada pertapaan Gunung Kawi . Kompleks pertapaan ini penuh dengan ornamen Tionghoa. Di ruang primer ada tiga dukun nan siap menerima dan berdoa kepada para dewa buat melancarkan rezeki para peziarah.
Dengan banyaknya tempat-tempat buat ngalap berkah , tidak hiperbola jika gunung ini dicitrakan sebagai loka pesugihan (mencari kekayaan). Namun, bagi kalangan kejawen (penggiat budaya Jawa) dan Pemda setempat, gunung ini merupakan sarana pelestarian budaya Jawa. Banyak ritual kejawen nan dapat dilihat dan dinikmati di sini.
Dewandaru Keramat di Gunung Kawi
Salah satu mitos nan berkembang di gunung pemujaan ini ialah mitos dewandaru. Di sana terdapat pohon dewandaru nan syahdan keramat. Setiap orang nan kejatuhan daunnya akan menjadi kaya raya. Bagi mereka nan sangat berharap mendapatkan kekayaan melalui pemujaan, dewandaru di gunung inilah jawabannya. Banyak orang duduk-duduk di sekitar pohon tersebut, berharap kejatuhan daun. Sebagian dari mereka bahkan dengan sengaja menjatuhkan daun dewandaru agar terjatuh di kepala mereka. Mereka berharap jatuhnya daun dewandaru ke kepala mereka membuat mereka lebih kaya.
Meski mendadak kaya dampak kejatuhan daun dewandaru terdengar menggiurkan, kenyataannya tak seindah itu. Ada banyak cerita mengatakan bahwa kekayaan dari daun dewandaru bukannya tanpa akibat. Kebanyakan orang akan ditimpa kemalangan bertubi-tubi setelah mencicipi manisnya kekayaan dari kejatuhan daun dewandaru di gunung ini. Salah satunya ialah cerita pesugihan sepasang petani miskin.
Konon pada tahun 1960-an di Blitar hayati sepasang petani miskin nan pekerjaannya hanya menggarap sawah orang lain. Hayati semakin hari semakin terasa mencekik, sehingga sang istri memutuskan buat pergi berziarah ke gunung ini; segera setelah ia mengetahui mitos keajaiban pohon dewandaru di sana. Dari berbagai metode pesugihan, ia mencoba duduk di tepian pohon dewandaru dan mengharapkan jatuhnya sehelai daun. Pucuk dicinta ulam pun tiba, sehelai daun dewandaru jatuh di pundaknya. Ia sangat senang dan menyembunyikan daun tersebut di tubuhnya agar tak ketahuan oleh peziarah lain.
Selepas kejatuhan daun itu, ia dan keluarganya berangsur-angsur menjadi kaya. Ia dan suaminya tidak lagi perlu menggarap huma sawah milik orang lain sebab mereka telah memiliki huma persawahan nan sangat luas, lengkap dengan mesin penggilingan padi. Hayati mereka sangat makmur di antara masyarakat sekitarnya nan sebagian besar mengalami kesulitan ekonomi. Namun rupanya kekayaan keluarga ini hanya bertahan selama 10 - 15 tahun. Dua orang anak mereka harus tewas mengenaskan dalam kecelakaan. Adapun anak satu-satunya nan tersisa mendadak kurang waras. Mal nan mereka miliki lama kelamaan habis digunakan buat mengurusi ketiga tragedi tersebut. Inilah salah satu kisah nan menggambarkan bahwa kekayaan dari gunung Kawi tak membawa berkah.