Gadget Mental Disorder

Gadget Mental Disorder

Dewasa ini, teknologi merupakan hal nan paling digandrungi oleh masyarakat di seluruh dunia. Tidak heran jika banyak interaksi manusia dan komputer terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Beberapa alat teknologi nan popular tersebut meliputi komputer, handphone, iPad, dan alat elektronik lain nan dianggap bukan hanya sebagai pendukung kecakapan kegiatan sehari-hari, tapi juga sebagai peninjau gaya hayati di kalangan tertentu.

Beberapa orang atau praktisi pendidikan menjadikan hubungan manusia dan komputer sebagai suatu kebutuhan buat mengakses berbagai informasi nan ada di dunia. Dari mulai informasi selingkung pendidikan dalam negeri, luar negeri, bahkan hal lain nan berpengaruh terhadap proses pendidikan.

Selain praktisi pendidikan, global entertainment pun menjadikan teknologi sebagai salah satu kebutuhan menyangkut praktik promosi mereka. Dengan adanya hubungan manusia dan komputer, masyarakat dapat lebih mengenal fashion, gaya hayati para entertainer, dan hal-hal lain nan behrubungan dengan global hiburan.

Menanggapi hal tersebut, seorang psikolog Tika Bisono pernah berbicara dalam sebuah lembaga berjudul "Galau Gadget" pada salah satu stasiun televisi partikelir di Indonesia. Tika mengatakan bahwa hampir seluruh masyarakat Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi, salah satunya ialah smartphone dan netbook nan dapat dibawa ke mana saja.

Kemampuan praktis nan dimiliki alat-alat teknologi tersebut tak hanya membuat masyarakat merasa terbantu secara praktik, tapi juga lebih dari itu. Kebanyakan manusia sudah bergantung pada berbagai alat teknologi sehingga ada istilah "tidak dapat hayati tanpa handphone" bagi seseorang nan sudah memegang gaya hayati tersebut.

Hal ini juga turut memperlihatkan kepada kita bahwa hubungan manusia dan komputer tak lagi menampilkan sisi baik (dampak baik) terhadap kehidupan manusia, tapi juga menampilkan sisi negatif nan mampu mengubah total cara pandang dan cara hayati manusia pada umumnya.

Jika sebelumnya manusia harus saling bertatap muka demi saling mengenal, maka zaman modern ini konsep "tatap muka" sudah tak lagi menjadi sebuah kewajiban nan berlaku bagi hubungan sosial sesama manusia. Hubungan manusia dengan manusia telah digantikan menjadi hubungan manusia dan komputer nan secara lembut menjajah wilayah sosial kehidupan sehari-hari manusia.

Tidak ada lagi saling tegur sapa dengan menghadapkan senyum pada tetangga, tapi senyum-senyum sendiri di hadapan komputer dan alat teknologi lainnya sudah dianggap lumrah bagi manusia modern.



Desosialisasi Manusia Komputeris

Salah satu akibat nan paling terlihat dari adanya hubungan manusia dan komputer nan dilakukan secara intens ialah berkurangnya proses pengenalan antar manusia nan menyebabkan manusia lebih bersifat individual dibandingkan sebelumnya. Secara sekilas, mungkin hal tersebut tak menimbulkan masalah besar. Bahkan mungkin dianggap bukan suatu masalah.

Akan tetapi, hal tersebut sebenarnya merupakan benih-benih patologi sosial nan dapat memacu timbulnya majemuk konflik sosial. Hal tersebut dapat dibuktikan saat kita berjalan-jalan atau sekadar makan di kafe. Banyak orang datang berbarengan, namun pada saat membuka laptop, global mereka seperti terpisah.

Duduk berdampingan bukan lagi buat membicarakan masalah dan interaksi sosial, akan tetapi buat sama-sama mengisolasi diri dari kehidupan liar. Masing-masing akan asyik dengan gadget mereka, serta tak peduli lagi akan lingkungan nan ada di sekitar mereka.

Padahal, kebutuhan paling primer dari manusia ialah hubungan sosial antar manusia nan membuat munculnya rasa saling menghargai, menghirmati, serta saling membutuhkan satu sama lain.

Fakta tersebut merupakan bukti konkret bahwa hubungan manusia dan komputer menjadikan manusia bukan lagi sebagai makhluk sosial, melainkan sebagai makhluk komputeris nan hanya mengandalkan produk teknologi buat hidup, berekspresi, bahkan bersoisalisasi.

Terjadinya desosialisasi tersebut lambat laun akan berpengaruh terhadap konflik budaya. Munculnya teknologi sebagai tuhan baru bagi para manusia komputeris akan membuat hilangnya budaya primordial nan menganggap kesakralan berada di tangan alam dan manusia itu sendiri.Tidak hanya itu, kondisi ‘autis’ para manusia komputeris ini juga membuat mereka tak lagi peka terhadap kejadian sosial nan menimpa masyarakat lain.

Sebagai contoh, di satu pihak, mereka menonton acara nan isinya memberitakan korban bala alam di kota A. Akan tetapi, setelah beberapa menit kemudian, mereka menonton acara lain nan berisi tentang informasi fashion dan gaya hayati masa kini. Kehadiran dua warta nan bertolak belakang tersebut memungkinkan buat penonton membawa hanya sedikit pesan dari nan pertama dilihatnya.

Akibatnya, dalam waktu beberapa detik, kejadian bala alam nan terjadi di kota A tersebut bisa segera dilupakan berkat hubungan manusia dan komputer nan berlangsung sangat cepat tersebut.



Gadget Mental Disorder

Secara sosial, mungkin interaksi manusia dan komputer bukan lagi menjadi hal krusial nan harus dipertimbangkan. Akan tetapi secara psikis, hal tersebut sangat perlu dipertimbangkan. Beberapa orang nan melakukan hubungan dengan komputer akan lebih sering melupakan dirinya sendiri, baik secara penampilan maupun kesehatan.

Sebagai contoh, terjadinya beberapa kasus kematian nan menimpa pelajar di Jepang diakibatkan oleh kecanduan nan berlebih akan komputer. Para pelajar tersebut menjadi lupa waktu, luma makan, dan lupa beristirahat hanya sebab asyik bermain dengan komputer dan game kesayangan mereka sehingga kematian merenggut nyawa mereka.

Selain itu, ada juga orang nan sangat fanatik dengan hal-hal nan dilihatnya dari komputer sehingga membuat kefanatikan tersebut berbuah getir menjadi kegagalan mental pada si pengguna komputer. Hadirnya berbagai macam warta nan dapat dengan cepat diakses lewat internet menjadikan manusia enggan buat pindah posisi, atau buat sekadar makan pun mereka memilih delivery service daripada harus pergi langsung ke loka makan.

Hal ini menandakan bahwa inteaksi manusia dan komputer dapat jadi menimbulkan gadget mental disorder sebab korban (pengguna komputer) tak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Bahkan apa nan mereka cari sebelum dan sesudah tidur ialah benda teknologi tersebut sehingga pikiran dan perasaan mereka telah terisolasi oleh kecanggihan teknologi nan dihadirkan oleh para gadget.

Tidak heran jika banyak orang tua nan mengeluhkan kondisi mental anak mereka nan tiba-tiba berubah menjadi lebih pendiam, sporadis berteman dan berbicara dengan orang rumah, bahkan cenderung apatis dengan kejadian nan berlangsung di sekitar mereka dampak hubungan manusia dan komputer nan terlalu dalam.

Bahkan pada tahun Desember lalu, seorang budayawan Putu Wijaya sempat menyindir kaum komputeris tersebut dengan pentas monolog nan berjudul "Sejarah". Dalam pementasan tersebut, diceritakan seorang anak nan maunya hanya bergelut dengan komputer saja.

Hal ini membuat kedua orang tua si anak menjadi sangat risi sebab sejak munculnya teknologi, mereka tak punya waktu lagi buat bercengkrama dengan anak kesayangan mereka itu. Hubungan semacam inilah nan mungkin dikhawatirkan oleh sebagian besar orang tua di Indonseia.

Oleh karena itu, adanya konseling nan dilakukan antara pihak anak dan orang tua menjadi salah satu solusi nan dapat membantu memecahkan gejala gadget mental disorder ini. Para orang tua dapat dengan baik meminta anak mereka buat membatasi penggunaan komputer sehingga anak-anak mereka juga tahu fungsi sosial serta fungsi teknologi secara berimbang.

Orang tua juga dapat memberikan pengalaman berupa seminar nan berhubungan dengan interaksi manusia dan komputer sehingga si anak dapat menyerap akibat baik dari hubungan tersebut, serta mampu menghindari akibat jelek dari hubungan tersebut.