Pariwisata di Waduk Jatiluhur

Pariwisata di Waduk Jatiluhur

Melalui catatan sejarah, diketahui bahwa gagasan pembangunan bendungan di Sungai Citarum sudah ada sejak abad ke-19. Survey topografi dan hidrologi telah mulai dilakukan, bahkan pengukuran debit Sungai Citarum buat keperluan proyek tersebut telah dimulai pada tahun 1888.

Pada tahun 1930, gagasan proyek tersebut kemudian disempurnakan oleh Prof. Dr. Ir. W.J. Van Blommestein, seorang pakar pengairan berkebangsaan Belanda. Profesor Blommestein nan ketika itu menjabat sebagai Kepala Perencanaan Jawatan Pengiran Belanda, sudah melakukan survey secara lebih rinci buat membuat planning pembangunan tiga waduk besar di sepanjang genre Sungai Citarum, yaitu Saguling (dulu dinamakan Waduk Tarum), Cirata, dan Jatiluhur.

Kemudian, hasil survey tersebut dipresentasikan pada rendezvous Persatuan Insinyur Kerajaan Belanda pada tahun 1948 di Jakarta. Ide brilian buat membangun sebuah bendungan di genre Sungai Citarum itu sempat tertunda.

Baru kemudian pada era tahun 1950-an, Ir. Agus Prawiranata nan menjadi Kepala Jawatan Irigasi pada waktu itu, mulai memikirkan pengembangan jaringan irigasi tersebut buat mengantisipasi kecukupan beras dalam negeri.

Namun, buat membangun megaproyek, pada tahun-tahun tersebut masih dirasa tak mungkin sebab Pemerintah RI belum memiliki cukup dana. Namun pembahasan mengenai ide tersebut tak begitu saja dihentikan. Perencanaan kemudian melibatkan Ir. Sediyatmo, nan menjabat sebagai Kepala Direksi Konstruksi Badan Pembangkit Listrik Negara.

Kebetulan pada waktu itu PLN memiliki aturan dan sedang berupa mencari pengganti sumber daya listrik nan masih menggunakan minyak sebab biayanya mahal. Ir. Sediyatmo kemudian menugaskan Ir. Haryasudirja, sebagai Asisten Kepala Direksi Konstruksi PLN buat merancang Waduk Jatiluhur.

Spesifikasi waduk Jatiluhur diadaptasi dari bendungan terbesar di dunia, yaitu bendungan Aswa di Mesir. Haryasudirja menggandeng konsultan dari Perancis nan sudah berpengalaman dalam proyek membangun bendungan besar.

Proyek pembangunan bendungan atau waduk dimulai pada tahun 1957 dan ditandai dengan peletakkan batu pertama oleh Ir. Soekarno, Presiden RI pertama. Pada 19 Septeber 1965 merupakan kunjungan terakhir Soekarno ke proyek bendungan itu. Sebelas hari kemudian pecah peristiwa G30S PKI.

Masa pembangunan Waduk Jatiluhur terhitung unik sebab sempat mengalami sembilan kali masa pergantian kabinet, mulai dari Kabinet Karya tahun 1957 sampai Kabinet Ampera tahun 1967. Kemudian pada 26 Agustus 1967, Waduk Jatiluhur diresmikan oleh Presiden RI kedua, Soeharto.

Diperkirakan, buat pembangunan waduk tersebut menelan biasa sebesar US$ 230 juta. Biaya ini dihitung berdasarka jumlah biaya dalam dua mata uang, yaitu dolar dan rupiah. Waduk Jatiluhur diberi nama resmi waduk Ir. H. Djuanda. Hal itu dimaksudkan buat mengenang jasa-jasa beliau dalam memperjuangkan pembiayaan pembangunan.

Bersama dengan koleganya, Ir. Sediyatmo, beliau memperjuangkan terwujudnya proyek pembangunan Waduk Jatiluhur baik di pemerintah Indonesia dan lembaga internasional.



Lokasi Waduk Jatiluhur

Apabila Anda berasal dari Jakarta, lokasi Waduk Jatiluhur kurang lebih berjarak 100 km ke arah Tenggara. Lokasinya bisa dicapai melalui jalan tol Jakarta-Cikampek dan jalan tol Cipularang (ruas Cikampek-Jatiluhur). Sementara itu, apabila Anda sari Bandung waduk terbesar di Indonesia ini berjaak 60 km arah Barat Laut. Lokasinya bisa dicapai melalui jalan tol Cipularang (ruas Bandung-Jatiluhur).

Adapun dari arah Purwakarta jaraknya hanya sekitar 7 km ke arah Barat. Berdasarkan koordinat geografis, posisi waduk Jatiluhur berada pada 6o31’ LS dan 107o23’ BT.



Pengoperasian Waduk Jatiluhur

Waduk dengan panorama danau nan memiliki luas 8.300 ha ini memiliki fungsi nan multiguna, ditinjau dari segi infrastruktur dan pariwisata. Apabila dilihat dari segi infrastruktur, Waduk Jatiluhur difungsikan sebagai pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas terpasang 187,5 MW., dengan produksi tenaga listrik 1000 juta kwh per tahun.

Produksi listrik pertama dimulai pada tahun 1965. Genre listrik pertama disalurkan ke Bandung melalui saluran udara tegangan tinggi 150 kV milik PLN. Pada tahun 1966 dilakukan penyaluran ke Jakarta. Antara tahun 1979-1981 PLTA unit VI dipasang oleh PT. PLN Pikitdro Jabar dengan kapasitas 32 MW.

Selain menjadi pusat PLTA, Waduk jatiluhur juga menjadi penyedia air irigasi buat 242.000 ha sawah (dua kali tanam setahun). Pusat pengendali banjir di daerah Kabupaten Karawang dan Bekasi. Pemasok air rumah tangga, industri, dan penggelontoran kota. Juga menjadi pusat pasok air buat budidaya perikanan air payau sepanjang pantai utara Jawa Barat seluas 20.000 ha.



Pariwisata di Waduk Jatiluhur

Kawasan Waduk Jatiluhur memiliki banyak fasilitas buat rekreasi nan memadai. Hotel dan pesanggrahan dilengkapi dengan bar, lapangan tenis, bilyard, area perkemahan, kolam renang dengan water slide, ruang pertemuan, playground, dan fasilitas lainnya. Cocok buat acara kumpul keluarga besar atau acara kantor.

Sarana rekreasi tersebut dilengkapi juga dengan fasilitas olahraga air, seperti mendayung, selancar angin, kapal pesiar, ski air, boating, dan sebagainya. Di perairan Danau Jatiluhur ini juga terdapat budi daya ikan keramba jaring apung, nan menjadi daya tarik tersendiri. Di waktu siang atau dalam keheningan malam kita bisa memancing penuh ketenangan sambil menikmati ikan bakar.

Cobalah melewatkan senja di area Waduk Jatiluhur. Menikmati sunset dengan panorama danau, sungguh menimbulkan sensasi tersendiri. Rona langit nan sudah berubah kemerah-merahan, sinar matahari nan membias dari balik bebukitan dan jatuh di atas permukaan danau nan tenang, sungguh pemandangan nan menimbulkan kesan mendalam dan tidak terlupakan.



Pencemaran di Waduk Jatiluhur

Kelestarian Waduk Jatiluhur belum dapat terjaga dengan baik. Terbukti dari banyaknya keramba jaring apung nan ada di sekitar waduk. Kemudian, banyaknya rumah jaga kolam nan salah difungsikan. Rumah jaga kolam nan diperuntukan buat gudang penyimpanan pakan, sekarang beralih fungsi menjadi rumah hunian bagi penjaga kolam. Dari bentuknya, rumah jaga tersebut ukurannya sama dengan rumah bertipe sederhana, dengan dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi.

Disinyalir banyak penjaga kolam nan membawa keluarga tinggal di rumah jaga tersebut. Dipastikan para penduduk gelap tersebut membuang limbah rumah tangganya ke waduk tersebut, termasuk kotoran dan air kencing. Padahal, sehari-hari pun mereka menggunakan air waduk buat keperluan mereka, seperti mandi, memasak, mencuci baju, dan sebagainya.

Sayangnya masalah ini belum mendapat perhatian spesifik dari pihak nan terkait pada usaha pelestarian lingkungan Waduk Jatiluhur. Bayangkan saja, saat ini jumlah kolam jaring apung nan ada di sekitar waduk Jatiluhur kira-kira mencapai 20.000 unit.

Jika ada 5.000 unit rumah jaga, berarti dampaknya sangat luar biasa. Karena, dalam satu kompleks biasanya menggunakan dua atau tiga penjaga. Semakin banyak warga nan tinggal di atas kolam, semakin bertambah juga taraf pencemarannya.

Namun masalah rumah jaga tersebut bukanlah satu-satunya penyebab pencemaran air di waduk Jatiluhur. Pasalnya, air dari hulu Citarum saja sudah tercemar. Jadi, ketika air itu masuk ke Waduk Jatiluhur maka kadar kebersihan airnya sudah turun. Apalagi, sekarang ditambah dengan limbah pakan ikan dan limbah rumah tangga penjaga kolam. Jelas, pencemaran ini semakin memprihatinkan.

Pencemaran ini tentu saja berdampak negatif bagi wilayah hilir. Wilayah tersebut di antaranya Karawang, Bekasi, dan sebagian Jakarta. Rata-rata air standar nan digunakan di ketiga wilayah tersebut berasal dari waduk Jatiluhur.

Selain berdampak negatif pada pasokan air standar buat konsumsi manusia, pencemaran tersebut disinyalir berdampak pua pada penurunan populasi sejumlah spesies ikan nan hayati di Sungai Citarum, salah satu di antaranya jenis beludra nan terancam punah.

Perum Jasa Tirta II Jatiluhur berusaha meminimalisasi penurunan itu dengan menebar 500.000 benur ikan dari berbagai jenis, seperti ikan nila, ikan mas, dan nilem. Dari benur nan ditebar 20% di antaranya jenis beludra.