Departemen Pendidikan Nasional - Momok Ujian Nasional
Departemen Pendidikan Nasional , nan di mulai sejak Kabinet Reformasi Pembangunan pada 1998 hingga 1999, artinya berlangsung selama satu dasawarsa, produk macam apakah nan dihasilkan darinya? Para pelajar dengan konduite "ajaib" kah? Sepertinya iya. Pelajar nan sibuk mencari hiburan di kalangan mereka sendiri, dikarenakan beban kurikulum nan semakin meningkat, dari mulai aplikasi KTSP, Kurikulum Taraf Satuan Pendidikan, nan mendudukan siswa atau murid dengan istilah baru yang 'hebat' yakni peserta didik.
Berbeda kisahnya dengan Departemen Pendidikan Nasional di masa lalu semasa masih Departemen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan. Ketika pendidikan ialah buah dari perjuangan mereka nan memahami arti pentingnya pendidikan. Siswa belajar walau berbekal tanah buat dicoreti (pengalaman sekolah pengarah adegan ternama Putu Wijaya) sebab tak memiliki buku, namun sukses meraih kesuksesan.
Atau ada siswa nan hanya dapat berdiri pada saat belajar (barangkali saat ini pun masih ada), namun ada keinginan kuat buat tetap berada di sekolah. Walau menderita dirinya, sebab sukses menjadikan sisi kesadarannya berada dalam bentuk belajar itu ya berjuang, belajar di sekolah itu harga diri. Itu nan terjadi pada masa Departemen Pendidikan Nasional masa lalu.
Tapi saat ini itu semua menjadi mekanistis, Departemen Pendidikan Nasional telah sukses menyusun kerangka hebat tentang apa itu siswa sebagai peserta didik. Dalam Bahan Belajar Berdikari 2010 nan dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, tercantum contoh detil guru nan diarahkan buat dapat 'mengontrol' siswanya, sejauh mana kemampuan dan 'keprofesionalan' guru buat mengetes para siswa buat sekadar membuat siswa bertanya, guru pun dites dengan pertanyaan seperti di bawah ini.
1. Fungsi primer mengajukan pertanyaan kepada siswa dalam proses pembelajaran ialah buat ….
- Memenuhi rasa ingin tahu siswa
- Mengetahui keinginan siswa
- Mengajak siswa buat berpikir dan bernalar
- Menempatkan siswa sebagai subyek belajar
2. Ibu Eli sedang mengajar tentang cara memisahkan campuran dengan cara penyaringan, ia mengajukan pertanyaan berbunyi: "Apa nan kalian amati dari proses penyaringan ini?" tanpa menunggu jawaban siswa, ia melanjutkan dengan memberikan informasi lain. Berdasarkan kasus di atas, faktor apakah nan tak diperhatikan oleh Ibu Eli saat mengajukan pertanyaan?
- Kesiapan siswa
- Waktu tunggu
- Jenis pertanyaan
- Cara mengajukan pertanyaan
Sederhana namun menakjubkan. Namun itulah nan terjadi di global KTSP nan digagas oleh Departemen Pendidikan Nasional. Flawless, dalam kata lain kebodohan dari KTSP hampir tak tampak, sebab program ini muncul sebagai sistem terpadu nan membuat para pengkritik dari Departemen Pendidikan Nasional, akan mengurungkan kritik bahwa PNS di kalangan departemen itu sebenanrya tak punya kerjaan. Mereka giat berkerja, apalagi semenjak uang dan dana pendidikan meningkat berpuluh kali lipat.
Departemen Pendidikan Nasional - Undang-undang Pendidikan Nasional
Dunia pendidikan Indonesia melakukan revolusi hebat dengan stimulus uang nan banyak semenjak nama departemennya berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional. Karena para birokratnya merupakan birokrat nan terlahir dari sistem pemilu nan liberal. Para wakil rakyatnya dipilih berdasarkan Highcost Politik (untuk menghindarkan istilah money politik), dan global pendidikan kebanjiran rezekinya, setelah sekian lama terasing dari global pembangunan nasional sejak 1945.
Subsidi pemerintah pada pendidikan, mensyaratkan orang-orang nan berada di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional , harus ikut sibuk, setidaknya semenjak adanya perangkat perundang-undangan ini, di antaranya :
- Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Baku Nasional Pendidikan
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan daerah
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Baku Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Baku Pengelolaan Pendidikan
- Dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S1) Kependidikan bagi Guru dalam Jabatan
Dunia pendidikan di Indonesia berevolusi dengan sangat hebat, terutama dengan dua peraturan pertama nan telah disebutkan di atas, nan memproduksi adanya ujian nasional. Sebagai salah satu momok hebat bagi para pelajar Indonesia buat mengisi masa muda mereka nan sudah pula kepayahan diserang budaya massa. Ujian nasional ialah salah satu produk dari Departemen Pendidikan Nasional, nan menggantikan test ujian lokal nan digagas oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di masa sebelumnya.
Ujian Nasional ini oleh Menteri Pendidikan Nasional nan membawahkan Departemen Pendidikan Nasional atau kini Kementrian Pendidikan, Bambang Soedibyo pada masa kabinet SBY pertama, diharapkan mampu bersaing standarnya dengan negara maju (tidak jelas baku tersebut sudah meminalisir kemungkinan adanya disparitas filosofis antar bangsa dalam pembangunan manusianya atau tidak), bahkan istilah negara maju setidaknya mitos.
Negara maju nan menjadi acuan Departemen Pendidikan Nasional buat menerapkan sebuah sistem baru itu sendiri terlampau dipercaya oleh kalangan 'berakal' di pusat. Karena mitos kemajuan itu rupanya semu. Negara maju itu rupanya negara penghutang terbesar di dunia, ekonomi mereka berantakan, butuh stimulus dan pertolongan dari negara nan dimitoskan 'berkembang'. Tentu saja negara maju punya teknologi, punya perangkat penelitian nan mahal dan lengkap, sebab mereka punya masalah fisik lingkungan nan tak dimiliki oleh kebanyakan negara berkembang, silahkan digaris bawahi.
Departemen Pendidikan Nasional - Momok Ujian Nasional
Alih-alih sebagai departemen pendidikan nan menaungi dan mampu mengangkat filosofis belajar nan sinkron dengan spektrum Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional malah terbuai dengan hasil karya dan seolah megah dari bangsa asing, nan sebenarnya memiliki ketidaknyamanan dalam kehidupan, sama-sama was-was dengan hilangnya SDA.
Oleh sebab itulah, kebijakan, sekali lagi kebijakan buat mencoba membuat setara alam pikir anak Indonesia, merupakan kekeliruan, merupakan hal nan berlebihan, nan pada akhirnya menghasilkan anak-anak generasi nan sebut saja 4L4Y. Mereka kehilangan cara buat membahasakan dan mengekpresikan diri secara normal, sebab hayati mereka berada dalam tekanan program Departemen Pendidikan Nasional itu.
Akhirnya segala aktualisasi diri nan keluar dari diri para 'muridhan atau manusia beriniatif' itu ialah menghibur diri, melarikan diri, tawuran, gang sekolah, musik, toh syahdan belajar dan ujian nasional dapat digantikan oleh para guru dan kepala sekolah nan lebih ingin martabat sekolahnya aman. Program dari Departemen Pendidikan Nasional nan syahdan bertujuan semakin meningkatkan kualitas SDM, pada akhirnya hanya melahirkan masalah baru.
Namun sistem telah berjalan, tak ada orang nan dapat lari dari sistem nan telah diketuk. Kembali dan kembali lagi, manusia Indonesia harus dapat berdikari dan menyesuaikan diri terhadap sistem dari Departemen Pendidikan Nasional nan tak sinkron dengan watak alamiah mereka. Tut Wuri Handayani , nan 'di depan memberi teladan' ungkapan dari Menteri Pedagogi Ki Hajar Dewantara tersebut layak dijadikan pengenang kembali. Ketika teladannya digantikan oleh sistem, sistem macam apa nan dapat diteladani? Kemana orang-orang nan menuntunnya?