Karakteristik Pendidikan Luar Sekolah
Ketika mendengar kata pendidikan luar sekolah (PLS), aku langsung teringat dengan seorang teman sepermainan aku nan mengambil jurusan ini di sebuah perguruan tinggi negeri di Malang. Di kampus nan sama sementara aku mengambil jurusan sastra. Selama setahun aku tak pernah tahu kalau teman aku ini mengambil jurusan Pendidikan Luar Sekolah, begitu juga aku tak tahu kalau di kampus aku ada jurusan nan seperti ini.
Saya sporadis sekali berjumpa dengan dia meskipun Fakultas Sastra berada tidak jauh dari Fakultas Ilmu Pendidikan loka teman aku ini belajar. Jeda gedung dari Fakultas Sastra dengan Fakultas Ilmu Pendidikan hanya sekitar 200 meter. Karena aku tipe orang nan memilih buat mencari informasi sendiri terlebih dahulu baru bertanya, maka aku mencari info ke sana kemari. Seperti inilah klarifikasi aku tentang pendidikan luar sekolah.
Secara sederhana, pendidikan luar sekolah ialah pendidikan nan dibuat atau dirancang buat peserta didik nan dilaksanakan di luar jalur pendidikan formal. Jika dalam pendidikan formal (sekolah formal) anggaran dan kurikulum terkesan kaku, maka dalam pendidikan luar sekolah bisa lebih fleksibel sinkron disesuaikan dengan peserta didik.
Pendidikan luar sekolah (PLS) memungkinkan terjadinya perkembangan peserta didik di bidang sosial, kegamaan, keterampilan, budaya, dan keahlian. Sinkron dengan namanya, pendidikan luar sekolah, metode nan digunakan berbeda dengan metode nan digunakan dalam sekolah formal. PLS bukanlah hal baru dalam kehidupan dan perdaban manusia. PLS sudah ada dan menyatu di dalam kehidupan masyarakat jauh sebelum muncul apa nan kita namakan sekolah.
Wacana pendidikan luar sekolah (sebelum istilah PLS diluncurkan) disodorkan sebagai bentuk “pemberontakan” dan kekecewaan dari berbagai kelemahan sistem pendidikan formal. Sekolah formal dinilai kaku, keras, serba ketat, dan banyak aturan-aturan keformalan, meskipun sistem pendidikan formal masih dinilai krusial dan masih tetap harus dipertahankan.
Selain itu, masyarakat sudah mulai tahu bahwa sistem pendidikan formal tak dapat menangani semua aneka ragam kebutuhan pendidikan nan semakin hari semakin berbeda dan bermacam-macam. Perubahan zaman menjadikan kebutuhan pendidikan di luar jalur formal semakin dibutuhkan tetapi bukan buat mengganti pendidikan di jalur formal.
Penggabungan dua sistem ini, pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah, dipandang bisa memenuhi, mengisi, dan menopang kebutuhan-kebutuhan pendidikan saat ini nan bisa mewujudkan tujuan setiap anak didik sinkron dengan perkembangan zaman.
Karakteristik Pendidikan Luar Sekolah
PLS mempunyai ciri unik dalam pengembangan peserta didiknya antara lain:
-
PLS sangat fleksibel dengan pengaturan waktu dan aturan-aturan lainnya. Pendidik dan peserta didik bisa mengomunikasikan waktu dengan terbuka.
-
PLS memenuhi kebutuhan belajar nan fungsional dan bernilai guna nan lebih ke arah praktek buat menunjang masa sekarang dan masa depan seperti keterampilan, pengelolaan jasa, keagamaan, dan lain sebagainya.
-
Dalam proses belajar, kegiatan belajar bisa dilakukan dimana saja sinkron kebutuhan tanpa harus duduk manis di kelas nan sudah disediakan.
-
Struktur program lebih fleksibel dan beraneka ragam dan tak mengikat. Semua disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa.
Jenis-jenis Pendidikan Luar Sekolah Menurut fungsinya
Dilihat dari segi fungsi, pendidikan luar sekolah dibagi menjadi tiga
-
Pendidikan luar sekolah sebagai institusi pengganti; bahwa pendidikan luar sekolah berfungsi buat menggantikan pendidikan formal nan tak sempat diikuti oleh warga sebab beberapa hal seperti keterbatasan dana, wilayah nan tak terjangkau atau terpelosok, dan kesibukan warga nan tak memungkinkan mereka hadir dalam tatap muka di kelas setiap hari. Contoh; kejar paket A, B, dan C.
-
Pendidikan luar sekolah sebagai tambahan; bahwa pendidikan luar sekolah berfungsi buat menambah pengetahuan dan keterampilan peserta didik nan belum sempat atau tak dapat didapatkan di sekolah. Contoh; Pesantren, training, les privat, dan sebagainya.
-
Pendidikan luar sekolah sebagai pelengkap; bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan buat melengkapi keterampilan atau pengetahuan nan belum atau tak dapat peserta didik dapatkan di sekolah formal. Contoh; kursus menari, kursus menjahit, dan sebagainya.
Seperti nan telah dijelaskan di atas bahwa pendidikan luar sekolah bukanlah barang baru nan serta merta dibentuk oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap kelemahan-kelemahan pendidikan formal nan ada.
Pendidikan tersebut ada sejak sejarah manusia pertama kali dibentuk. Keluarga ialah awal mula pendidikan nan pertama kali diperoleh manusia setelah dilahirkan, bahkan mendidik anak semenjak dalam perut sudah dilakukan oleh seorang ibu (jika kita setuju menyebut kehidupan seorang anak nan masih dalam perut ialah kehidupan dunia) dengan memperdengarkan musik atau sekedar mendongeng.
Pendidikan luar sekolah dalam keluargalah nan menjadi dasar primer sebelum anak tersebut dilepas buat belajar di luar lingkungan keluarga (sekolah formal). Keluarga menjadi acum jika sang anak tak mengerti nilai kemasyarakatan dan moral. Jika keluarga sudah tak dapat menjadi acum nan terpercaya maka si anak akan mencari acum kepada pendidikan luar sekolah nan kedua yaitu lingkungan.
Perubahan zaman akan mengubah cara bagaimana orang berpikir, tingkah laku, sikap sehari-hari, moralitas, cara pandang, dan lain sebagainya. Selalu ada imbas negatif dari perubahan zaman. Keluarga dan lingkungan sekitar ialah acum jitu buat menjawab segala kegelisahan hati dan pikiran anak-anak zaman baru.
Tetapi, ketika keluarga dan lingkungan sudah tak dapat menjadi acum nan lengkap dan sekolah formal tak dapat melayani berbagai kebutuhan konsultasi dan pendidikan di luar sistem serta keterbatasan waktu di sekolah, masyarakat mulai melirik pendidikan luar sekolah seperti pesantren.
Pesantren sampai saat ini dinilai masih sanggup mengatasi perubahan zaman nan cukup drastis. Pesantren-pesantren modern cukup fleksibel dan terbuka dengan perubahan zaman saat ini sedangkan pesantren salaf dipilih sebab masih dan sanggup mengajarkan pendidikan tradisional nan mempunyai nilai moral nan baik, luhur, dan tertata.
Pesantren tumbuh jauh sebelum sistem pendidikan formal dimulai. Pesantren ada pada garda depan dibidang pendidikan sebelum sistem pendidikan formal mengambil alih tugasnya. Ia ialah cikal bakal sistem pendidikan modern Indonesia saat ini.
Indonesia saat ini ialah negara nan belum menggenapi dirinya dengan pendidikan nan layak. Banyak faktor suatu negara belum dapat menjalankan amanat rakyat agar menyediakan pendidikan nan baik. Pendidikan ialah otak dan jiwa dari sebuah negara nan akan memunculkan sumber daya manusia nan berkualitas. Ketidaktersediaan dana ialah isu nan cukup sering kita dengar jika masyarakat tak memperoleh pendidikan.
Anak-anak nan kurang mampu lebih memilih bekerja buat meringankan beban orang tua daripada bersekolah nan justru menghabiskan biaya. Dinas Pendidikan DKI Jakarta mencatat, penyandang buta aksara di Ibukota sebanyak 0,7 persen atau sekitar 67 ribu jiwa dari jumlah total penduduk DKI Jakarta nan mencapai 9,5 juta jiwa.
Kenyataan ini sungguh mengerikan. Biaya pendidikan formal nan semakin mahal ialah penyabab utama. Dalam masalah ini, pendidikan luar sekolah ialah solusi. Ia punya peran nan luar biasa melalui kejar paket A, paket B, dan paket C. Program ini terkesan sepele tetapi sangat membantu pemerintah dalam mengatasi buta aksara.
Selama ini, program kejar paket identik dengan kebodohan dan tak berkelas tetapi alangkah naifnya jika pemerintah justru menganaktirikan program ini. Program inilah nan membantu masyarakat bebas tuntas dari buta aksara. Ketidakpuasan masyarakat terhadap lambannya sikap pemerintah terhadap program kejar paket memunculkan LSM (lembaga swadaya masyarakat) nan terjun membantu masyarakat di bidang pendidikan. Kerja LSM lebih cekatan dan lebih cepat dalam membantu masyarakat memperoleh pendidikan dibanding program pemerintah melalui kejar paket nan terkesan asal-asalan.
Di beberapa kota saat ini bermunculan berbagai sanggar. Sanggar ini mengatur pendidikan seni nan tak dapat diberikan oleh sekolah-sekolah formal. Mereka mengajari bagaimana menjadi manusia nan menghargai estetika sekitar. Di Pare, Kediri, Jawa Timur, ada satu kampung nan dinamakan Kampung Inggris. Di sana banyak sekali loka kursus bahasa asing mulai dari bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Jepang, sampai bahasa Perancis.
Tempat-tempat itu muncul tanpa ada niat dari pemerintah buat memenuhi kebutuhan pelatihan bahasa asing bagi rakyat. Mereka muncul sebab kebutuhan masyarakat nan sudah tak dapat ditangani oleh sistem pemerintah. Mereka muncul dan berdikari tanpa campur tangan pemerintah sama sekali. Pendidikan luar sekolah lebih berdikari dan dapat bertahan di segala zaman tanpa pemerintah harus repot-repot membantu.
Pendidikan luar sekolah timbul dari konsep kebutuhan belajar seumur hidup. Pendampingan dan pembinaan PLS serta bekerja sama masih sangat dibutuhkan buat memenuhi kebutuhan pendidikan di segala bidang agar setiap masyarakat siap buat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus tergerus.