Antisipasi Pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia
Masih terbayang kekhawatiran global ketika reaktor nuklir Jepang mengalami kerusakan dampak gempa dan tsunami nan melanda pada bulan 11 Maret 2011. Semua langsung mengacu pada bala nuklir di Chernobyl nan mengakibatkan banyak kelainan pada bayi-bayi nan baru lahir.
Ketakutan akan pencemaran kebocoran limbah nuklir di Jepang pun menyergap ke negara-negara sekitar. Lucunya, di tengah-tengah kekhawatiran bala itu, justru Badan Tenaga Nuklir Nasional mengangkat wacana pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia. Padahal beberapa negara Eropa sudah berencana buat menutup reaktor nuklir mereka.
Bencana Nuklir di Fukushima Jepang
Pada 11 Maret 2011 terjadi gempa besar nan mengakibatkan tsunami di Jepang. Peristiwa tersebut berdampak kerusakan pembangkit tenaga nuklir Fukushima I. Hal ini ialah bala nuklir terbesar sejak bala Chernobyl pada 1986.
Pembangkit tenaga nuklir Fukushima terdiri dari enam reaktor air mendidih nan terpisah. Ketika terjadi gempa, Reaktor 1, 2, dan 3 otomatis wafat setelah terjadi gempa dan generator darurat segera online untuk mengendalikan sistem elektronik dan pendingin.
Tsunami telah menghancurkan penghubung reaktor ke terali daya, sehingga reaktor menjadi overheat . Ketika para pekerja berjuang buat mendinginkan dan mematikan ketiga reaktor tersebut terjadi beberapa ledakan hidrogen. Pemerintah telah memerintahkan buat menggunakan air bahari buat mendinginkan reaktor. Kekhawatiran pemancaran radioaktif nuklir ini diatasi dengan pengungsian radius 20 km dari pembangkit.
Awalnya, kecelakaan nuklir ini ditetapkan pada taraf 4 berdasarkan International Nuclear Event Scale. Namun strata ini dinaikkan berturut-turut ke taraf 5 dan pada akhirnya ke taraf 7 nan merupakan nilai skala tertinggi.
Bencana Nuklir di Chernobyl, Ukraina
Pada 26 April 1986 terjadi bala nuklir di Pembangkit Tenaga Nuklir Chernobyl, Ukraina. Ledakan dan kebakaran tersebut memancarkan kontaminasi radioaktif nan cukup besar ke atmosfer. Penyebaran tersebut mencakup wilayah Eropa dan Uni Soviet bagian barat.
Peristiwa ini ialah kecelakaan pembangkit tenaga nuklir terburuk dalam sejarah. Ini merupakan salah satu dari dua kecelakaan nan diklasifikasikan sebagai taraf 7 pada skala peristiwa nuklir internasional. Kecelakaan lainya ialah bala nuklir Fukushima Daiichi nan telah dijelaskan sebelumnya.
Pertarungan menghadapi kontaminasi nuklir ini dan demi mencegah bala nan lebih besar melibatkan lebih dari 500 ribu pekerja dan diperkirakan memakan biaya sekitar 18 miliar rubel sehingga melumpuhkan perekonomian Uni Soviet.
Bencana nuklir di Chernobyl ini diawali saat dilakukan suatu pengujian sistem pada hari Sabtu, 26 April 1986 pada reaktor nomor empat dari pembangkit Chernobyl nan dekat dengan kota Prypiat dan dekat dengan sungai Belarus dan Dnieper. Tiba-tiba terjadi lonjakan output daya, dan ketika dilakukan pemadaman darurat justru terjadi lonjakan output daya nan lebih ekstrem, nan mengakibatkan pecahnya bejana reaktor dan terjadi serangkaian ledakan.
Peristiwa tersebut memancarkan moderator grafit dari reaktor ke udara nan menyebabkannya menyala. Barah tersebut menghasilkan asap dengan kadar radioaktif nan tinggi nan masuk ke atmosfer dan mencakup area geografis nan luas termasuk Pripyat.
Dari 1986 hingga 2000, sejumlah 350.400 orang dievakuasi dan dipindahkan dari daerah Belarus, Rusia, dan Ukraina dengan taraf kontaminasi nuklir yang tinggi. Suatu laporan dari International Atomic Energy Agency menelaah akibat lingkungan dari kecelakaan nuklir di Chernobyl ini. Diperkirakan 31 kematian merupakan dampak langsung dari kecelakaan nuklir tersebut, semuanya di antara karyawan reaktor dan pekerja darurat.
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar kematian 4.000 warga sipil nan tak termasuk pekerja pembersih militer. Pada laporan tahun 2006 diperkirakan kematian kanker dampak Chernobyl sekitar 30 ribu hingga 60 ribu. Laporan dari Greenpeace menetapkan angka ini di 200 ribu atau lebih.
Suatu publikasi Rusia menyimpulkan bahwa 985 ribu kematian kanker prematur terjadi di seluruh global antara tahun 1986 dan 2004 sebagai hasil dari kontaminasi radioaktif dari Chernobyl.
Antisipasi Pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia
Bencana nuklir menjadi bahan pertimbangan negara-negara seperti Jepang dan Jerman buat meninjau ulang dan menutup pembangkit listrik tenaga nuklir mereka buat beralih ke pemanfaatan energi terbarukan. Namun, tentu saja Indonesia selalu ingin tampil beda. Justru Badan Tenaga Nuklir Nasional gencar melakukan pengenalan planning pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari iklan-iklan di televisi, spanduk-spanduk, dan berbagai acara talk show pada tahun 2011 lalu.
Alasan nan dikedepankan dari pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ini ialah Indonesia terancam krisis energi di masa depan. Padahal pada tahun 2010, negara kita tercatat sebagai negara pengekspor batubara terbesar kedua di dunia. Namun, Perusahaan Listrik Negara justru kesulitan mendapatkan pasokan batubara bagi kebutuhan pembangkit listriknya.
Masih di tahun nan sama, Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor gas alam cair terbesar ketiga di dunia, namun pada 2005 Pupuk Iskandar Muda harus berhenti beroperasi sebab kekurangan pasokan gas alam cair. Hal nan sama juga melanda Pupuk Kaltim pada tahun 2004. Selain kedua sumber energi tersebut, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan potensi geothermal terbesar di dunia, dengan persentase lebih dari 40% potensi geothermal dunia.
Kebohongan lain dari kampanye mengenai keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir ialah pernyataan dari salah seorang ahli nuklir dari ITB nan merujuk pada pembangkit listrik tenaga nuklir nan menggunakan teknologi Generasi III dan IV. Sementara itu, jika Indonesia membangun pembangkit listrik tenaga nuklir maka akan menggunakan generasi IV dengan passive system .
Keamanan dari teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir ini selalu merujuk pada Generasi IV. Padahal masih dibutuhkan pengamatan puluhan tahun nan membuktikan bahwa Generasi III+ sudah terbukti secara teknis keselematan operasi maupun kelayakan komersialnya.
PLTN Generasi III+ saja hingga saat ini belum beroperasi di tiga negara, yaitu Finlandia, Prancis, dan Cina. Pada 1960-an dan 70-an, pembangkit listrik tenaga nuklir nan dibangun di Fukushima saja dinyatakan sebagai teknologi nan aman. Namun, 40 tahun kemudian terlihat kegagalannya. PLTN Generasi IV saja masih dalam termin penelitian.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir pertama di Indonesia dirancang pada 1980 -1990-an di Tanjung Muria, Jawa Tengah. BATAN bahkan mengklaim bahwa Bangka, Kalimantan, dan Semenanjung Muria merupakan lokasi nan kondusif buat pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia sebab terletak di luar ring of fire dan tak pernah terjadi gempa di Bangka. Padahal pada 2 Desember 2007 telah terjadi gempa di Bangka dengan kekuatan 4,9 Skala Richter.
Episentrum dari gempa tersebut tepat di salah satu lokasi planning tapak pembangkit listrik tenaga nuklir di Jebus, Muntok, Bangka Barat. Indonesia merupakan negara nan rentan terhadap potensi bala alam, mulai dari gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, dan ditambah lagi dengan ancaman sabotase teroris terhadap reaktor nuklir. Risiko bala nuklir cukup tinggi akan ditanggung Indonesia.
Jika memang harus memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir maka Indonesia harus bergantung pada beberapa negara nan menguasai teknologi tersebut seperti Jepang, Korea, Rusia, atau Prancis. Indonesia hanya memiliki cadangan uranium sebesar 53 ribu ton, jumlah ini hanya bisa mengoperasikan 5 pembangkit listrik tenaga nuklir dengan total daya 5.000 MW buat jangka waktu 25 tahun dengan efisiensi produksi 50%.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional pernah menyampaikan bahwa Korea Selatan berjanji buat memasok Uranium selama 90 tahun. Namun, Korea Selatan ternyata tak mempunyai cadangan Uranium. Dari seluruh gambaran tersebut, kira-kira apakah Anda masih percaya keamanan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir?