Tiga Penyakit Politisi
Banyak sekali contoh kasus korupsi di Indonesia , sudah diberitakan di mana-mana. Bahkan kuping ini sudah kebal dan kabar burungnya terdengar lalu memantul, misalnya kasus Gayus di dewan perpajakan, sudah gaji dua belas juta sebulan, nan bagi Pegawai Negeri Sipil muda itu sungguh gaji nan sangat besar, namun ia masih korupsi.
Memang manusia itu tak pernah puas. Bila bisa sedikit, ingin banyak. Jika bisa banyak, ingin lebih banyak lagi. Selain kasus korupsi Gayus Tambunan, masih banyak lagi contoh-contoh kasus korupsi di Indonesia, misalnya kasus Nazaruddin, kasus Abdullah Puteh, kasus Al Amin, kasus Artalita, kasus cicak buaya, kasus sogok-menyogok ala masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan saat masuk sekolah atau kuliah saja juga menyogok, dan lain-lain. Sungguh ironis negeri ini, banyak sekali contoh kasus korupsi di Indonesia.
Apa Manfaat Contoh Kasus Korupsi Bagi Kita
Hampir setiap hari ada pemberitaan tentang penyidikan kasus korupsi. Tentu saja, kasus tersebut membuat kesal. Pasalnya, kasus demi kasus diwartakan tetap saja hukumannya tidak sebegitu berat. Sehingga layak ditanyakan kepada kita apa kegunaan contoh kasus korupsi dipublikasikan di media.
Penulis menilai, kasus-kasus korupsi nan diberitakan media ialah bagian dari contoh. Contoh konduite para politisi, contoh orang nan tamak dengan harta dan contoh orang nan ingin kaya dengan cara nan tidak pantas. Dari sekian banyak contoh kasus korupsi nan ada di indonesia, ekonomis penulis, ada tiga kegunaan terkecil nan didapat.
1. Awalnya Mitra Bakal Jadi Lawan
Hampir di setiap kasus korupsi nan menyeret anggota partai politik, tidak sedikit rekan se-partainya. Bahkan aksi membela mitra tersebut begitu gemar dilakukan. Seakan-akan rekan separtainya tersebut memang manusia nan tidak melakukan korupsi. Kejadian ini berkali-kali kita saksikan.
Lihatlah salah satu contoh kasus korupsi di Indonesia nan dilakukan Nazaruddin! Seluruh rekan separtainya di Demokrat kala itu membelanya habis-habisam. Anda niscaya ingat paras Ruhut Sitompul nan berdiri di samping Nazarudin sebelum melarikan diri ke luar negeri buat memberikan penjelasan bahwa Nazar tak melakukan korupsi. Anda niscaya ingat muka Sutan Batoegana di dalam beberapa kali wawancaranya di Televisi mengatakan, bahwa ia selalu membujuk Nazaruddin buat kembali ke Indonesia saat Nazaruddin melarikan diri keluar negeri.
Setelah benar-benar terbukti Nazaruddin melakukan korupsi tidak lagi muncul pembelaan dari Ruhut Sitompul dan Sutan Bhatoegana. Malah kini, mereka pun berubah menjadi versus Nazaruddin dengan terbukti membenci perbuatannya. Inilah salah satu konduite politisi nan kerap kita saksikan dalam contoh kasus korupsi di Indonesia.
Tak sampai situ saja. Ketika Anas Urbaningrum dan Andi Maalarangeng diindikasikan terkait korupsi dalam kasus Hambalang, Ruhut Sitompul meminta keduanya buat keluar dari Partai Demokrat. Padahal, dulunya Ruhut dengan kedua pengurus Partai Demokrat tersebut begitu dekat.
Maka tepat sekali apa nan Ann Richards, 'Aku selalu bilang bahwa dalam politik, musuh-musuhmu tidak dapat melukaimu, tapi teman-temanmu akan membunuhmu." Inilah fenomena nan kita saksikan. Partai lain tidak dapat melukai anggota Partai Demokrat, tetapi sesama anggota Partai Demokrat saling 'bunuh membunuh". Inilah paras politisi nan tampak dari contoh korupsi di Indonesia terjadi.
Ada Nazaruddin nan menyerat Anas Urbaningrum dan Andi Maalarangen. Dulunya menjadi rekan se-partai dan bersahabat karib, namun kini berubah jadi musuh. Ada Ruhut Sitompul nan juga dulu menjadi tim berhasil Anas Urbaningrum saat ingin menjabat sebagai Ketua Generik Partai Demokrat, kini malah memintanya buat keluar dari Partai Demokrakat demi nama baik Partai.
2. Sekali Dapat Berbohong, Tapi Berkali-Kali Tidak Akan Mungkin
Melihat lincahnya para politisi melakukan korupsi, tentunya kasus korupsi nan menimpanya masih satu kasus saja. Belum kasus-kasus nan lain. Ibarat pepatah mengatakan 'sepandai-pandai tupai melompat niscaya sekali waktu bakal terjatuh juga". Inilah barangkali nan dialami Nazaruddin, Al-Amin Nasution dan para koruptor lainnya nan memberikan contoh korupsi di Indonesia cukup marak.
Sejatinya, ada kegunaan nan layak dipetik dari konduite para politisi nan masuk dalam contoh korupsi di Indonesia nan dilakukan oleh mereka nan syahdan katanya berniat memperjuang suara rakyat. Yaitu, mereka kerap berbohong. Suatu saat, kebohongan nan dilakukannya bakal ketahuan.
Jika sudah ketahuan, maka nan terjadi seperti apa nan dikatakan Abraham Lincoln, "Sekali kau mengkhianati kepercayaan saudara-saudara sebangsamu, kau tidak akan pernah lagi dapat mendapatkan rasa hormat dan rasa percaya mereka. Mungkin kau dapat mendustai semua orang sekali waktu, bahkan mungkin kau dapat mendustai beberapa orang setiap waktu, tapi kau tidak dapat mendustai semua orang di setiap waktu.
3. Benarkan Politisi Pengkhianat?
Melihat contoh kasus korupsi di Indonesia nan lebih banyak menyeret para politisi, menjadi pertanyaan penting. Benarkan politisi bakal jadi pengkhianat bila sudah duduk di kursi parlemen? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan pasti. Namun, berdasarkan fakta nan ada, memang kebanyakan para politis berubah jadi pengkhianat. Mereka melupakan amanat rakyat demi mendapatkan harta nan berlipat-lipat. Kalau sudah demikian, tepat sekali apa nan dikatakan Oscar Levant, "Politisi ialah orang nan berkhianat begitu mereka menyeberangi jembatan.
Apa nan dicari Politisi?
Melihat contoh korupsi di Indonesia nan kebanyakan dilakukan oleh politisi menjadi muncul di benak kita, apa sebenarnya nan ingin dicari politisi? Yang dicari para polisi bukanlah kebahagian, tapi kesenangan. Karena kebahagian tak dapat disandingkan dengan keburukan. Korupsi ialah konduite nan buruk, maka tidak pantas ia disandingkan dengan kebahagian.
Kenapa dikatakan nan dicari politisi ialah kesenangan. Pasalnya, nan mereka rasakan ialah kenikmatan sesaat. Setelah nikmat itu hilang, mereka sibuk mencari nikmat nan lain. Lihatlah konduite politisi nan korupsi. Sudah melakukan korupsi di satu sisi, lalu ia melakukan korupsi di sisi nan lain.
Menurut Arvan Pradiansyah, ada dua kebahagiaan dalam berpolitik:
- Susah bila melihat versus potik senang
- Senang bila melihat versus potik susah
Ini sering kita saksikan dalam konduite para politisi. Ketika ada politisi parpol terlibat dalam kasus korupsi, maka para politisi dari parpol lain buat menuduh dan meminta pihak nan berwajib buat mengusutnya dengan tuntas.
Tiga Penyakit Politisi
Dari aneka contoh kasus korupsi di Indonesia, kita dapat menilai ada empat penyakit nan selalu mewarnai kehidupan politisi. Apalagi, bila sudah ditetapkan menjadi koruptor
1. Arogan
Politisi kerap kali arogan, baik dalam berbicara maupun berperilaku. Arogansi politisi ini sering kali kita lihat. Dalam contoh kasus korupsi di Indonesia ini. Bila sudah dinyatakan terlibat melakukan korupsi tetap saja sombong dengan menyatakan tak melakukan. Persis apa nan dilakukannya dalam hal penolakan tersebur seperti apa nan dilakukan iblis ketika diminta Tuhan buat sujud kepada Adam sebagai penghormatan kepadanya.
Cukup banyak kasus korupsi di Indonesia nan awalnya para politisi tak mau mengakui bahwa dirinya terlebat dalam praktek korupsi. Ia bahkan rela bersumpah dan menjanjikan dirinya siap digantung bila melakukan korupsi. Nyatanya, memang terlibat. Bukankah ini termasuk arogansi?
2. Iri dan Dengki
Iri kerap kali menjadi bagian dari penyakit nan diidap sebagian politisi. Demi menaikkan namanya, ia tega menyudut-nyudutkan teman sepertainya Sehingga iri nan tampak pada politisi ialah ketika ia susah melihat orang lain bahagia dan senag melihat orang lain susah. Sedangkan dengkinya tampak ketika ia berusaha mewujudkan rasa irinya dengan melakukan tindakan nan mencelakan temannya.
Dalam banyak kasus korupsi di Indonesia, penyakit politisi iri dan dengki kerap kali kita saksikan. Dalam kasus Nazaruddin dan turunnya elaktabilitas Partai Demokrat misalnya, cukup tampak iri dan dengki nan terjadi. Hingga akhirnya, di dalam Partai tersebut akan berubah mitra menjadi lawan.
3. Serakah
Bila melihat contoh kasus korupsi di Indonesia umumnya terjadi sebab keserakahan. Baik politisi atau bukan nan melakukan korupsi, tetap formula utamanya faktor serakah. Mereka selalu merasa tidak cukup dengan gaji nan dimiliki. Mereka kerap melihat pendapatan nan didapat dibandingkan dengan pendapatan orang lain nan berada di atasnya.
Juga sudah penyakit serakah nan menghinggap, tidak ada lagi janji ingin membela rakyat. Yang ada malah, rasa ingin menyengsarakan rakyat. Korupsi nan dilakukan tentunya buat kepentingan sesaat dan tidak ada bermanfaat bagi rakyat.
Nasib rakyat hanyalah tinggal menunggu dan menanti warta korupsinya nan dilakukannya dimuat surat kabar setempat. Inilah disparitas hayati rakyat dengan pejabat. Rakyat selalu menanti kabar tentang pejabat, tapi pejabat tidak pernah ingat rakyat. Cukup sudah contoh kasus korupsi di Indonesia nan begitu meningkat. Semoga sanksi terhadap para pelaku koruptor pun tidak begitu singkat.