Implementasi Budaya dalam Bentuk Tarian
Sebagaimana nan bisa dipahami saat membaca karangan Prof. Dr. Arkanudin, “Kebudayaan Dayak Dulu dan Sekarang”. Apa nan terbaca ialah suku Dayak merupakan inti dari kebudayaan Kalimantan Tengah , dan berdiri sendiri dalam kebudayaan nan kaya.
Seperti suku-suku lain di Indonesia nan memiliki budaya atau Norma sendiri. Dan tentu saja, nan hayati dalam masyarakat Dayak merupakan elemen penting, akar bukti diri nan membentuk manusia Dayak.
Segala istilah digunakan buat menafsirkan kebudayaan Dayak . Dayak ialah seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia di Kalimantan Tengah dalam konteks berkehidupan dan bermasyarakat.
Orang Dayak memiliki cara tersendiri buat membentuk masyarakatnya dengan pendidikan internal. Ini berarti bahwa budaya dan adat istiadat tengah membentuk dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat Dayak.
Bukan sekedar kepemilikan genetik melalui perwarisan biologis nan ada dalam tubuh manusia Dayak sendiri. Tetapi diperoleh melalui proses pembelajaran dari generasi ke generasi.
Selanjutnya, atas dasar paham dan gagasan budaya, adat mengacu pada bentuk budaya seperti nan diungkapkan Koentjaraningrat. Maka kebudayaan Dayak juga dapat ditemukan dalam bentuk nan disebut Koentjaraningrat, nan meliputi hal berikut. Pertama, bentuk kebudayaan sebagai seperangkat ide, kedua sebagai nilai dan norma, dan ketiga ialah peraturan.
Idealisme Dayak di Kalimantan Tengah
Proses ialah bentuk krusial dari budaya nan dimitoskan buat diikuti dan ditaati. Dan itulah nan dinamakan dengan adat, nan berfungsi sebagai konduite nan baik buat mengelola, mengendalikan, dan memberikan arahan bagi orang Dayak dalam berperilaku sehari hari.
Misalkan, ini terlihat dalam berbagai upacara adat nan dilakukan sinkron dengan siklus kehidupan. Contohnya, perkawinan, kelahiran, dan kematian. Hal tersebut seiring dengan pengaturannya dalam upacara adat terkait.
Kedua, suatu bentuk budaya sebagai pola konduite suatu masyarakat, nan dalam bahasa Bordieu, yaitu habitus. Atau dalam bahasa sosiologi klasik nan biasa dikenal sebagai sistem sosial.
Sistem sosial merupakan gabungan dari aktivitas manusia nan berinteraksi terus-menerus. Mengacu pada pola tertentu, cenderung pada ketaatan dengan kestabilan dan pemenuhan bukti diri orang nan berinteraksi.
Ini tentu saja muncul dalam kehidupan sosial masyarakat dari sejak kecil sampai tua. Di mana mereka dihadapkan dengan anggaran mengenai hal-hal nan harus dilakukan. Apa saja nan dilarang, sifat tertulis diwariskan dari generasi ke generasi, dan pengalaman hayati mewujudkannya sebagai panduan dalam bermasyarakat buat berperilaku bagi orang-orang Dayak.
Ketiga, bentuk budaya artifak, artifisial, terbentuk sebagai keterwakilan duniawi manusianya. Misalkan objek kreasi manusia nan umumnya dikenal sebagai budaya fisik, hasil kerja holistik masyarakatnya.
Mengacu pada suku dayak ini seperti rumah Tabalu, rumah di sepanjang sungai, dan hubungan antarmereka dengan menggunakan simbol fisik pemberian dan sejenisnya.
Ini menjelaskan bahwa kebudayaan Dayak sebenarnya berada dalam perkembangan tertentu. Dan berkembang seiring dengan adaptasi masyarakat Dayak hingga hari ini.
Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga mau tak mau mengalami pergeseran. Terutama dalam sudut pandang mereka tentang HUTAN dan SUNGAI.
Memberikan arti bahwa kebudayaan Dayak tak tidak aktif dan selalu bergerak maju merupakan hal nan membuat penulis bersedih. Walau sampai saat ini masih ada orang-orang nan masih bertahan.
Mereka tak terhalang oleh perubahan generasi, salut penulis buat mereka. Bahkan, mereka tetap mempelihatkan kebanggan buat menunjukkan identitasnya sebagai orang Dayak.
Perubahan pada Sisi Religi
Sebagaimana nan terjadi pada wilayah lain di Indonesia. Perubahan dalam masyakat hutan dimulai dari perubahan pada sudut pandang dan sakralisasi antara sistem keyakinan nan dimiliki oleh suku.
Hal tersebut bisa ditelusuri melalui aktualisasi diri budaya, seperti cerita rakyat, nan bergeser pada penceritaan lainnya, nan lebih impor.
Misalnya, cerita rakyat di Timur Tengah, antara nabi-nabi nan disebut Samawi, entah nan beragama Islam atau Kristen, nan membentuk peristiwa dan menggeser mitos kosmos (alam semesta).
Dan peran manusia, serta mitos lain nan menggambarkan interaksi intrinsik antara manusia dan lingkungan alam nan telah diyakini masyarakat adat sebelumnya (Umberan, 1994). Dan sungguh, ini merecoki pandangan interaksi antara masyarakat Dayak dengan Alam loka mereka hidup.
Menarik, dari pembahasan Ukur (1994) bahwa buat memahami makna religius tentang alam sekitar budaya Dayak, sumber nan paling bisa membantu ialah mitos-mitos tentang alam semesta. Atau kosmos dan peristiwa manusia nan menggambarkan lampiran dan interaksi intrinsik antara manusia dengan alam sekitarnya.
Mitos itu sendiri dalam pandangan penulis ialah sesuci agama-agama besar nan diturunkan, di belahan lain dunia. Bilamana orang Dayak tak berkewajiban menyebarkan pandangan dan keyakinan itu.
Maka itu merupakan wujud humble mereka pada global dan semesta. Untuk tak sok tahu pada kebutuhan bangsa lain nan menghuni di bagian lain dunia.
Mitos tak hanya cerita berkesan bohong, tetapi melalui mitos dikenali akan kejeniusan lokal nan hayati di dalam masyarakat Dayak sendiri. Yaitu, buat mengungkapkan misteri nan fundamental dan kebohongan di balik sikap manusia nan abai dan bersifat picik dalam perilaku.
Dan suku Dayak pun tak menyukai sifat-sifat pengkhianatan pada nilai dan kebiasaan humanisme universal, seperti Golden Rule itu.
Mitos sebagai sejarah hayati Dayak, meskipun nan diceritakan dalam mitos tak terikat oleh ruang dan waktu. Sejarah dalam konteks pemahaman suku Dayak sendiri sulit diverifikasi secara historis (Ukur, 1994) dan tetap dianggap sebagai mitos sejarah sebab diinternalisasi oleh manusia Dayak secara lisan.
Namun, keberadaan mitos itu diyakini kebenarannya, dianggap suci. Berisi hal-hal nan indah. Umumnya, menjelaskan titah para dewa, dimitoskan buat mengatur kehidupan masyarakat Dayak nan tampil pada berbagai kondisi seperti tradisi, ritual, dan arah kultus ditujukan. Namun, zaman tengah berubah.
Implementasi Budaya dalam Bentuk Tarian
Membahas kebudayaan Kalimantan Tengah, maka membahas pula sisi implementasi kulturalnya. Misalkan kita ambil contoh Tari Mandau, ialah salah satu dari berbagai jenis tari dari Kalimantan Tengah.
Dalam pandangan nama, tarian ini menggunakan salah satu senjata nan merupakan pedang dan talawang (perisai) khas Dayak. Tari Mandau juga dibagi menjadi berbagai jenis gerakan sinkron dengan wilayah suku Dayak nan ada.
Menurut suku Dayak itu sendiri, Mandau ialah simbol dari semangat masyarakat Dayak dalam membela harkat dan martabat. Hal ini juga melambangkan suku Dayak dalam menjelaskan kejantanan para pria dalam menghadapi segala macam tantangan dalam aspek kehidupan lainnya.
Selain itu, tarian ini juga menjelaskan bagaimana suku Dayak mempertahankan tanah air dan wilayah mereka. Dalam setiap acara Mandau didampingi irama suara Gandang dan Garantung nan terdengar lantang.
Harmonisasi irama musik tradisional menimbulkan suasana penuh semangat. Dan mengundang mereka nan mendengar dan melihat tari Mandau buat mendapatkan lebih banyak gairah. Tujuannya, agar siap terjun ke medan perang.
Ada juga Tari Kancet nan menceritakan sisi kepahlawanan Dayak Kenyah terhadap lawan-lawan mereka. Gerakan tari ini sangat hidup, lincah, energik, dan kadang-kadang diikuti dengan jeritan para penari.
Ada banyak tarian lainnya dari suku Dayak nan tidak kalah menarik buat Anda pelajari. Di antaranya ialah Serumpai, Gantar, Kancet Lasan, Kancet Ledo atau Tari Gong, Belian Bawo, Ngerangkau, Kuyang, Baraga'Bagantar, Datun, dan Pecuk Kina.