Pendidikan Masyarakat Cina

Pendidikan Masyarakat Cina

Pepatah Prancis mengatakan bahwa sejarah akan senantiasa berulang ( i’histoire se répète ), hanya tokoh dan loka nan berbeda. Itu pula nan tergambar ketika menelaah kehidupan masyarakat Cina di era klasik (600-200 SM). Artikel ini akan membahas lebih jauh seputar masyarakat Cina klasik.

Di samping kemajuan peradaban nan luar biasa pada zamannya, sejarah masyarakat Cina era klasik juga memperlihatkan tatanan masyarakat chaos (kacau). Hal itu disebabkan perang antarwilayah di masyarakat Cina nan terus menerus, dan diperparah oleh bobroknya moral aparat pemerintah. Kisah Tiga Negara ( Romance of the Three Kingdoms ), sebagai salah satu karya sastra klasik Tiongkok, jadi penunjuk jelas situasi masyarakat Cina saat itu.

Akan tetapi, masyarakat Cina klasik juga memberikan jawaban buat mengatasinya. Pada era ini, bermunculan para pengajar seni kehidupan. Para filosof Cina nan mengajarkan seni hayati bermasyarakat secara bijak dan cerdas. Nilai kesetaraan, persamaan, dan kesederajatan manusia jadi prioritas primer pada masyarakat Cina .

Moral dan etika ialah saripati kehidupan manusia, sekaligus tujuan hidup. Artinya, spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan, dan politik. Adapun inti etika dan kehidupan sosial adalah kesalehan dan kearifan.

Tepat kiranya jika sejarah peradaban bangsa besar itu “menitipkan” pelajaran pada peradaban-peradaban setelahnya. Jatuh bangunnya peradaban Cina, jadi pelajaran bagi peradaban saat ini. Peradaban modern (atau postmo) nan berlimpah kemajuan materi, tetapi memiliki kekurangan kronis dalam hal spiritualitas (moral dan etika).



Kehidupan Sosial Masyarakat Cina

Masyarakat Cina klasik (kuno) merupakan suatu peradaban maju. Tak kalah dengan peradaban sebelumnya (peradaban Sumeria, Babylonia, Mesir/Egypt) dan peradaban setelahnya (Yunani dan Romawi).

Adanya bangunan-bangunan besar dan berarsitektur seni tinggi, perkakas rumah tangga terbuat dari bejana perunggu, tenunan sutera berwarna-warni dengan corak nan indah, serta banyak lagi bukti arkeologis nan menunjukkan tingginya peradaban masyarakat Cina klasik.

Sayangnya, kemajuan masyarakat Cina secara materi tersebut tak diikuti dengan kemajuan peradaban secara sosial. Masyarakat Cina klasik terbagi atas kelas-kelas sosial. Ada kelas raja, para bangsawan, dan rakyat jelata. Kelas dengan kedudukan nan tertinggi tentu saja kelas raja.

Setiap kelas punya hak dan kewajiban masing-masing. Namun, pola rekanan nan terbangun bersifat diskriminatif (menindas) dan hierarki (bertingkat). Kelas raja (penguasa) dianggap merupakan turunan dewa-dewa di dunia. Karena itu, mereka memiliki hak memerintah nan bersifat turun-temurun. Punya hak-hak istimewa dan nyaris dianggap suci. Sehingga, kelas raja begitu dikeramatkan pada masyarakat Cina. Tanpa salah, tanpa cela.

Adapun kelas bangsawan pada masyarakat Cina, merupakan kelas ningrat (keturunan raja) dan para pemilih tanah (kaum feodal/tuan tanah). Mereka juga memilili hak previlage (khusus) buat memerintah suatu wilayah. Kelas bangsawan sering bertikai sesama mereka nan mengakibatkan penderitaan hebat di kalangan rakyat jelata.

Sedangkan, rakyat jelata ialah mereka nan tak termasuk dari kedua kelompok tersebut. Disebut juga sebagai kelas pekerja dan merupakan mayoritas masyarakat Cina. Kelas rakyat jelata memang mempunyai hak, namun sangat terbatas. Umumnya, rakyat jelata tak mempunyai ambisi apa pun dalam hidup. Mereka sudah puas jika setiap hari bisa makan dan minum.

Pada masa itu, rakyat jelata sangat sedikit nan bisa menulis atau keterampilan intelektual lainnya. Akibatnya, mereka sering diperlakukan semena-mena oleh para penguasa dalam hal pungutan pajak, kerja paksa, dan menjatuhkan hukuman. Kesewenangan dan ketidakadilan pun merajalela.

Kondisi sosial semacam ini kemudian melahirkan para pembaharu dalam masyarakat Cina. Para filosof dengan ajaran-ajaran mereka nan mengedepankan harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Kon Fu Tze/Konfusius (Konfusianisme), Lao Tze (Taoisme), Mo Tse (Moisme), Ming Chia, dan Fa Chia, ialah para filosof nan lahir dari masyarakat Cina.



Kehidupan Politik Masyarakat Cina

Melemahnya kekuasaan pemerintah pusat, sistem feodal (kepemilikan tanah) nan mulai runtuh, dan keegoisan dari negara-negara bagian, jadi karakteristik primer kondisi politik masyarakat Cina klasik.

Terhitung, selama masa klasik Cina, kerap terjadi peperangan besar. Kudeta antara kaum bangsawan dan pergantian dinasti-dinasti nan memerintah. Masa damai dapat dikatakan amatlah langka.

Sebutlah dinasti Xià, Shāng, Zhōu, Qín, Hàn, Jìn hingga belasan dinasti berikutnya nan datang silih berganti. Setiap pergantian dinasti niscaya ditandai oleh pertumpahan darah besar-besaran dan perang saudara dengan rakyat jelata sebagai tumbalnya. Suatu keadaan politik nan amat labil dan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Cina pada masa itu.

Untuk mengatasinya, salah seorang filosof Cina nan sangat berpengaruh, Kon Fu Tze, dengan Konfusianisme-nya, percaya bahwa perubahan harus dimulai dari dalam atau dari pemerintahan itu sendiri.

Karenanya, dia menganjurkan murid-muridnya buat menjadi aparat pemerintahan. Mulai melakukan perubahan dengan cara melakukan perubahan dari diri sendiri dan memberi contoh kepada nan lain. Dan, Kon Fu Tze juga mengajarkan bahwa cara paling efektif dalam melakukan perubahan dalam masyarakat Cina ialah melalui pendidikan generik nan terbuka bagi semua orang. Yaitu pendidikan bagi rakyat jelata. Kaum nan selama ini terpinggirkan.



Pendidikan Masyarakat Cina

Saat itu, pendidikan masyarakat Cina masih dinikmati hanya buat keluarga bangsawan. Untuk memperoleh pendidikan, masyarakat Cina harus mengeluarkan biaya nan sangat banyak sebab pendidikan waktu itu sangat mahal. Ada tiga strata sistem pendidikan pada masyarakat Cina saat itu, yaitu sebagai berikut.



1. Infant School (Shu)

Sistem pendidikan pada masyarakat Cina ini dikhususkan bagi nan berumur di bawah 7 tahun dan keluarga bangsawan. Dalam Infant School , anak-anak belajar tentang pengetahuan praktis, khususnya buat menjalani kehidupan sehari-hari. Contohnya, cara makan, cara berbicara, car berhitung, dan lain-lain.



2. Lower School (Hsiao Hsueh)

Tingkatan sistem pendidikan pada masyarakat Cina ini, peserta didiknya umumnya ialah anak laki-laki nan berusia 8 sampai 15 tahun. Kurikulum pada strata pendidikan masyarakat Cina ini, yaitu sebagai berikut.

  1. Pendidikan moral. Pendidikan ini mengajarkan bagaimana perperilaku nan baik sebagai seorang bangsawan di kalangan masyarakat Cina itu sendiri. Selain itu, diajarkan juga bagaimana cara membersihkan dan menyapu lantai, bagaimana menjawab serta merespon pertanyaan, dan bagaimana menjadi seorang pendengar nan baik.
  1. Pendidikan Intelektual. Di sini diajarkan cara membaca, menulis, matematika, dan menyanyi.
  1. Pendidikan Fisik. Pendidikan fisik di masyarakat Cina mengajarkan ini mengajarkan cara menari, bercocok tanam, menunggang kuda, mengendarai kereta kuda, dan memanah.


3. Higher School (Ta Hsueh)

Dalam masyarakat Cina, peserta didik pada strata ini didominasi oleh laki-laki nan berumur 16 sampai 24 tahun. Di sini, para peserta didik dibagi menjadi dua kelompok, yakni P’I Yin (anak-anak dari kerajaan nan ada di masyarakat Cina) dan P’an Kung (anak-anak bangsawan nan berasal dari penguasa-penguasa daerah.



Kebudayaan Masyarakat China

Kebudayaan masyarakat Cina termasuk salah satu kebudayaan tertua di dunia. Masyarakat Cina sangat menjunjung tinggi kebudayaan negara mereka meskipun sudah tinggal di negara lain. Dengan demikian, jangan heran jika hampir di setiap negara terdapat sebuah loka nan dijuluki China Town atau Pecinaan.