Kebudayaan Betawi.

Kebudayaan Betawi.

Kebudayaan Betawi banyak dijumpai di kawasan Jakarta. Hal ini sebab secara sejarah, suku betawi merupakan suku warga orisinil nan mendiami Jakarta. Sejak masa penjajahan Belanda, suku ini sudah tersebar di berbagai wilayah di Batavia, sebutan buat Jakarta pada masa penjajahan Belanda.

Seiring dengan perkembangan nan terjadi di Jakarta, keberadaan Suku Betawi semakin terpinggirkan. Hal ini berdampak pada semakin sulitnya menemukan kebudayaan betawi dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih dengan adanya teknologi modern, menjadikan generasi muda tak banyak lagi nan mau buat melestarikan kebudayaan Betawi.

Kebudayaan Betawi sendiri memiliki karakteristik nan diwarnai dari berbagai kebudayaan berbagai macam suku bangsa. Hal ini sebab asal mula kemunculan Suku Betawi sendiri nan berasal dari percampuran berbagai macam etnis dan suku bangsa di masa lalu.

Dari sudut pandang biologis, suku Betawi berasal dari suku-suku nan tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini terjadi sebab pada masa penjajahan Belanda kota Batavia dijadikan sebagai pusat perdagangan oleh pemerintah Belanda. Dan buat mendukung pembangunan kota Batavia ini, pemerintah Belanda mendatangkan suku-suku dari berbagai wilayah di Indonesia buat dijadikan budak.

Para budak dari berbagai macam suku inilah nan kemudian melahirkan suku Betawi di Jakarta. Sebab, orang-orang nan didatangkan dari berbagai wilayah tersebut kemudian melakukan perkawinan antar etnis nan kemudian dikenal dengan Suku Betawi.

Istilah Betawi sendiri digunakan buat mengidentifikasi seseorang nan lahir di Jakarta. Sedangkan kata Betawi, merupakan turunan dari kata Batavia nan digunkana oleh Belanda buat menyebut Jakarta.

Dalam sejarah, kata Betawi sendiri baru dikenal sejak tahun 1930an. Hal ini diketahui dari hasil penelitian nan dilakukan oleh para pakar sejarah dengan berdasar bukti-bukti fisik nan ditemukan. Bukti tersebut antara lain hasil sensus penduduk nan dilakukan pada masa sebelum kemerdekaan tersebut.

Dari sensus penduduk nan dibuat pada tahun 1615 dan 1815, di Batavia terdapat berbagai macam etnis namun tak satupun nan mengaku sebagai etnis Betawi. Pada sensus 1893, hasil sensus menyebutkan beberapa etnis nan pada sensus sebelumnya muncul, pada sensus tahun tersebut tak lagi muncul. Diduga, beberapa etnis nan tak lagi tersebut dalam sensus itu, dimasukkan ke dalam kelompok masyarakat pribumi. Mereka inilah nan pada kemudian hari disebut sebagai etnis Betawi.

Secara resmi, istilah Betawi baru ditemukan pada sensus tahun 1930. Pada saat itu, suku Betawi merupakan suku mayoritas nan mendiami kawasan Jakarta. Tercatat ada 778.953 jiwa nan mengaku sebagai suku Betawi dan tinggal di Jakarta.

Sebelumnya pada tahun 192, seorang tokoh masyarakat Betawi, mendnirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Hal ini digunakan buat menghimpun kekuatan para penduduk orisinil Jakarta buat melawan penjajah Belanda. Pada saat itulah, sebagian masyarakat mulai tumbuh kesadarannya bahwa mereka berasal dari etnis nan sama, yaitu etnis Betawi.



Kebudayaan Betawi.

Dengan melihat sejarah terbentuknya suku Betawi ini, bukan hal nan aneh apabila kemudian kebudayaan Betawi juga memiliki pengaruh dari kebudayaan berbagai macam etnis nan membentuk suku Betawi. Kebudayaan nan ada dan terpengaruh berbagai macam campuran budaya ini disebut dengan budaya Mestizo.

Dengan adanya perkembangan jaman, keberadaan kebudayaan Betawi di Jakarta semakin terpinggirkan. Hal ini seiring dengan makin terpinggirkannya masyarakat Betawi ke wilayah pinggiran sebab tak mampu melawan pesatnya pembanggunan nan seringkali menggusur penduduk orisinil Jakarta.

Untuk menjaga kelestarian kebudayaan Betawi ini, dibuatlah sebuah kawasan nan difungsikan sebagai lokasi cagar budaya. Lokasi ini berada di kawasan Srengseng Sawah, dan masuk ke dalam wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lokasi ini dinamakan Situ Babakan.

Kata Situ sendiri berasal dari bahasa Sunda nan artinya ialah danau. Dan di wilayah nan dijadikan cagar budaya tersebut, memang terdapat dua buah danau sehingga kawasan tersebut dikenal dengan nama Situ Babakan.

Kawasan ini dipilih sebagai loka buat menjaga kelestarian kebudayaan Betawi sejak tahun 2004. Alasan dipilihnya lokasi ini sebab di loka tersebut masih banyak dijumpai perkampungan orisinil Betawi. Peresmian dan pencanangan kawasan tersebut sebagai lokasi cagar budaya dilakukan bersamaan dengan hari ulang tahun Jakarta ke 474, dengan sebuatan Pusat Perkampungan Betawi.

Lokasi cagar budaya Betawi ini terdiri dari kawasan seluas 165 hektar. Huma seluas ini meliputi kebun rakyat, kampung masyarakat Betawi dan juga kedua danau nan ada di samping kawasan tersebut. Diharapkan dengan adanya situs cagar budaya ini, kebudayaan Betawi tak menjadi hilang sebab pembangunan di wilayah ibu kota.

Di Situ Babakan, masyarakat dapat mengembangkan usaha mereka serta membantu program penghijauan. Masyarakat pun dibantu buat mengembangkan industri tradisional khas Betawi, seperti pembuatan makanan khas misalnya dodol Betawi atau juga Bir Pletok. Dan sebagaimana kehidupan desa pada umumnya, di kawasan tersebut juga dikembangkan sistem pertanian, pembudidayaan ikan menggunakan sistem karamba di danau. Juga mengembangkan wisata seperti pemancingan, pembuatan kerajinan dan juga perdagangan.

Tidak ketinggalan, berbagai macam kesenian orisinil Betawi secara rutin dipentaskan di loka tersebut. Waktu pementasan kebudayaan Betawi ini dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Pada saat tersebut, digelar berbagai kesenian khas Betawi, misalnya Lenong, Gambang Kromong, Tari Cokek, Ondel-ondel dan lain sebagainya. Tak ketinggalan berbagai sajian khas Betawi juga turut meramaikan acara tersebut misalnya kerak telor.

Dengan pementasan berbagai seni budaya Betawi ini diharapkan menjadi media buat menjalin keakraban antara semua pihak. Terlebih, kesenian Betawi memang diciptakan sebagai media bagi semua pihak buat berkomunikasi. Itulah mengapa, dalam beberapa pentas kesenian, sering tercipta hubungan antara penonton dan para pemain di atas pentas.

Hal ini terutama dapat dijumpai pada kesenian lenong, nan merupakan kesenian teater tradisional Betawi nan mengangkat tema humor. Pada kesenian nan sudah lahir sejak akhir abad 19 ini, semua penonton berhak buat berkomentar pada semua kegiatan pemain di atas panggung. Mereka berhak pula buat menyampaikan pemikiran mereka, tanpa perlu menunggu waktu khusus. Sehingga seolah-olah tak ada jeda antara pemain dengan penonton kesenian lenong ini.

Hal ini sangat dimungkinkan, sebab dalam pementasan kesenian lenong ini tak menggunakan naskah standar sebagaimana pementasan seni drama pada umumnya. Para pemain lenong hanya mendapatkan arahan cerita dalam bentuk garis besarnya saja. Sedangkan buat proses obrolan di atas pentas, ditentukan pada kemampuan masing-masing pemain buat mengolah kata dan beradu cerita, baik dengan sesama pemain lenong atau juga dengan penonton. Hal ini menjadikan sebuah keunikan tersendiri dan menjadi media keakraban bagi semua pihak.