Sajak WS Rendra – Mengenal WS Rendra
Siapa nan bisa meragukan estetika sajak WS Rendra ? Sajak WS Rendra menjadi sebuah sajak nan paling terkenal dari penyair Indonesia nan ada. Sajak dari penyair berbakat ini menghiasi global sastra di Indonesia. Seperti memberikan angin segar di antara tandusnya global sastra di Indonesia.
Rendra merupakan salah seorang penyair krusial Indonesia, lahir pada 7 November 1935 di Solo (Surakarta), Jawa Tengah. Rendra mulai menulis sajak, mengarang, dan mementaskan drama buat kegiatan di sekolahnya sejak di bangku SMP kelas II. Sajak WS Rendra memberikan perbedaan makna baru dalam sejarah sastra indonesia.
Para penggemar global sastra di Indonesia niscaya tak asing dengan nama sastrawan nan satu ini. Sebagai seorang sastrawan, WS Rendra banyak sekali melahirkan sajak-sajak latif nan terinspirasi dari berbagai hal. Sajak WS Rendra bahkan cukup menginspirasi para sastrawan beberapa generasi di bawahnya.
Keindahan nan terlahir dari sajak WS Rendra memang sudah teruji. Meragukannya sama saja dengan meragukan seorang maestro sastra di Indonesia. Namanya menjadi sebuah legenda nan akan tetap hidup, terutama di global sastra Indonesia.
Kebesaran nama nan dimiliki oleh WS Rendra tak lantas tenggelam oleh keberadaan sastrawan-sastrawan muda Indonesia.Sama seperti sajak WS Rendra nan tetap diperbincangkan, namanya pun akan tetap dikenal dengan sebutan si Burung Merak.
Sajak WS Rendra – Mengenal WS Rendra
Rendra lahir pada 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah. Nama orisinil dari penyair kebanggaan Indonesia ini ialah Willibrordus Surendra Bawana Rendra. Estetika sajak WS Rendra bahkan membuatnya dijuluki si Burung Merak.
Kecintaannya terhadap global seni sudah berlangsung cukup lama. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1967. Di Bengkel Teater itulah, sajak WS Rendra juga ikut “dilahirkan”. Perjalanan WS Rendra dalam global seni Indonesia berakhir pada 2009 lalu. Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009 lalu. Namun, sajak WS Rendra masih tetap hayati hingga kini.
Sajak WS Rendra tentunya diciptakan oleh Rendra. Penyair ini pada 10 November 2010 nan lalu mendapat anugerah Bintang Budaya dari pemerintah, menjadi sastrawan fenomenal sepanjang sejarah sastra Indonesia. Rendra meninggal global pada 6 Agustus 2009 pada usia 73 tahun.
Menurut Prof. A. Teeuw, dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, Rendra tak termasuk ke dalam salah satu angkatan, seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya, termasuk sajak WS Rendra terlihat bahwa Rendra mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Penyair Taufiq Ismail masih ingat sahih bagaimana perkembangan karya-karya Rendra sejak pertama kali muncul, bagaimana hebatnya sajak WS Rendra. Bahkan, ketika sama-sama membacakan puisi di Belanda, Rendra menjadi pembaca puisi terbaik di antara penyair internasional nan hadir saat itu.
Rendra, dikenal sebagai penulis puisi-puisi balada. Sajak WS Rendra berisi puisi nan bercerita tentang kepahlawanan seseorang, tokoh pujaan, atau orang-orang nan menjadi pusat perhatian. Salah satu puisi balada karya Rendra nan cukup populer ialah puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo. Berikut kutipan dari sajak WS Rendra nan cukup terkenal tersebut.
BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-
pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang
diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya nan malang
berpancaran kembang api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu nan maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka
- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia, kerna padanya seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang
- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa
Bedah perutnya tapi masih setan ia
Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam nan tiba
Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhnya Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapaknya
Dalam sajak WS Rendra tersebut tergambar jelas sebuah kisah pertumpahan darah antara ayah (Atmo Karpo) dan anaknya (Joko Pandan). Kisah ayah nan dibunuh oleh anaknya sendiri menjadi cerminan empiris kehidupan sesungguhnya. Sekarang ini, banyak peristiwa konkret nan sama dengan apa nan digambarkan Rendra dalam puisi tersebut.
Meskipun dikenal sebagai penulis puisi balada, Rendra pun tidak luput buat memotret peristiwa krusial nan melanda umat manusia. Salah satunya bala tsunami nan melanda Aceh, pada 26 Desember 2004. Peristiwa itu sangat menyentuh perasan Rendra.
Selain memakan korban jiwa nan sangat banyak, mencapai seratus ribu orang meninggal, peristiwa itu begitu menyesakkan dada ketika kerabat, sahabat, saudara, nan kemudian menjadi korban.
Sajak WS Rendra tentang peristiwa tsunami nan ditulis Rendra berikut ini dimuat di Harian Generik Republika, 14 Januari 2005.
DI MANA KAMU, DE’NA?
Akhirnya warta itu sampai kepada saya:
Gelombang Tsunami setinggi 23 meter
Melkamu rumahmu
Yang tersisa hanya puing-puing belaka
Di mana kamu, De’Na?
Sia-sia teleponku mencarimu
Bagaimana kamu, Aceh?
Di TV terlihat mayat-mayat
Bergelimpangan di jalan
Kota-kota dan desa-desa berantakan
Alam nan murka
Manusia-manusia nan terdera
Dan sengsara
Di mana kamu, De’Na?
Ketika tsunami melkamu rumahmu
Apakah kamu lagi bersenam pagi
Dan ibumu nan jkamu lagi membersihkan kamar mandi?
De’Na, kita tidak punya pilihan
Untuk hayati dan mati
Namun buat nan hidup
Kehilangan dan kematian
Selalu menimbulkan kesedihan
Kecuali kesedihan selalu ada pertanyaan
Kenapa itu terjadi
Dengan dampak nan menimpa kita?
Memang ada kedaulatan manusia, De’Na
Tetapi lebih dulu
Sudah ada kedaulatan alam
Dan kini kesedihanku nan dalam
Membentur daulan alam
Pertanyaanku tentang nasib ini
Merayap mengitari alam mistik nan sepi
De’Na! De’Na!
Kini kamu menjadi bagian misteri
Yang gelap dan sepi
Hidupku terasa rapuh
Oleh duka, amarah, dan rasa lumpuh
Tanpa kejernihan dalam kehidupan
Bagaimana manusia dapat berdamai
dengan kematian?
De’Na, hatiku menjerit pilu
Di mana kamu? Bagaimana kamu?
Yang tidak kutolak dalam bayangan,
Meski mataku terbuka atau terpejam
Adalah citra orang banyak berlarian
Dikejar gelombang 23 meter tingginya
Dan lalu gempa nan menenggelamkan
gedung-gedung tinggi
Membelah jalan raya
Menjadi jurang menganga
Ribuan manusia menjadi sampah
Dalam badai
Kedahsyatan daulat alam, De’Na!
Bukan sekadar kematian!
Inilah nan membuat saya gemetaran!
Tanpa menyadari ini
Apakah arti kebudayaan?
Apakah pula arti puisi?
Hidup dan segala usaha manusia
Barulah berarti dan nyata
Bila ia menyadari atas kemampuannya
De’Na,
Apakah sekarang kamu lagi tersenyum
Membaca sajakku semacam ini?
Radio Female, Ratu Plaza, Jakarta, 29 Desember 2004.
Puisi di atas ditulis setelah bala tsunami di Aceh.Dalam puisi tersebut tergambar jelas rasa pilu nan mendalam nan dirasakan penyair melihat bala Tsunami Aceh.
Sajak WS Rendra tetap menjadi kebanggaan bagi global sastra Indonesia. Kehadirannya membawa angin sejuk bagi pera penyair Indonesia.Karya-karyanya nan lebih banyak menyindir permasalahan sosial membuatnya menjadi seorang penyair nan berbeda. Masalah sosial nan terjadi di Indonesia sepertinya menjadi satu masalah nan menarik perhatian dari WS Rendra. Dengan caranya, WS Rendra menunjukkan rasa cintanya pada negeri ini.
Tak hanya pada dua contoh puisi tadi, masih banyak lagi sajak WS Rendra nan dapat dinikmati dan dihayati para penikmat sastra. Hasil karyanya tidak sporadis menginspirasi sekaligus memotivasi generasi muda pecinta sastra tanah air.