Teori Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran HAM Indonesia
Di dalam artikel ini, penulis akan mengupas tentang kelompok-kelompok nan rentan pelanggaran HAM Indonesia. Namun, sebelum menjelaskan permasalahan pelanggaran HAM Indonesia , penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu teori Hak Asasi Manusia. Tujuannya, agar dapat memahami konsep HAM dengan jelas dan dapat dengan mudah menilai jenis-jenis pelanggaran nan kerap terjadi.
Teori Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran HAM Indonesia
Hak-hak asasi manusia ialah hak-hak nan terdapat pada diri manusia dan sifatnya menujukkan tentang keberadaannya dan kodratnya sebagai makhluk kreasi nan Maha Kuasa. Karena itu, berhak dilindungi dan dihormati, mulai dari negara hingga pribadi masing-masing manusia. Artinya, seluruh nan berhubungan dengan negara dan segala apa nan berada di bawahnya berhak buat melindungi dan menghormati, misalnya pemerintah .
Maka tidak ayal lagi, nilai-nilai persamaan serta kebebasan juga keadilan nan termaktub dalam HAM menjadi penyebab terbentuknya masyarakat sederajat, tanpa dibedakan, dan itulah nan menjadi karakteristik civil society . Plus, bila dikatakan penegakan HAM merupakan prasyarat dalam menciptakan masyarakat nan madani.
Istilah HAM ialah suatu istilah nan tergolong baru dan menjadi bahasa sehari-hari sejak Perang Global II juga pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945. Istilah HAM muncul menggantikan istilah natural rights (hak-hak alam) sebab konsep hukum alam nan berkaitan dengan istilah natural rights menjadi suatu kontroversi. Frasa the rights of man nan kemudian muncul kemudian dianggap tak mencakup hak-hak wanita .
Todung Mulya Lubis dalam bukunya, In Search of Human Rights; Sah Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, menyebutkan ialah empat teori HAM.
1. Hak-Hak Alami (Natural Rights)
Dalam hal ini, berpandangan bahwa HAM ialah hal nan dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan loka berdasarkan takdirnya sebagai manusia ( Human rights are rights that belong to all human beings at all times and in all places by virtue of being born as human beings ).
2. Teori Positivis (Positivist Theory)
Teori ini berpandangan bahwa sebab hak harus tertuang dalam hukum nan riil, maka nan dipandang sebagai hak melalui adanya agunan konstitusi ( rights, then should be created and granted by constitution, laws and contracts ).
3. Teori Relativis Kultural (Cultural Relativist Theory)
Secara kasat mata, teori ini memang sedikit bertentangan dengan teori hak-hak alami atau nan biasa disebut dengan natural rights . Teori ini menilai bahwa hak bersifat generik tergolong pelanggaran antara satu kultural dengan kulturan lainnya. Ini juga nan kerap disebut dengan nama imperialisme kultural.
Yang menjadi titik fokus teori ini ialah pada manusia. Teori ini memandang bahwa manusia tidak pernah lepas dari hubungan sosial dan permasalahan budaya, baik itu nan sama ataupu nan mengalami disparitas tradisi budaya.
4. Doktrin Marxis
Doktrin ini menolak teori hak-hak alami sebab negara atau kolektivitas ialah sumber galian seluruh hak. Hak-hak mendapat pengakuan dari negara dan kolektivits. Dengan kata lain, “ all rights derive from the state, and are not naturally prosssed by human beings by virtue of having been born" .
Kelompok nan Rentan Mengalami Pelanggaran HAM
Di dalam buku Dimensi-dimensi HAM , disebutkan bahwa ada 6 kelompok nan kerap mengalami pelanggaran HAM Indonesia , yaitu sebagai berikut.
1. Anak-Anak
Anak-anak ialah kelompok primer nan kerap mengalami perlakuan tak baik dari sisi hak asasi manusianya. Padahal, anak juga manusia dan karenanya menghormati hak asasinya sama halnya dengan menghormati hak asasi manusia. Smith, di dalam buku Textbook on International Human Right , bahkan menguatkan bahwa secara sempurna, holistik instrumen HAM international justru berada pada “jantung” hak-hak anak. Sayangnya, fakta masih menunjukkan, anak termasuk sebagian dari kelompok nan rentan terjadinya kekerasan.
Kerentanan ini terjadi sebagai dampak kelompok anak-anak diklaim sebagai manusia nan “lemah”. Usia dan faktor kematangan psikologis dan mental membuatnya kerap kali terpinggirkan dalam pengembilan kebijakan. Bahkan, kebijakan menyangkut dirinya saja, komunitas anak teralienasi dan kepentingan terbesar terhadap dirinya.
2. Perempuan
Dalam pemberitaan, memang perempuan acapkali tergolong dalam kelompok nan selalu mengalami kekerasan. Ini jelas pelanggaran hak asasi manusia. Wanita seakan kelompok nan termarginalkan. Bayangkan saja, nan selalu mengalami kekerasan dalam rumah tangga ialah wanita. Bukan tak sedikit, wanita mengalami konduite kasar hingga luka-luka.
Bukan hanya dalam rumah tangga, dalam status mereka menjadi pembantu rumah tangga juga mengalami nasib nan sama. Hanya saja, terkadang pelanggaran nan dialami mereka tidak sampai atau bahkan tidak tertolong. Seakan-akan pemerintah hanya diam. Lihatlah kasus-kasus tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia nan di luar negeri. Mendapat penganiayaan, namun hanya beberapa orang nan ditolong pemerintah.
Dalam setiap kegiatan di lingkungan masyarakat, perempuan acapkali menjadi target ketidakadilan dalam hukum maupun dalam pergaulan sosial. Kondisi ini disebabkan bahkan diperburuk oleh adanya persepsi salah di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Meski karena dan akibatnya berbeda konteksnya antara setiap negara, diskiriminasi terhadap perempuan dirasakan terjadi secara masif.
Kondisi ini terus berlangsung sebab bertahannya stereotipe dan praktik-praktik kepercayaan agama dalam balutan budaya nan merugikan perempuan. Kendala primer mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan ialah melekatnya budaya patriaki dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Padahal, krusial buat dipahami bahwa hak asasi perempuan merupakan HAM.
3. Masyarakat Adat
Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tepatnya pada pasal 6 disebutkan, “Dalam rangka penegakan HAM, disparitas dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Bukti diri budaya masyarakat hukum adat , termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman."
Bila dikaji dari UU di atas, masyarakat adat di Indonesia diakui keberadaaannya secara hukum. Dukugan ini memperkuat keharusan negara, pemerintah, dan setiap rakyat buat melindungi mereka. Agunan undang-undang tersebut juga mengafirmasi sebuah kebijakan nasional nan benar-benar memosisikan eksistensi masyarakat adat sebagai bagian dari kehidupan nasional.
Penting dipahami bahwa mereka bukan “barang langka”, nan unik dan mesti dilestarikan, melainkan mereka ada dan hayati berkembang sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Karekateristik nan mereka miliki membuat domain kehidupan mereka rentan mengalami berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi dalam dinamika pertumbuhan pembangunan idealitas normatif acapkali berbeda secara diametral dengan empiris nan ada.
4. Pembela HAM
Pembela HAM juga bagian dari kelompok nan kerap mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Maraknya peristiwa kekerasan nan dialami para pembela HAM ialah resion d’etre keberpihakan global terhadap nasib dan masa depan mereka. Tidak jarang, para pembela HAM mendapatkan risiko kerja nan tinggi.
Perilaku nan kejam bahkan berakibat pada pembunuhan dan kematian. Perjuangan para pembela HAM pada hakikatnya ialah perjuangan kemanusiaan. Mereka berjuang dalam majemuk profesinya buat mendorong terciptanya iklim nan aman bagi upaya pemenuhan HAM universal.
5. Penyandang Cacat
Setiap orang sepakat, bahwa penyandang stigma juga manusia. Maka dari itu, mereka juga memiliki hak persis seperti manusia secara umum. Masyarakat internasional pun juga sudah menjustifikasi bahwa adanya konservasi HAM terhadap para penyandang cacat.
6. Pengungsi
Dalam keputusan Presiden RI Nomor 40 Tahun 2004 tentang Planning Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009, menjelaskan bahwa pengungsi internal, baik nan disebabkan oleh bala maupun konflik, termasuk dalam kategori kelompok nan rentan pelanggaran HAM. Kerentanan pengungsi lebih dikarenakan empiris bahwa mereka berada dalam kondisi ketidakpastian. Karena loka tinggal nan berubah-ubah dengan kondisi nan memperihatinkan, konservasi dan pemenuhan HAM dipastikan terabaikan.
Potret pengungsi masih menggambarkan keprihatinan. Kehidupan di penampungan nan terbatas dengan sumber daya membuat mereka berada dalam ketidakpastian konservasi dan pemenuhan HAM. Belum lagi, berbagai perlakuan diskriminatif acapkali dirasakan. Anak-anak, perempuan, lanjut usia, dan penyandang stigma ialah mereka nan dipastikan sulit memperoleh akses dan pelayanan nan baik. keterbatasan hayati dengan suasana nan tak menentu membuat pengungsi menjadi kelompok nan patut diperhatikan dengan baik.
Inilah kajian sederhana tentang kelompok-kelompok nan rentan mengalami pelanggaran HAM Indonesia. Semoga bermanfaat bagi sobat Ahira.