Hugh Hefner, Bos Majalah Playboy
Tahukah Anda dengan Hugh Hefner? Sepertinya tak semua orang (termasuk Anda) mengenal lelaki sepuh berusia 85 tahun itu. Tapi, jika ditanya tahukah Anda dengan majalah Playboy nan dibidani oleh Hugh Hefner? Majalah lelaki dewasa nan sudah mendunia ini memiliki "cabang-cabang" di berbagai negara, termasuk Indonesia, nan syahdan disesuaikan dengan budaya negara masing-masing. Banyak nan berdalih tentang hak kebebasan berpendapat buat mengesahkan keberadaan Playboy secara resmi di Indonesia.
Banyak pula nan menyebutkan bahwa toh bos Playboy, Hugh Hefner, sangat sering membantu orang tak mampu atau mereka nan bergelut dengan penyakit kronis. Artinya, uang Playboy dapat digunakan buat kebaikan. Sementara itu, nan tak suka dengan Playboy tak kalah sengit membantah. Ada nan berkata bahwa Playboy mempunyai aib begitu besar sebab Hugh Hefner dengan mansion model-modelnya ternyata seperti menciptakan harem.
Belum lagi, masalah budaya Timur nan bertentangan sama sekali dengan pameran tubuh ala model-model Playboy. Kalau ada budaya Indonesia nan perempuannya memakai baju adat nan terlihat memamerkan tubuh, tujuannya bukan buat pemuasan hasrat lelaki seperti dalam Playboy.
Perempuan sebagai Komoditas
Mengapa Playboy (dan rekanannya; majalah dengan tonjolan perempuan berpakaian minim; entah dari luar negeri atau malah dari dalam negeri) layak diberi rapor merah? Pada dasarnya, Playboy melecehkan perempuan. Apapun alasannya, entah sebab keindahan atau murni demi uang, Playboy menjadikan modelnya sebagai komoditas; perempuan sebagai barang dagangan.
Yang lebih buruk, barang dagangan itu tak dilihat dari seberapa cerdasnya model atau seberapa baiknya hati model tersebut. Evaluasi melulu hanya sebab estetika bentuk tubuh -sekaligus menafikan kemampuan model di bidang lain selain tubuhnya. Bahkan, seolah sudah ada cacat bahwa model Playboy ialah model nan dapat dibeginikan atau dibegitukan. Memang, cacat tersebut tak sepenuhnya benar. Namun, cacat inilah nan kelak akan menjerumuskan model tersebut sehingga pekerjaannya hanya berkisar di tempat-tempat nan sama dengan Playboy.
Playboy, Emansipasi, Feminisme, Agama
Jika dibandingkan dengan emansipasi wanita atau nan lebih ekstrem feminisme (walaupun ada feminis nan justru menyatakan Playboy menunjukkan bahwa lelaki tunduk pada wanita sebab begitu mudah mereka membeli majalah tentang kemolekan tubuh perempuan), jelas tindakan Playboy dan majalah lainnya ialah langkah mundur.
Perempuan diposisikan berada di bawah dan selamanya berfungsi sebagai pemuas kebutuhan pria. Bahkan, posisi perempuan ini lebih rendah daripada bayangan masyarakat tentang perempuan nan ideal. Karena Indonesia berbasis agama dan agama mana pun tak ada nan merendahkan perempuan, bahkan meninggikannya, tentu Playboy bertentangan dengan prinsip ini.
Kalau kita menolak sebuah ormas sebab mereka suka bertindak anarkis dan bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tentu aneh kalau kita memuja majalah nan tindakannya lebih anarkis, melecehkan perempuan.