Mengenal Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Al-Quran merupakan kitab kudus nan dimiliki oleh umat Islam. Al-Quran terdiri atas 114 surat. Setiap surat memiliki jumlah ayat nan berbeda. Ayat Al-Quran nan terbanyak dimiliki oleh Surat Al-Baqarah (terdiri atas 286 ayat). Sedangkan, nan paling sedikit dimiliki oleh Surat Al-Kautsar (terdiri atas 3 ayat).
Pembagian Ayat Al-Quran
Ayat Al-Quran dibagi menjadi dua berdasarkan loka wahyu diturunkan. Ayat-ayat nan diturunkan di Mekah disebut sebagai ayat-ayat Makkiyah. Sedangkan, ayat-ayat nan turun di Madinah biasa disebut sebagai ayat-ayat Madaniyah.
Baik ayat Makiyyah maupun Madaniyah dapat berhimpun dalam satu surat. Sebab, tak semua surat dalam Al-Quran diturunkan di Madinah atau Mekah saja.
Namun demikian, jenis sebuah surat biasanya digeneralisasi dengan melihat jumlah ayat–berdasarkan loka penurunan--yang jumlahnya dominan. Surat Az-Zumar misalnya, disebut sebagai surat Makkiyah walaupun beberapa ayatnya (ayat 52, 53, 54) diturunkan di Madinah.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril sedikit demi sedikit selama lebih dari 20 tahun; kira-kira sepuluh tahun sebelum hijrah dan sepuluh tahun sesudah hijrah. Ayat Al-Quran nan pertama kali diturunkan ada dalam surat 96 ayat 1-5.
Dalam tafsir “Mafaatihul Ghaib” nan ditulis oleh Fakhruddin Ar-Razi ditegaskan bahwa di bulan Ramadhan dua kali al-Qur’an diturunkan. Pertama, diturunkan sekaligus dari lauhil mahfudz ke “ bait al-izzah ” langit dunia. Kedua, diturunkan secara berangsung-angsur dari Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. juga terhadi dibulan Ramadhan. Artinya, keduanya terjadi di bulan Ramadhan.
Dan, setiap bulan Ramadhan, Rasulullah Saw. selalu mengulangi bacaan ayat-ayat Al-Quran nan sudah diterimanya di hadapan Jibril. Pada bulan Ramadhan nan terakhir, sebelum meninggal, Malaikat Jibril mendengarkan beliau membaca hafalannya hingga dua kali.
Penyusunan Ayat Al-Quran
Setiap ayat Al-Quran diturunkan, Rasulullah memanggil sahabat-sahabat nan terpelajar buat menuliskan ayat-ayat nan didiktekannya. Setelah itu, beliau meminta kepada juru tulisnya buat membaca kembali apa nan telah ditulisnya buat menghindari kesalahan-kesalahan dalam penulisan.
Para sahabat menuliskan Al-Quran dengan media kulit, kayu, tulang unta, batu tatahan, dan lain-lainnya, agar Al-Quran bisa tersimpan dengan baik.Namun, selain itu, Rasulullah juga menganjurkan kaum muslimin buat menghafalkannya dan dibaca dalam waktu-waktu shalat mereka.
Para penghafal Al-Quran ini dikenal dengan hafidzun . Mereka menghafal seluruh ayat Al-Quran dan mengajarkannya kepada sahabat yag lain.Ternyata, metode ganda buat memelihara ayat-ayat Al-Quran ini, yakni dengan mencatat dan menghafal, sangat bermanfaat di kemudian hari setelah Rasulullah wafat.
Tak lama setelah beliau wafat, khalifah penggantinya, yakni Abu Bakar, memerintahkan juru tulis Rasulullah, Zaid bin Tsabit, buat menyusun sebuah naskah Al-Quran. Hal ini berlanjut pada pemerintahan khalifah nan kedua, Umar bin Khattab.
Beliau berinisiatif memerintahkan Zaid buat mengumpulkan kembali ayat-ayat Al-Quran, baik nan berasal dari catatan para sahabat maupun kesaksian para penghafal buat menghindari kesalahan transkripsi.
Setelah semuanya terkumpul, disusunlah sebuah mushaf nan tepercaya. Mushaf tersebut kemudian disimpan oleh khalifah Umar. Beliau berpesan, jika kelak meninggal, mushaf itu hendaklah diberikan kepada putrinya, Hafshah, janda Rasulullah, ummul mukminin .
Al-Quran nan telah menjadi sebuah mushaf seperti nan kita kenal saat ini ialah hasil dari penyusunan pada zaman khalifah nan ketiga, Utsman bin Affan. Utsman membentuk panitia spesifik penyusunan mushaf. Panitia memeriksa kembali naskah nan sudah disusun oleh Abu Bakar dan Umar dengan lebih teliti dan ketat melalui persetujuan ahli-ahli dan saksi-saksi.
Demikianlah cara-cara nan dilakukan sampai mushaf nan ada dalam genggaman kita saat ini. Sehingga, tidak perlu ada keraguan lagi dalam hati kita mengenai kesucian isinya.
Mengenal Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat muhkan dan ayat mutasyabihat. Keduanya kerap menjadi bahan kontroversial nan sepertinya selalu menjadi bahan kajian dalam disiplin ilmu tafsir. Di dalam kitab al-Itqan fi ulumil Qur’an , Imam As-Suyuti menjelaskan ada tujuh disparitas ayat muhkam dengan ayat mutasabih. Dengan memahami perbedaanya akan menjadi paham pengertian ayat muhkam dan ayat mutasabih.
- Ayat Muhkam ialah ayat nan jelas maknanya, sedangkan ayat mutasabihat ialah kebalikannya
- Ayat muhkam ialah ayat nan tak mengandung takwil, sedangkan ayat mutasabihat mengandung takwil sehingga banyak paras dalam penafsirannya
- Ayat muhkam ialah ayat nan bisa dengan mudah dipahami oleh akal, sedangkan ayat mutasabih ialah ayat kebalikannya.
- Ayat muhkam berisi tentang fardhu, janji dan ancaman, sedangkan ayat mutasabih berisi tentang kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan
- Ayat muhkam umumnya menceritakan tentang halal dan haram sedangkan ayat mutasabih berisi tentang kisah atau hal nan satu dengan nan lainnya saling membenarkan.
Contoh Ayat Muhkam dan Ayat Mutasabih
Sejatinya, di dalam al-Qur’an cukup banyak ayat al-Quran nan menjelaskan tentang ayat muhkam. Alasanya, sebab ayat muhkam ialah Ummul kitab. Misalnya adalah, firman Allah Swt., “Dan tak ada sesuatupun nan serupa dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 4) atau firman-Nya, “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa nan bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan nan benar.” (QS. Thaha: 82)
Di dalam al-Qur’an banyak juga terdapat ayat-ayat mutasabihat. Seperti ayat al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa.” Ayat ini tergolong ayat mutasabihat lantaran membutuhkan klarifikasi ayat, “Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa nan bertaubat, beriman, beramal saleh, kemduain tetap dijelasan nan benar.” (QS. Thaha: 82) dan ayat “Sesungguhnya Allah tak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa nan selain dari (syirik) itu, bagi siapa nan dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa: 48)
Selain itu, nan termasuk dalam ketegori ayat mutasabihat juga ialah ayat-ayat nan terdiri dari huruf-huruf hijaiyyah dan selalu terdapat di awal surat, seperti Ali Lam Miim. Selain itu, ayat-ayat al-Qur’an berikut ini:
- “Ar-Rahman bersemayatam di atas ‘Arasy” (QS. Thaha: 5)
- “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya.” (QS. Al-Qashash: 88)
- “ Tangan Allah di atas tangan mereka.” (QS. Al-Fath: 10)
- “Dan datanglah Tuhanmu.” (QS. Al-Fajr: 22)
- “Dan Allah memarahi mereka.” (QS. Al-Fath: 6)
Ayat-ayat tersebut diklaim sebagai ayat-ayat mutasabihat lantaran tak tahu apa sebenarnya nan dimaksud dengan bersemayam, wajah-Nya, tangan-Nya, bentuk kedatangan-Nya dan bagaimana marah-Nya.
Dalam menyikapi ayat ini, para ulama salaf lebih suka menyerahkan maksudnya kepada Allah Swt. Artinya, mereka tak berani menafikannya. Sedangkan ulama khalaf berani menafsirkannya agar umat tak tersesat dari menyamakan Allah dengan mahluk. Maksdunya ialah baik, buat mensucikan Allah dari kecenderungan dengan mahluk.
Hikmah Adanya Ayat Muhkam dan Mutasyabihat
Allah Swt menghadirkan ayat muhkam dengan ayat mutasyabihat tujuannya ialah buat menjadikan manusia menggunakan pikirannya. Sehingga tampak jelas antara disparitas manusia dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dan disparitas antara manusia dengan malaikat.
Kemampuan berpikir manusia mesti digunakannya buat mensucikan Allah dari kecenderungan dengan mahluk. Dengan ini, akan menjadi paham nantinya bahwa Allah tak mungkin sama dengan mahluk.
Allah hadirkan ayat muhkam sebagai penjelas tentang hukum-hukum nan berkaitan dengan manusia. Dan Allah hadirkan ayat mutasabihat sebagai pensuci pikiran manusia dari menyamakan Allah dengan mahluk.
DI sinilah, letak keistimewaan al-Qur’an. Ia hadir sebagai penjelas tentang kebenaran yaitu hukum-hukum nan ditetapkan Allah. Al-Qur’an dihadirkan Allah juga sebagai pembeda antara nan sahih dan nan salah. Yang sahih adalah, Allah tak sama dengan mahluk. Allah sangat berbeda dengan mahluk. Dan nan salah adalah, ketika manusia menafsirkan Allah seperti hal manusia. Jelas, ini ialah keliru.
Makanya, kehadiran ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat di dalam al-Qur’an ialah sebagai pemberdayaan karunia dan potensi nan dimiliki manusia. Tujuannya adalah, agar manusia bisa melejitkan potensi nan dimilikinya hingga batas maksimal dan agar tak malas berpikir tentang ke-Mahaagungan Allah Swt.
Dengan akal, manusia sudah niscaya dapat membedakan antara Allah dengan mahluknya. Sungguh inilah kelebihan manusia nan dapat digunakannya saat membaca al-Qur’an. Dengan memahami ayat muhkam dan ayat mutasabih, ketika membaca al-Qur’an akan menjadi lebih teresapi.
Sehingga ayat demi ayat nan dibaca pun akan memiliki makna nan luar biasa. Ayat nan dapat menggetarkan diri sehingga mampu memahami bahwa diri ini lemah dan tidak berdaya. Akhirnya pun menjadi paham, bahwa kita ialah hamba Allah nan lemah dan tidak memiliki kekuatan apa pun. Semoga artikel ini bermanfaat buat para sobat Ahira.