Mentari atau Matahari buat Bidang Politik?
Mari mengolah kata, seperti kata mentari dan matahari. Permainan kata mentari dan matahari akan melembutkan jiwa. Permainan kata ialah kemahiran nan harus dimiliki oleh seorang penulis. Pemilihan kata nan tepat dapat mempengaruhi psikologis pembaca. Bagi para penulis, pemilihan kata ini akan membuat pembaca seolah benar-benar merasakan, melihat, mendengar, melakukan hal nan ada dalam bacaan nan sedang dibacanya.
Pemilihan kata juga akan membuat perubahan emosi pembaca. Misalnya, bacaan nan menggambarkan romantisme dapat membuat pembaca meneteskan air mata dan bahkan tergerak buat melakukan sesuatu nan sama dengan apa nan digambarkan oleh penulis. Begitupun dengan bacaan nan mempunyai sisi negatif seperti pornografi.
Kekuatan pemilihan kata nan dimiliki oleh seorang penulis bukanlah didapatkan dari sejak lahir. Tapi kemampuan itu diraih dengan sering mengamati dan merasakan apa nan ada di sekeliling sang penulis itu sendiri, seperti membandingkan kata mentari dan matahari . Dua kata nan mengacu pada satu benda ini akan terasa berbeda ketika diberi tambahan kata lain dan diletakkan pada konteks nan berbeda.
Mentari Lawan Matahari
Coba rasakan disparitas dua frase berikut, yaitu "Badai Matahari" dan "Badai Mentari". Matahari nan tergambar sebagai bintang besar penerang global nan tidak pernah wafat atau padam itu terasa begitu gagah. Sedangkan mentari nan juga menggambarkan matahari terasa lebih lembut dan romantis.
Jadi bila kata ‘matahari’ dikaitkan dengan kata ‘badai’ nan menggambarkan sesuatu nan sangat dahsyat, sepertinya lebih tepat. Sedangkan kata ‘mentari’ terasa kurang menggigit kalau dikaitkan dengan kata ‘badai’. Kata ‘mentari’ seolah menjadi penggambaran sisi femininitas kata ‘matahari’ nan terkadang dipakai buat menggambarkan kegarangan.
Misalnya dalam kalimat, “ Garang sinar matahari siang itu terpaksa membuatku membatalkan puasa. Betapa tenggorokanku terasa sangat perih dan tubuhku lunglai .” Coba ganti kata ‘matahari’ di kalimat itu dengan kata ‘mentari’. “ Garang sinar mentari siang itu terpaksa membutaku membatalkan puasa .... ”
Bagaimana perasaan Anda ketika membandingkan dua kalimat tersebut? Frase ‘sinar mentari siang itu’ terasa kurang menggigit sebab konteks cerita lebih seolah menyalahkan kegarangan sinar nan membuat puasa batal. Bagaimana dengan konteks kalimat berikut? Kata mana nan lebih tepat, ‘matahari’ atau ‘mentari’?
‘ Perhatiannya, kelembutan kasihnya bagai cahaya mentari pagi nan membuat embun perlahan menetes ’ atau ‘ Perhatiannya, kelembutan kasihnya bagai cahaya Matahari pagi nan membuat embun perlahan menetes ’.
Konteks kalimat nan menyiratkan kelembutan dan kenyamanan tersebut akan lebih pas digambarkan dengan frase ‘cahaya mentari’ daripada ‘cahaya Matahari’. Kata ‘mentari’ seolah menjadikan kata ‘matahari’ menampilkan sisi lain dari kegarangan sifat dasar nan dimiliki oleh matahari sebagai bintang penghasil cahaya bagi seluruh jagat raya.
Dalam lagu Agnes Monica nan berjudul Matahariku , tergambar bagaimana seorang Agnes Monica menggambarkan sosok laki-laki nan begitu lembut mencintai seorang wanita. Kata ‘matahari’ dalam lagu tersebut sangat tepat buat menggambarkan sosok seorang laki-laki nan begitu didamba oleh wanita –gagah, jantan, penuh cinta dan lembut.
Coba kata ‘matahari’ di lagu tersebut diganti dengan kata ‘mentari’. Tentunya penggambaran sosok nan gagah, jantan, penuh cinta, dan lembut, terasa kurang mengena. Kata ‘mentari’ seolah menjadikan sosok laki-laki nan digambarkan memiliki kegagahan, kejantanan, dan kelembutan cinta, seolah tergambar lebih dari sisi femininitas nan kewanitaan.
Salah satu lagu kreasi W.R Supratman nan berjudul Di Timur Matahari , pastilah lucu kalau judul tersebut diganti dengan Di Timur Mentari . Mengapa W.R. Supratman memilih kata ‘matahari’ dan bukan kata ‘mentari’? Tentunya sebab lirik lagu tersebut menggambarkan bintang besar itu sebagai benda nan sebenarnya. Kata ‘mentari’ kurang pas buat makna denotasi seperti itu.
Bagaimana kalau penggambaran seorang ibu. “ Ibu, engkau bagai mentari hidupku” atau “Ibu, engkau bagai matahari hidupku .” Kalimat nan mana nan terasa lebih pas digabungkan dengan kata ‘ibu’? Tentunya kata ‘mentari’ lebih lekat kepada kata ‘ibu’ daripada kata ‘matahari’. Sosok ibu nan lembut memberikan kenyamanan dan kasih nan tidak terhingga, lebih tepat digambarkan ‘bagai mentari nan selalu bersinar menerangi bumi tanpa lelah’.
Pemilihan kata ‘mentari’ atau ‘matahari’ tersebut dapat menjadi topik bahasan nan tiada habisnya. Pengertian nan terkadung dalam kata ‘ mentari ’ dan kata ‘matahari’ itu seolah membuat batin dan pikiran penulis bergentayangan ke rana nan tidak terungkapkan. Sifat dan karakter nan inheren pada matahari membuat orang menggali dan terus menggali makna dalam mengaitkan kedua kata tersebut ke dalam topik dan konteks kisah nan beragam.
Mentari atau Matahari?
Dalam global bisnis, masyarakat Indonesia mengenal produk Mentari nan merupakan jaring bisnis Telkomsel. Kalau saja nama produk tersebut ‘Matahari’ tentunya orang akan mengaitkan produk tersebut ke nama salah satu departement store nan sudah lebih dahulu dikenal.
Kata ‘mentari’ dalam produk Telkomsel itu mungkin tak terlalu membuat disparitas rasa selain hanya sebab kata ‘matahari’ telah menjadi gambaran sebuah nama toko nan sudah sangat inheren di hati rakyat Indonesia.
Tapi coba bayangkan seorang anak wanita diberi nama ‘Matahari’ dan seorang anak laki-laki diberi nama ‘Mentari’. Pastilah ada sesuatu nan terkesan agak janggal. Walaupun sebenarnya penamaan tersebut sinkron dengan do’a dan asa orang tua si anak dan tak ada patokan dan hukum bahwa seorang anak wanita harus diberi nama ‘mentari’ dan seorang anak laki-laki harus diberi nama ‘matahari’.
Seorang agen misteri nan terkenal dengan keberanian dan kecantikannya dijuluki ‘Matahari’. Itu pun tak masalah. Namun memang sedikit kurang pas. Seperti misalnya seorang gadis dipanggil ‘Heri’ dan seorang pemuda dipanggil ‘Risa’. Pada awalnya tentu menimbulkan kegelian dan komentar nan lucu.
Tapi seiring dengan bergulirnya waktu, para sahabat kedua orang tersebut akan terbiasa memanggil dengan sebutan ‘Mbak Heri’ dan “Mas Risa’ dan tak tergoda buat memanggil mereka dengan ‘Mas Heri’ atau ‘Mbak Risa’.
Pengolahan kata dan pemilihan kata seperti ‘mentari’ dan ‘matahari’ ini memang harus menemukan konteks nan pas agar terasa mengena pada apa nan dimaksudkan oleh penulis. Dari kedua kata tersebut saja, bisa hadir majemuk ide dan inspirasi penulisan nan akan membuat kaya khasanah global kata.
Selain itu, kedua kata ini juga memiliki loka nan berbeda dalam khasanah keilmuan. Contohnya, para pakar nan sedang membahas tentang adanya inovasi planet baru, tentunya tak akan menggunakan kata ‘mentari’ pada saat mereka menyebut ‘matahari’ sebagai pusat tata surya di mana para planet dengan orbit masing-masing mengelilingi Matahari pada waktu nan tertentu.
Kata ‘mentari’ tentu tak laku pada pembahasan nan menyangkut bidang astronomi tersebut. Dapat dikatakan kalau kata ‘matahari’ lebih jamak dan lebih generik serta lebih banyak dipakai daripada kata ‘mentari’ nan mempunyai konotasi atau arti figuratif nan lebih sedikit dibandingkan dengan kata ‘matahari’. Secara keilmuan kata ‘matahari’ memang lebih banyak dipakai daripada kata ‘mentari’.
Mentari atau Matahari buat Bidang Politik?
Politik nan digambarkan dengan intrik-intrik dan kadang kepalsuan itu ternyata lebih memilih kata ‘matahari’ daripada kata ‘mentari’. Lihatlah lambang Partai Amanat Nasional dengan Matahari birunya dan bukan dengan Mentari birunya.
Kata ‘matahari’ tentunya terkesan lebih gagah daripada kata ‘mentari.’ Kesan gagah tentunya sangat dibutuhkan oleh sebuah partai politik nan ingin memenangkan sebuah pemilu. Apalagi ketika ada kader partainya nan akan dicalonkan sebagai seorang Presiden, seperti kader Partai Amanat Nasional. Majunya Hatta Rajasa sebagai calon Presiden niscaya membuat PAN menampilkan gambaran nan gagah tapi tetap penuh kelembutan dan pengayoman.