Tentara - Filosofi Valhalla
Seberapa hebat nilai tentara di mata suatu negara? Apakah tentara nan sangat hebat, bersenjata paling canggih dan lengkap, memiliki keahlian super cakap dalam melaksanakan tugasnya, kuat di medan tempur, andal di segala situasi dan kondisi, mampu disiplin dan tertib melaksanakan perintah tanpa banyak tanya lagi? Itulah tentara. Namun apakah itu tentara nan hebat? Benar, barangkali tentang nan hebat, good only . Namun bukan tentara pejuang sejati.
The Age of Army , begitulah sejarawan menyebut masa nan berlangsung antara abad ke 6 M sampai abad 20. Masa-masa di mana tentara berkeliaran di jalan gang sempit dan orang-orang menganggap wajar. Masa-masa di mana setiap keluarga setidaknya memiliki satu anak laki-laki nan ikut menjadi tentara. Masa di mana suatu negara dapat jadi seluruhnya enlist buat jadi tentara, dan ketika tua di disband buat berkerja di ladang, sebab power nya masih cukup buat sekadar menandur dan menebangi hutan buat dijadikan huma baru.
Keberadaan tentara merupakan hal dominan bagi suatu negara. Kebanggaan suatu bangsa sebab tentaranya. Bahkan Raja Canute dari Denmark nan berkuasa semenjak tahun 1015 di Inggris, menggambarkan bahwa kerajaannya tak memiliki arti jika tidak punya tentara.
Uniknya, di antara seluruh raja nan pernah lahir dari 14 abad berlangsung itu, tak ada nan seperti Canute. Dia tak pernah menggerakkan tentaranya nan megah dan hebat buat menyerang negara orang, walau dia mau. Jika dia mau pun, seluruh global dapat dikuasai oleh tentaranya nan terdiri dari orang-orang Viking nan skill berkelahinya pada masa itu tanpa tanding.
Huscarles, Jomsviking, Bersekrs, dan puluhan unit bahari dari kapal Viking nan tangguh. Bahkan merekalah nan menemukan benua Amerika jauh sebelum koar bohongnya Colombus.
Filosofis Canute tentang Tentara
Bagi Canute, tentara bukanlah sesuatu benda nan harus digunakan para pemimpin, jenderal, atau raja. Namun, keberadaanya harus mengintimidasi. Canute merupakan raja Kristen nan paling puritan dari dinasti raja-raja Viking. Walau jiwanya warrior, namun kepatuhannya terbagi kepada konsep damai Kristen. Dia tak ingin tentara nan bergerak menyelesaikan kerja, tapi para mata-mata dan negosiasi. Tentara dia besarkan hanya buat sebagai alat diplomasinya menuju penaklukan dan kekuasaan.
Alasan besar di balik penaklukkannya ialah memastikan tak ada satu kerajaan pun nan berperang dan mengorbankan rakyat tidak berdosa. Karena lumrah di masa itu, di mana tentara nan berperang turut pula membunuh, membantai, memperkosa wilayah nan mereka jajah, dikarenakan menyesuaikan diri dengan suplai makanan.
Maka Canute lantas memperkuat tentaranya buat di pamer saja, sementara nan berkerja ialah mata-mata, membunuhi dan meracun para raja nan tak mau tunduk. 10 tahun Denmark berperang dengan Inggris secara tradisional melempar tentara ke medan laga, tanpa kekuasaan total. Dengan cara Canute, kekuasaan atas Inggris total dia peroleh dalam waktu 3 tahun saja.
Filosofis Canute tentang tentara ialah nan paling menarik dan kembali digunakan oleh pemikir-pemikir perang di masa perang global kedua. Yang paling tertarik ialah Amerika Serikat, negerinya orang Inggris nan lama mendendam pada kisah pilu perang.
Setelah Hiroshima dan Nagasaki di luluhlantakkan oleh bom atom, Amerika Perkumpulan lantas membangkucadangkan tentara, mereduksi jumlahnya, dan barangkali buat selamanya tak pernah lagi terjadi mobilisasi umum, sebab mereka memiliki alat intimidasi nan hebat pada dominasi teknologi nuklir, nan tak perlu mengorbankan tentara atau bahkan rakyat. Penguasaan dimantrai dari konsep ekonomi.
Filosofi Zhuge Liang tentang Tentara
Berbeda dengan Zhuge Liang dari Samkok, kisah tiga negara di masa dinasti jin, baginya tentara ialah jenderal nan cakap dan jenderal nan bodoh. Jenderal cakap tak perlu mengorbankan semua divisi tentara, melainkan dapat dengan segera menghabisi para jenderal di medan laga dan menjadikan tentara nan ada tanpa pemimpin tanpa kepala.
Filosofinya klasik, Jenderal harus nan terbaik, baik secara kemampuan individual maupun kecerdasan. Oleh karenanya, dia memilih Liu Bei nan dikelilingi oleh jenderal bawahan nan cakap. Chao Yu, Chang Fei, dan tentu saja Guan Yu. Tentara Lieu Bei tidaklah banyak, tak sebanyak tentara Chao Chao, dan tak setaktis tentara Sun Quan, namun jenderalnya terbaik dan itu cukup.
Filosofi tentara ialah jenderal mengikuti pakem lama tentang keberadaan orang cerdik nan mampu mengorganisir para tentara di medan laga. Kisahnya dapat ditelusuri sejak Odisius, sang raja mungil, dengan licik dia membuat konsep Kuda Troya, lantas mampu menaklukkan kota benteng itu dengan ratusan ribu tentara Yunani nan tadinya kewalahan.
Lalu bermunculanlah orang cerdas dengan pangkat, walau tanpa kekuatan fisik nan baik namun memiliki pengetahuan medan perang nan brilian. Mereka di antaranya ialah Napoleon Bonaparte, lalu seterunya Wellington, di perang global kedua dikenal Erich von Manstein, Gerd Von Runstedt, Zhukov, Yamamoto, McArthur, dan tentu saja Patton.
Kebanyakan jenderal itu jadi something setelah berusia senja. Mereka memenangkan perang ketika usianya menginjak kepala lima dan fisiknya hanya berkeliaran dari loka tidur dan ruang rapat. Sehingga dikenal pepatah " Old Soldier Never Dies ", dengan tambahan frasa, " they still got their brain ."
Tentara - Filosofi Valhalla
Dalam pelatihan hebat, terdapat tentara nan kuat. Begitulah kiranya ketika tentara ialah benda nan di-dril buat jadi hebat, jadi konsisten dan semakin efektif. Riwayat para tentara dapat menjadi hebat ini, dikarenakan memang ada tentara nan benar-benar hebat di medan laga. Kemampuannya setara 10, 100, bahkan 1000 orang. Dalam artian, pada hand in hand combat , mereka mampu membunuh sekian banyak manusia sekali terjang.
Pada tentara macam ini disematkan istilah, Natural Born Killer . Terlahir buat membunuh, terlahir buat menghabisi nyawa orang lain, dan jumlah manusia macam ini tidaklah sedikit, walau di antara mereka di masa damai, dapat jadi tukang siomay, kondektur, supir, atau bahkan waria nan mangkal dipinggir jalan.
Mereka bukan manusia sipil, melainkan murni combatan nan begitu tenang di medan laga. Melihat desingan peluru bagai melihat bunga api, sabetan pedang di depan mata dan dia tak berkedip, luka parah dianggap luka selewatan, kalau wafat terlihat tertawa, benar-benar psikopat.
Dalam filosofi orang Runic, orang Nordic dari utara Eropa, mereka ini pengikutnya Thor, dewa perang. Mereka mengikuti jalan prajurit dan mereka berperang bahkan mencarinya agar dapat masuk ke Valhalla, surga nan dikhususkan buat para tentara.
Kisah semacam Valhalla ini bukan kisah nan kejam, walau manusia menjadi kejam karenanya. Karena dalam konstruk sosial di masa itu, menjadi tentara pemberani tak terelakan. Jika Anda tak menjadi tentara pemberani, maka Anda sekeluarga wafat di- subdue (dijajah) oleh bangsa asing.
Dalam kisah ajaran Islam pun dijelaskan, bahwa ada surga spesifik buat prajurit dan pejuang, mereka nan wafat di medan laga. Namun peperangan dalam Islam atau jihad diperkenankan demi hal-hal nan sangat strict dan pragmatis, melawan penjajahan dan kezaliman suatu bangsa nan sudah sampai tingkat menganggu jiwa dan menghilangkan nyawa suatu bangsa nan di- subdue . Jika di luar alasan itu, maka konsep Jihad tertolak dengan sendirinya.
Konsep jalan kesatria ini juga terdapat dalam spirit bushido orang Jepang. Sementara itu, kaitannya dengan jenis tentara nan di-dril, dapat sehebat pejuang nan murni natural born killer .
Hitler mempercayainya dan dia salah. Tidak semua orang berbakat jadi serigala dan dilatih apa pun orang tak akan menjadi kejam seterusnya, kecuali hilang ingatan. Yang terjadi malah sebaliknya, mereka nan natural born killer , lama kelamaan menjadi damai dan tak memiliki keinginan menyakiti orang lain. Untuk apa?
Karena itulah aku lebih melihat dari seluruh konsep prajurit di atas. Yang semodel Raja Canute itu nan menarik. Perbanyak tentara tapi gunakan sebagai kekuatan intimidasi, jangan pernah digunakan sekali pun. Itulah Jenderal sejati, itulah raja sejati, itulah tentara sejati. Menyelesaikan masalah dengan damai tanpa pertumpahan darah.