Bentuk Perlawanan dalam Talak Tilu
Lagu sunda memang begitu familiar di telinga orang Sunda. Lagu sunda ialah lagu favorit bagi pencinta budaya Tatar Sunda. Lagu sunda memberikan kesan tersendiri, sangat khas dan melegenda. Kekhasan lagu sunda tentu saja terletak pada bahasanya. Namun, karakteristik khas lainnya terletak pada alat musik nan digunakan. Terutama, kendang, goong, dan suling.
Fenomena Talak Tilu
Sebagai pencinta lagu sunda, Anda niscaya sudah begitu mengenal lagu Talak Tilu nan dinyanyikan oleh seorang sinden bernama Bungsu Bandung. Talak Tilu nan berirama sedikit cepat ini memang begitu populer. Tidak hanya dikenal oleh orang Sunda, bahkan beberapa kalangan masyarakat di luar Pasundan. Karena kepopulerannya, lagu ini pun dibuat versi Indonesianya.
Talak Tilu merupakan sebuah lagu bergenre jaipong-dangdut. Tak heran jika lagu ini begitu diminati dan enak dijadikan musik pengiring goyang. Kombinasi jaipong-dangdut semakin komplit dengan lantunan suara khas melengking penyanyinya. Ya. Bungsu Bandung memang terkenal memiliki suara ngajelengeng (bahasa Sunda). Artinya hampir sama dengan ‘cempreng’.
Profil Bungsu Bandung
Sekilas, mungkin terdapat keanehan pada nama penyanyi satu ini. Namun, itulah karakteristik khas sinden nan identik dengan nama panggilan tertentu. Misalnya, Cangkurileung. Nama orisinil Bungsu Bandung ialah Mimih Setiawati. Wanita asal Sumedang ini lahir pada 5 November 1962. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Hal inilah nan mungkin membuatnya memakai nama Bungsu Bandung.
Bentuk Perlawanan dalam Talak Tilu
Lagu sunda satu ini memang boleh dikatakan sebagai sebuah lagu dengan lirik nyleneh . Namun, tidaklah bermakna demikian jika ditelaah lebih dalam. Tersimpan sebuah bentuk perlawanan dari seorang wanita nan selalu dianggap tingkatan kedua sehingga boleh diperlakukan seenaknya oleh kaum pria. Meskipun emansipasi telah digembor-gemborkan, penganiayaan terhadap wanita tetap saja ada.
Secara singkat, lagu ini menggambarkan kekesalan seorang istri terhadap suaminya nan kerap keluar rumah sejak pagi hingga subuh. Tanpa perlu dijelaskan secara gamblang, Anda tentu sudah paham dengan cacat “pergi pagi pulang pagi”. Biasanya, hal nan dilakukan suami di luar rumah selama itu tidak jauh-jauh dari mabuk, berjudi, dan main perempuan.
Inilah nan membuat sang istri kesal hingga ia tidak segan meminta cerai dan dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak butuh lagi suami bertabiat buruk. Perlawanan tersebut merupakan titik puncak dari kesakitan nan selama ini dipendam oleh sang istri. Karena tidak tahan lagi dengan perangai jelek suami, istri terang-terangan ingin ditalak tiga sekaligus.
Dalam syair lagu Talak Tilu , disinggung pula masalah anak. Sang istri meminta cerai seolah tanpa pertimbangan berarti sebab ia masih merasa belum ada hal nan harus dipertimbangkan dengan ketidakhadiran anak. Hal ini pun menyimpan makna luar biasa, yaitu betapa anak sering menjadi korban perceraian orangtua.
Berikut ialah penggalan syair Talak Tilu nan menyatakan perlawanan.
Nyeri-nyeri moal benang diubaran
Kajeun tutumpuran paeh ge teu panasaran
Meungpeung ngora keneh
Meungpeung urang can batian
Pek geura serahkeun
Talak tilu sakalian
Henteu butuh lalaki curaling
Boga rasa harapan ieu aing
Henteu robah teu eling-eling
Aduh alah ieung
Tega teh teuing
Keunikan Seputar Lagu Sunda
Puluhan pulau di Nusantara ini memiliki multietnik nan melahirkan berbagai kesenian sebagai bentuk identitas, jati diri, aktualisasi diri dan ciptaan suatu masyarakat.
Beragam kesenian itu menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia, nan berasal dari kemampuan genius local di setiap sudut daerah di Bumi Pertiwi ini.
Waditra
Lagu Sunda adalah bagian dari khazanah kekayaan budaya Sunda di Indonesia. Dia berupa melodi dari untaian nada nan diatur dengan apik dan latif dalam susunan nan tepat, baik dibawakan dalam bentuk atau dengan waditra .
Waditra digunakan buat mengiringi sebuah lantunan lagu Sunda. Istilah waditra banyak dikenal oleh para pakar kawiwitan, sedangkan di kalangan penabuhnya sering disebut dengan istilah tatabeuhan . Waditra berupa instrument karawitan berbentuk gamelan atau nan lainnya.
Ada nan dipukul dengan tangan atau menggunakan alat khusus, seperti kendang, kenong, dan dogdog. Jenis waditra nan digesek, misalnya kecapi dan rebab. Jenis nan ditiup, diantaranya terompet dan suling.
Para penabuh waditra disebut juga Nayaga , Pangrawit , Wiyaha atau Tukang , seperti tukang kendang, tukang suling, dan tukang goong. Karakteristik khas unik dalam fragmental waditra atau gending ialah dengan adanya unsur obrolan nan dirangkai antar waditra-waditra dalam membawakan sebuah lagu. Karakteristik lainnya ialah tehnik dalam menabuh waditra nan dibawakan oleh para tukang .
Lagu Dan Karawitan Sunda
Lagu nan dibawakan dapat dibedakan dalam dua macam. Pertama, kawih nan berirama tandak (tetap). Kedua, tembang nan berirama merdika (bebas). Keunikan sebuah lagu dalam tradisi Sunda akan sangat terasa dalam penggunaan laras , teknik vocal, dan cengkok atau ornament lagu.
Terdapat beberapa hal nan harus diketahui tentang lagu dalam karawitan Sunda, yaitu melodi atau alur lagu, komposisi atau wujud holistik lagu, vocal ( sekar ), fragmental buat waditra ( gending ) dan style ( wanda ) buat membedakan gaya.
Tembang Sunda Sebagai Lagu Sunda
Keunikan nan harus diketahui dalam lagu Sunda ialah nan disebut dengan tembang Sunda. Kesenian nan dibawakan dengan petikan kacapi, tiupan suling, dan gesekan rebab dalam mengiringi lagu-lagu panambih (tambahan).
Kacapi nan digunakan ada dua macam: kacapi indung berbentuk bahtera dan paling dominan digunakan, kacapi rincik berbentuk lebih kecil dari kacapi indung dan digunakan buat mengiringi lagu-lagu panambih saja. Bentuk suling Cianjuran memiliki 6 lubang dengan panjang antara 59 sampai 63 cm.
Tembang Sunda sering identik dengan sebutan Tembang Cianjuran sebab jenis kesenian vocal ini berkembang pesat di daerah Cianjur nan dimulai oleh bupati Cianjur R.A. Wiratanudatar VI (1776-1813 M) dan berkembang secara intensif pada masa R.A.A. Kusumaningrat (1834-1862 M) nan dikenal sebagai Dalem Pancaniti.
Seiring kemajuan para penggiat kesenian ini, tembang cianjuran dibagi menjadi 6 wanda , yaitu : Dedegungan, Rarancangan, Jejemplangan, Papantunan, Dadalangan (Kakawen), Panambih .
Sebenarnya jenis kesenian ini banyak berkembang di daerah lain di tanah Sunda, diantaranya Tembang Ciawian, Tembang Cirebonan, Tembang Cigawiran , dll. Untuk merangkum semua tembang itu, maka Kongres Tembang Sunda pada tahun 1956 di Bandung menyepakati penggunaan istilah Tembang Sunda buat semua jenis tembang tersebut.
Saat ini tercatat sekitar 12 kelompok masyarakat nan tersebar di berbagai desa dan kecamatan di Kabupaten Bandung sebagai wujud pelestarian tembang cianjuran, diantaranya : group Giriwangi, Guruminda, Gentrang Dangiang, Yayasan Atika Sunda, Gunung Kramat, Gentra Winarya, Berdikari Mekar, dll.
Inilah beberapa keunikan dalam kesenian lagu Sunda dalam budaya kesundaan. Perkembangan kesenian ini sangat tergantung pada perhatian masyarakat buat melestarikannya. Salah satu realisasi perkembangan kesenian musik tradisional melalui harmonisasi dengan musik modern.