Keruntuhan Dinasti Qing

Keruntuhan Dinasti Qing

Cina sebagai sebuah peradaban telah ada sejak 1,7 juta tahun nan lalu. Karenanya, Cina merupakan salah satu pusat budaya tertua di dunia, selain Mesopotamia, India, dan Egypt (Mesir). Namun, jika dilihat dari sejarah negara Cina modern, peradaban dapat dimulai sejak negara tersebut berbentuk republik pada 1912. Walaupun pada saat itu negeri tirai bambu ini masih sangat tertutup, ternyata mata Cina tak tertutup dengan segala konvoi dan perkembangan nan ada di balik tirai itu. Namanya juga tirai bambu, niscaya tak kedap dan niscaya ada celah nan dapat dipakai buat mengamati global luar.



Dari Dinasti ke Dinasti

Sebelum berbentuk republik, Cina diperintah oleh banyak dinasti (kerajaan) nan berlangsung hingga puluhan abad. Hitung saja mulai dari dinasti pertama, yaitu Dinasti Xia, Dinasti Shang, Dinasti Zhou, dan sederetan dinasti lain hingga nan terakhir ialah Dinasti Qing. Semua dinasti mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Satu nan sama, yaitu bahwa semua dinasti itu mempunyai peradaban dan kebudayaan nan memperkaya budaya Cina.

Meskipun setiap pergantian dinasti selalu diwarnai perang atau pertumpahan darah, hal itu tak membuat peradaban Cina menurun. Sebaliknya, kebudayaan Cina tetap lestari dan terus berkembang semakin kompleks. Hampir tiap dinasti nan berkuasa akan meninggalkan warisan bermanfaat bagi dunia. Inilah nan membuat Cina kaya dengan semua unsur budaya. Rakyat Cina sendiri sebenarnya bukanlah masyarakat nan tak berkembang. Dengan ketretutupannya, mereka itu sangat adaptif. Buktinya ialah bahwa banyak rakyat Cina nan merantau hingga ke seluruh dunia.

Di negeri orang mereka menjadi sangat adaptif mengikuti adat istiadat setempat tanpa kehilangan budayanya sendiri. Sikap nan sangat konsisten dan sangat kuat memegang tradisi itulah nan malah membawa orang lain bahkan penduduk lokal terpengaruh budaya Cina. Mulai dari makanan, pakaian, hingga kebudayaan lain nan bercirikan budaya Cina. Di dalam negeri juga seperti itu. Mereka sangat mampu menyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungan. Bila masyarakat Cina tidak mampu menyesuaikan diri, perkembangan dan pembangunan negeri dengan penduduk terbanyak di global ini tak akan menjadi sangat pesat seperti sekarang.

Selain itu, rasa hormat terhadap orangtua dan leluhur membuat orang Cina menjadi sangat berakar kepada budaya ibu pertiwinya. Mereka tidak akan mengkhianati apa nan telah diajarkan oleh para orangtua. Mereka takut kualat dan takut kutukan nan dapat mereka terima kalau tak mengikuti semua perintah orangtua atau leluhur mereka. Tidak salah kalau hingga kini, kebudayaan antik Cina itu masih juga terpelihara dengan baik sebab rasa hormat nan begitu dalam terhadap karya para leluhur. Pembangunan ke arah modernitas tak menghalangi mereka menjaga dan melestarikan warisan leluhurnya.



Cina - Awal Peradaban Dunia

Sebut saja, Dinasti Shang (1750-1045 SM) nan pertama kali memperkenalkan tulisan Cina antik dari cangkang kura-kura. Dinasti Zhou (1045-256 SM) buat budaya, sastra, dan filsafat Cina. Lalu, Dinasti Shang nan merupakan dinasti paling lama berkuasa. Pada masa ini, perkembangan tulisan Cina modern mulai berkembang. Yang paling monumental ialah pada Dinasti Qin dengan pembangunan Tembok Besar China. Semua tinggalan itu menjadi bukti bahwa setiap dinasti merasa bertanggungjawab buat meninggalkan sesuatu nan bermanfaat bagi para penerusnya.

Mereka selalu ingin memberikan nan terbaik dan melakukan nan terbaik sebab kalau mereka tak menjadi nan terbaik, maka mereka akan tergilas oleh kehebatan orang lain. Bila mereka tergilas oleh orang lain nan lebih baik, maka itulah pertanda bahwa kematian telah dekat. Semakin modern dan canggih suatu peradaban akan membuat semangat mengalahkan peradaban itu semakin tinggi juga. Persaingan inilah nan membuat negeri Cina maju dan tahan banting. Kerja keras itu seolah telah menjadi campuran darah nan mengalir di tubuh mereka.

Sebagian besar pakar sejarah berpandangan bahwa Cina merupakan suatu negara nan dibangun oleh persatuan dan perpecahan politis. Kadang-kadang, iklim politik nan ada dikuasai oleh orang-orang asing, yaitu suku Han, Mongol, dan bangsa kolonial dari negara-negara Eropa. Pergolakan pun senantiasa terjadi hingga pada akhirnya membentuk budaya Cina modern.

Peradaban nan begitu kompleks itu tak sporadis menimbulkan pertumpahan darah nan begitu mengerikan. Demi kekuasaan, harta, dan wanita, orang Cina berani melakukan pertaruhan buat nyawanya sendiri. Pembangunan Tembok raksasa Cina ialah satu bukti bahwa betapa mereka sangat peduli dengan keamanan dan pertahanan diri. Mereka akan melakukan nan terbaik dan mungkin nan dianggap mustahil oleh orang lain. Keyakinan nan sangat kuat membuat bangsa Cina ini sukses mencapai apa nan mereka inginkan.

Walaupun sekarang dengan adanya resesi ekonomi di seluruh dunia, bangsa Cina terpaksa menurunkan laju pertumbuhan ekonominya, mereka tetap nan terdepan dan tetap mempunyai perencanaan nan matang. Pergolakan politiknya dapat diredam dengan tak membuat global lain tahu bagaimana demokrasi ala Cina dijalankan. Misalnya, kematian seorang anak pejabat partai komunis dengan mobil ferrarinya seolah memperlihatkan bahwa sebenarnya orang Cina nan menganut komunis ini tergiur juga dengan kehidupan nan mewah ala barat.

Kehebatan pemerintah Cina dalam meredam setiap pergolakan dalam negeri membuat para pemberontak nan menginginkan demokrasi ala barat terpaksa harus tiarap. Pemerintah Cina terkenal dengan kekejamannya dalam memberantas para pemberontak dan orang-orang nan dianggap berkhianat kepada negara. Tibet nan berjuang memerdekakan diri saja hingga kini tetap belum mendapatkan hasil nan maksimal dari perjuangannya. Tidak ada negara di global ini nan mampu memakasa Cina mengubah arah politiknya. Cina mempunyai gaya sendiri dalam berpolitik. Dalam sejarah negara Cina, setiap perubahan itu dilakukan oleh seorang pemimpin nan sangat kharismatik.



Keruntuhan Dinasti Qing

Awal mula budaya Cina modern dapat ditelusuri dari memudarnya kekuasaan dinasti terakhir Cina, yaitu Dinasti Qing, pada abad ke-19. Mulai dari ketidakpuasan sebagian besar masyarakat Cina kepada pemerintah nan dianggap berasal dari bangsa asing (suku Han) hingga ketidakbecusan pemerintah dalam membendung pencaplokan negara Barat, jadi faktor penyebab. Kekacauan dan dorongan rasa kecewa itu membuat begitu besar dan cepatnya perubahan nan terjadi. Pemimpin nan dihormatilah nan akhirnya mampu menarik hati rakyat agar mau dipimpin dengan cara nan akan membuat mereka lebih sejahtera.

Akibatnya, banyak terjadi pemberontakan atau Perang Saudara. Yang paling terkenal ialah Pemberontakan Taiping (1851–1864) dan Pemberontakan Petinju. Kedua pemberontakan tersebut merupakan respon ketidakpuasan masyarakat Cina sebab Dinasti Qing mengalami kekalahan dalam Perang Candu pada 1840. Perang ini mengakibatkan bangsa-bangsa Barat memperoleh hak istimewa perdagangan. Wilayah Hong Kong pun diserahkan kepada Inggris pada 1842 di bawah Perjanjian Nanking. Melihat apa nan terjadi, akhirnya bangsa Cina bersatu. Mereka tak ingin tercabik-cabik.

Kekuatan politiknya kembali walaupun ada nan melarikan diri ke Taiwan dan mendirikan negara baru nan diberi nama Taiwan. Sedangkan pemerintah Cina tetap merasa bahwa Taiwan itu ialah bagian dari negara mereka. Kalau Taiwan hingga kini masih seperti duri dalam daging, tak buat Hongkong dan Macau. Kedua wilayah itu akhirnya diserahkan oleh pihak Inggris kepada Cina.



Republik Rakyat Cina

Frustasi sebab ketidakmampuan Dinasi Qing dalam menjaga kedaulatan dan mereformasi pemerintahan, menumbuhsuburkan rasa nasionalisme di Cina. Dipelopori oleh gagasan-gagasan revolusi dari Sun Yat Sen, Dinasti Qin akhirnya digulingkan dan Cina memasuki fase baru dalam sistem pemerintahan, yaitu republik. Proses berakhirnya Dinasti Qing bermula dari Pemberontakan Wuchang pada 10 Oktober 1911. Beberapa bulan kemudian, 12 Februari 1912, kaisar terakhir Qing, Xuantong, turun tahta.

Revolusi nan sukses tersebut mendapat sambutan dari banyak kalangan di Cina, seperti para pegawai muda, pegawai tentara, dan pelajar. Sun Yat Sen pun diangkat sebagai presiden pertama Republik Cina pada 12 Maret 1912. Namun, peta perpolitikan Cina tidak berhenti di situ. Pada 1928, Partai Komunis Cina (PKC) nan berhaluan komunis mulai menancapkan pengaruhnya. Konflik antara partai nan berkuasa pun berakhir ketika pada 1949, PKC sukses menyingkirkkan lawan-lawan politiknya dan menjadikan PKC sebagai penguasa tunggal di Cina.

Pada tanggal 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamirkan berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC) di Tiananmen. Hingga saat ini, negara Cina tetap bernama RRC dengan PKC sebagai partai satunya-satunya. Ideologi nan diusung pun tidak berubah, yaitu komunisme.