Mukena bukan Jilbab
Penggunaan mukena identik dengan penunaian ibadah shalat bagi wanita. Keberadaan mukena hanya terdapat di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lain. Jika Anda berada di Timur Tengah, justru Anda tak akan menemukan setelan mukena nan terdiri dari rok dan atasan. Sebaliknya di kawasan tersebut memiliki barqa atau abayya .
Kaum muslimah selain Islam Melayu, ketika sholat mereka justru tak menggunakan mukena. Mereka cukup mengenakan pakaian rapi, panjang dan tak berbentuk, layaknya jubah atau gamis panjang nan hanya menampakkan muka dan telapak tangan.
Cerita tentang mukena ini, di Pakistan dan India berbeda lagi. Ketika kaum muslimahnya sholat, kostum nan digunakan ialah tarha dan syrwal . Tarha ialah pasmina lebar nan menutupi hampir separuh tubuh. Sedangkan syrwal ialah celana dengan model aladin dengan jahitan serut di bagian belakang.
Asal Usul Mukena
Mukena merupakan hasil alkulturasi budaya, antara busana tradisional nusantara dengan masuknya Islam. Sebelum agama tersebut melakukan perluasan ke Indonesia, busana kaum perempuan di Jawa berupa kain panjang seperti jarik batik tanpa dijahit dan kemben nan dililit.
Benturan budaya mulai timbul ketika Wali Songo membawa Islam masuk ke Indonesia. Atas nama syariah nan mengatur tata cara berbusana bagi kaum perempuan, maka timbulah beberapa kompromi. Kompromi ini mengiringi kehadiran mukena di Indonesia.
Kompromi antara Wali Songo dengan kaum perempuan pada masa tersebut ialah penggunaan mukena. Mukena merupakan busana sinkron syariah nan hanya menampakkan paras dan telapak tangan dan dikenakan ketika menunaikan sholat. Setelah selesai sholat, maka kaum wanita bisa kembali mengenakan busana nan biasa dipakai.
Pengguna mukena ini bisa ditemui di Indonesia, Malaysia dan Filipina. Sehingga bisa dikatakan bahwa mukena ini merupakan baju khas Islam Melayu. Di Malaysia sendiri istilah nan digunakan buat mukena ialah telekung . Jika mengacu pada kamus besar bahasa Indonesia, maka pengertian mukena ialah kain selubung berjahit (dan biasanya berwarna putih) buat menutupi aurat wanita Islam pada waktu sholat.
Hukum Mukena, Sandang Sholat Wanita
Ketika menunaikan salat, sine qua non baju spesifik nan dikenakan walaupun salat sendirian. Pada masa jahiliyah dahulu, menurut Ibnu &'Abbas, pada awalnya wanita bisa melakukan thawaf di Ka'bah tanpa mengenakan busana, bagian nan tertutup hanyalah bagian kemaluan. Nabi pun bersabda, seperti tercantum pada Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 18/162-163, "Tidak boleh orang nan telanjang thawaf di Ka'bah". Sabda nabi inilah nan oleh Wali Songo dijadikan acuan buat membuat kompromi dengan wanita nusantara mengenai terciptanya mukena.
Seperti diungkapkan oleh Al-Imam An-Nawawi nan masih berkaitan dengan mukena, "Dahulu orang-orang jahiliyah thawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan baju mereka dan membiarkan tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang nan lalu lalang. Mereka tak lagi mengambil baju tersebut hingga usang dan rusak."
Kebiasaan kaum Jahiliyah ini berlangsung hingga kedatangan Islam. Allah memerintahkan kaum itu buat segera menutup aurat. Sinkron dengan ayat Allah, "Wahai anak Adam, kenakanlah zinah kalian tiap kali sholat di masjid." Ayat ini pula nan menjadi dasar asal mula busana mukena. Selain sabda nabi dan ayat tersebut, dasar lain nan bisa menjadikan mukena sebagai baju wanita buat salat ialah kitab Ash-Shalah bab "Wajib salat dengan mengenakan pakaian" .
Masih dalam kitab Ash-Shalah tersebut dan masih tentang asal mula mukena, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, "Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab nan diberikan Al-Imam Al-Bukhari ialah bila dalam thawaf dilarang telanjang, maka pelarangan hal ini di dalam shalat lebih primer lagi sebab apa nan disyaratkan di dalam sholat sama dengan apa nan disyaratkan di dalam thawaf. Bahkan dalam sholat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat shalat."
Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat sholat. Hal pengenaan mukena sebagai penutur aurat buat menjalankan sholat didukung oleh penyataan Al-Imam Asy-Syaikani nan berkata dalam tafsir, "Mereka diperintah buat mengenakan zinah ketika datang ke masjid buat melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayatini dijadikan dijadikan dalil buat menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam sholat. Demikian pendapat nan dipegang oleh jumhur ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala estetika sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan dalam hadist-hadist nan shahih."
Mukena bukan Jilbab
Mukena jelas berbeda dengan jilbab, mukena merupakan busana nan dirancang spesifik buat sholat. Dan syarat tersebut tak mewajibkan buat terus mengenakan baju wajib buat sholat sebagai baju sehari-hari. Hal ini sinkron dengan perkataan Ibnu Taimiyyah,
"Mengenakan baju di dalam shalat ialah dalam rangka menunaikan hak Allah maka tak boleh seseorang shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun ia berada sendirian di malam hari. Maka dengan ini diketahuilah bahwa mengenakan baju di dalam shalat bukan sebab ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia, sebab ada disparitas antara baju nan dikenakan buat berhijab dari pandangan manusia dengan baju nan dikenakan ketika shalat".
Bagi wanita, sekadar mengenakan mukena saat salat tidaklah cukup. Namun kebersihan dari baju dan mukena itu sendiri cukup penting. Sehingga baju tak boleh terkena najis, bau dan kotor. Selain itu krusial juga memperhatikan sisi estetika juga kebersihan nan semuanya sebab Allah.
Firman Allah memerintahkan agar mengenakan zinah ketika shalat sebagaimana ayat nan telah disebutkan sebelumnya. "Maka sepantasnya seorang hamba shalat dengan mengenakan baju nan paling bagus dan paling latif sebab dia akan bermunajat dengan Tuhan semesta alam dan berdiri di hadapan Allah."
Desain mukena nan hanya menampakkan paras dan telapak tangan sinkron dengan syarat anggota tubuh nan harus ditutup ketika sholat. Hal tersebut seperti dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi'I dan Al-Auza'I, yaitu "Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajahnya dan dua telapak tangannya." Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan 'Atha.
Sedangkan Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyam mengatakan bahwa "Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat sampai kukunya pun." Al-Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini nan juga menjadi penyebab lahirnya mukena, dengan mengatakan "Dituntunkan bagi wanita buat melaksanakan sholat dalam keadaan tak terlihat sesuatu pun dari anggota tubuh tak terkecuali kukunya."
Mungkin hadits tersebutlah nan digunakan oleh sebagian wanita sebagai acuan buat menggunakan cadar. Mukena nan baku dirancang buat menampakkan paras dan telapak tangan. Hal ini sinkron dengan pendapat Ibnu Taimiyyah "Seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh nan biasa nampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan dan telapak kaki."
Sayangnya, mukena nan beredar saat ini, mungkin kurang mengacu pada ayat dan hadist nan telah dipaparkan pada tulisan ini. Sehingga tak sporadis kita jumpai wanita menunaikan salat dengan menggunakan mukena dengan bahan nan tipis dan transparan sehingga rambut panjang nan tergerai dan lekukan tubuh jika menggunakan baju ketat masih bisa terlihat di balik mukena.
Perihal mukena nan harus menutupi aurat, Ibnu Qudamah mengatakan, "Disenangi bagi wanita buat salat mengenakan dira` yaitu baju nan sama dengan gamis hanya saja dira` ini lebar dan panjang menutupi sampai kedua telapak kaki, kemudian mengenakan kerudung nan menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab nan diselimutkan ke tubuhnya di atas dira."
Begitupun hukum menutup aurat ketika shalat yaitu menggunakan mukena, diungkapkan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i. Beliau berkata bahwa, "Kebanyakan ulama bersepakat buat pemakaian dira` dan kerudung, bila menambahkan baju lain maka itu lebih baik dan lebih menutup." Nah selanjutnya terserah Anda, apakah ingin menggunakan jilbab sebagai baju sehari-hari. Atau tetap berpakaian baku saja, namun ketika shalat demi menutup aurat gunakanlah mukena.