Pendidikan dan Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia
Bung Karno sering mengatakan, pembangunan nasional bermakna pembangunan dan karakter bangsa ( nation and character building ). Sebuah pembangunan tak hanya tertumpu pada aspek sistem dan struktur suatu negara, tetapi juga harus mempertahankan nilai-nilai budaya nan menjadi karakteristik atau ciri suatu bangsa.
Dalam proses pembangunan atau transformasi, masalah akan muncul manakala pembangunan antara budaya serta sistem dan struktur tidak seimbang. Jika kita terlalu menekankan pada pembangunan budaya tanpa memerhatikan sistem dan struktur, hasil pembangunan tak akan maksimal walaupun budaya sudah baik.
Suatu saat budaya nan sudah dibangun dengan baik ini dapat terkikis atau luntur kembali. Sebaliknya, jika perhatian terlalu dipusatkan pada pembangunan sistem dan struktur dan kurang perhatian pada budaya, akan menyuburkan materialisme, hedonisme, korupsi, fanatisme golongan nan mengedepankan kepentingan kelompok jangka pendek bahkan kepentingan perorangan, serta orientasi kekuasaan nan berlebihan.
Akibatnya, akan banyak energi dihabiskan bagi disparitas pendapat bahkan konflik. Dari sini kita bisa mengetahui pentingnya pembangunan budaya atau budaya bangsa dalam proses pembangunan nasional. Diletakkannya kata budaya mendahului sistem dan struktur mengandung arti bahwa pembangunan budaya berbangsa harus diprioritaskan atau diletakkan di atas kepentingan pembangunan aspek lainnya.
Pembangunan nan sedang dilakukan saat ini lebih ditekankan pada masalah ekonomi. Kita bisa melihat mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru sampai masa reformasi sekarang ini, semua pembangunan terutama sekali diletakkan pada pembangunan di bidang ekonomi. Mulai dari usaha pelunasan utang luar negeri, masalah peningkatan neraca perdagangan, dan sebagainya.
Model pembangunan nan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tersebut tak hanya melegalkan majemuk bentuk ketimpangan sosial, tetapi juga mengakibatkan akumulasi nilai-nilai ketidakpedulian sosial, erosi ikatan kekeluargaan dan kekerabatan, serta berkembangnya kemerosotan moral moral di dalam kehidupan bernegara. Masalah ekonomi ini merupakan masalah nan cukup sensitif. Seringkali persaingan muncul dan hukum rimba berlaku.
Model pembangunan nan terpusat pada bidang ekonomi tersebut menjadikan masyarakat menjadi begitu bergantung pada hasil pembangunan serta mencetak masyarakat nan sangat bergantung pada birokrasi sentralistik.
Selain itu, pola pembangunan itu juga menyebabkan masyarakat cenderung menjadi konsumeristik dan kehilangan kepekaan terhadap budaya nusantara. Bahkan, secara sistematis sudah melumpuhkan inisiatif masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah nan dihadapinya.
Kita bisa melihat saat ini banyak masyarakat nan cenderung menunggu keputusan pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah ketimbang berusaha memikirkan alternatif lain nan mungkin lebih efisien. Rakyat Indonesia saat ini lebih suka menggantungkan nasibnya pada pemerintahnya. Sifat ketergantungan ini nan nantinya bisa berdampak jelek pada keberlangsungan hayati orang Indonesia sendiri.
Konsekuensi konsep pembangunan nan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini mampu mengondisikan masyarakat agar selalu tunduk pada nilai-nilai pembangunan nan seragam dan monopolitik. Agar akar budaya dan nilai-nilai lokal tak terabaikan, konsep pembangunan harus menekankan pada kombinasi taktik pembangunan nan berselera dunia dan lokal.
Pembangunan budaya masyarakat harus diarahkan pada satu tujuan nan menjadi cita-cita nasional, yaitu tatanan nan mengandung nilai, paradigma, dan konduite kolektif unggul. Semua itu harus membudaya dalam kehidupan masyarakat sedemikian rupa sehingga menjadi "jati diri bangsa ".
Bagi masyarakat Indonesia, Pancasila ialah jati diri nan harus dituju dalam proses pembangunan budaya bangsa, yaitu tatanan masyarakat nan "religius, apresiatif terhadap nilai kemanusiaan, nasionalis, demokratis, adil dan makmur".
Untuk menentukan taktik nan tepat dalam pencapaian tujuan, terlebih dulu harus dipahami budaya nan berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya nan menjadi keunggulan dan kelemahannya. Dalam konteks ini, apabila kita mengacu pada nilai nan terkandung dalam mukadimah UUD 1945, maka bisa dipahami bahwa "kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi" merupakan keunggulan bangsa.
Para founding fathers menjadikannya sebagai nilai nan harus diacu dalam kehidupan bernegara-berbangsa dan bermasyarakat. Nilai tersebut digali dari kearifan lokal nan sudah lama berkembang di berbagai kalangan masyarakat di Nusantara. Toleransi, misalnya, bisa dikatakan semua kalangan masyarakat Nusantara memiliki toleransi tinggi.
Oleh sebab itu, ketika agama Buddha, Hindu, Islam, dan Kristen masuk ke Nusantara, sangat sedikit (kalau tak bisa dikatakan nihil) terjadinya gejolak. Tidak seperti di Eropa atau Timur Tengah nan tiada henti dilanda konflik bahkan perang dengan latar belakang agama.
Namun, akibat dari berkembangnya liberalisme-individualisme, di Indonesia berkembang pula materialisme, hedonisme, dan pragmatisme sehingga toleransi pun terkikis bahkan di beberapa loka hampir punah.
Maka tidak heran kalau dalam dasa warsa terakhir berkembang anarkisme nan di beberapa daerah, seperti Ambon dan Sulteng, terjadi konflik nan menelan banyak korban. Begitu juga dengan kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah-mufakat. Hal itu sudah berabad-abad hadir menjadi jati diri masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Karena itu, tercipta persaudaraan, keamanan, kedamaian, keadilan, dan kemakmuran.
Memahami Kelemahan Bangsa
Untuk memahami kelemahan suatu negara, kita perlu mengacu pendapat Profesor Koentjaraningrat. Ia mengatakan, karakteristik negatif budaya masyarakat kita antara lain feodal, rendah diri, malas, munafik, dan suka menyalahkan orang lain. Karena itu, berkembangnya liberalisme dan individualisme sangat memengaruhi aspek kelemahan bangsa.
Hanya, kalau nan terjadi pada aspek keunggulan ialah "erosi", sebaliknya pada aspek kelemahan justru terjadi "promosi". Sebagai contoh, feodalisme nan berujung pada "status sosial", yaitu diperolehnya kedudukan dan materi, justru terpromosi. Akibatnya, perkembangan budaya bangsa dari era ke era diwarnai oleh tumbuhnya KKN, nafsu berburu kedudukan, kekuasaan, dan materi.
Terlebih pada era reformasi di mana kebebasan dan demokratisasi dipromosi tanpa rambu-rambu nan memadai dan tanpa melihat realita di masyarakat. Berdasar pada pemikiran itu, maka konsep taktik pembangunan budaya nasional ialah "upaya mengangkat aspek keunggulan dan mengeliminasi aspek kelemahan bangsa".
Sasaran antara atau jangka pendek upaya ini ialah terbentuknya "nasionalisme, disiplin, pandangan hidup kerja, dan meritokrasi" di kalangan masyarakat. Dengan disiplin, pandangan hidup kerja dan meritokrasi nan baik akan diperoleh kelancaran dan akselerasi dalam proses selanjutnya.
Kepemimpinan Kunci Keberhasilan Pembangunan Budaya Bangsa
Kepemimpinan merupakan kunci keberhasilan pembangunan budaya masyarakat kita. Karena itu diperlukan kepemimpinan nan kuat, bersih, berani mengambil keputusan dan risiko, serta teladan. Dengan kata lain, kepemimpinan nan berkarakter. Keberhasilan Amerika, China, Malaysia, dan Singapura dalam proses pembangunan nasionalnya ialah sebagian besar sebab peran kepemimpinan nan berkarakter.
Oleh sebab itu, dalam proses pembangunan budaya bangsa, para pemimpin pada setiap lini dituntut terlebih dulu memiliki karakter dan mampu menjadi teladan. "Leadership is influence and character is power" (Maxwell), karenanya tak pernah ada keberhasilan tanpa kepemimpinan nan berkarakter. Terlebih lagi menghadapi kondisi negara Indonesia kini nan ditandai oleh berkembangnya separatisme, konflik politik dan etnik.
Dalam kondisi seperti ini, diperlukan kualitas kepemimpinan nan berkarakter dan harus mampu menjadi perekat masyarakat. Janganlah kita bermimpi dengan moto "bersama kita bisa", tetapi terlebih dulu harus mampu membuktikan (kembali) bahwa "kita dapat bersama" seperti nan pernah terjadi pada 1928 dan 1945.
Hanya dengan kebersamaan, kekeluargaan, dan gotong royong, negara ini akan sukses sampai pada tujuan nasionalnya. Sebaliknya, liberalisme-individualisme tak pas bagi Indonesia nan ekstra bhineka. Karena liberalisme-individualisme hanya akan membawa kepada separatisme.
Pendidikan dan Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia
Dari wawasan di atas, kita bisa melihat intisarinya, bahwa dalam upaya pembangunan nasional, nan pertama harus diperhatikan ialah pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter pemimpinnya, pembangunan karakter rakyatnya, dan pembangunan karakter para generasi muda. Pembangunan karakter ini harus memperhatikan baik aspek budaya maupun aspek sistem dan struktur.
Namun nan menjadi pusat pembangunan seharusnya bukan sistem ekonomi. Bukan sistem politik. Namun sistem nan mengakari semua sistem tersebut, yaitu sistem pendidikan. Pendidikan, kata lain buat mendidik, berasal dari kata e-ducare yang berarti "menggiring ke luar". Jadi, educare bisa diartikan sebagai usaha pemuliaan. Pemuliaan manusia atau pembentukan manusia.
Pendidikan sebagai usaha pemuliaan berarti pembentukan moral manusia, pembentukan manusia agar meraih tujuan hayati sebagai makhluk nan berkebudayaan dan bermasyarakat.
Dari sini bisa disimpulkan, tujuan pendidikan nan seharusnya ialah membantu anak menjadi orang dewasa berdikari dalam kehidupan bermasyarakat. Membantu mereka menjadi seseorang nan bertanggung jawab, berkembang menjadi pribadi nan kompeten, bersuara hati, dan memedulikan sesama.
Dalam usaha pembentukan karakter manusia bermoral, sistem pendidikan ini seharusnya difokuskan pada nilai-nilai sosial seperti menghargai pendapat orang lain, saling mempercayai, saling mengampuni, kebersamaan, interaksi pribadi nan otentik, kepercayaan dan persahabatan, cinta kasih nan asli, dan perhatian pribadi.
Melihat justru liberalisme dan individualisme nan berkembang di Indonesia, seharusnya perlu mulai ditanyakan, bagaimana pembangunan sistem pendidikan di negara ini. Manusia Indonesia kebanyakan membanggakan diri sebagai manusia modern, nan canggih, nan menyesuaikan diri pada era globalisasi nan telah bersemayam di Indonesia.
Padahal ternyata mereka hanya mengagungkan konformisme-paham ikut-ikutan, percaya tren, dan penghambaan diri pada teknologi. Mereka tak memahami dan menghayati arti modern. Mereka tak "mempercanggih" karakter mereka. Dampak dari kelalaian pada pembentukan sistem dan struktur pendidikan ini, terbentuklah suatu lingkaran setan.
Para pemimpin, pengusaha, pekerja, seniman, juru hukum, bahkan para pendidik nan telah meraih predikat "lulus" dari forum pendidikan tak membawa serta karakter nan kuat. Kemudian dengan bangganya, hanya dengan bermodal pengetahuan, bukan moral, mereka menciptakan sistem pendidikan nan sama. Mereka membangun budaya nan sama. Mereka mengeksploitasi media informasi dengan informasi nan sama sekali tak mendidik dan membentuk karakter.
Sinetron-sinetron tidak bermakna, film-film remaja nan mulai berani mengusung pornografi, iklan-iklan nan tak lagi disensor, musik-musik nan memberhalakan pesimisme. Hampir tak ada unsur pendidikan di dalamnya. Padahal media informasi merupakan alat nan hampir dikatakan paripurna sebagai wahana pembentukan karakter, mengingat media informasi merupakan teknologi nan wajib di era globalisasi ini.
Dari gambaran di atas, maka bisa disimpulkan bahwa pembangunan suatu negara nan berkarakter itu sangat penting. Pembangunan suatu negara nan berkarakter ini dimulai dengan pembangunan dalam sistem pendidikan. Pada dasarnya sistem pendidikan itu merupakan dasar dari pembangunan di berbagai bidang sehingga melalui pendidikan ini nantinya kita bisa membentuk suatu bangsa nan berkarakter.