Pilkada nan Menjadi Ironi

Pilkada nan Menjadi Ironi

Pilkada merupakan salah satu produk orde reformasi nan sedang mendapat perhatian dari masyarakat. Jika diiperhatikan, bukannya sukses diaplikasikan dalam kehidupan demokrasi, melainkan menjadi kecemasan bangsa.

Pilkada merupakan singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, fungsi pilkada ialah sebagai wahana buat memilih kepala pemerintahan di daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota. Pilkada dibentuk berlandaskan demokrasi Pancasila.

Pilkada diselenggarakan ketika masa pemerintahkan kepala daerah mau berakhir, atau selama lima tahun sekali. Penyelenggara pilkada ialah KPU atau Komisi Pemilihan Generik dan diikuti semua warga loka nan berdomisili/ dicatat sebagai warganya.

Akhir-akhir ini marak kerusuhan di berbagai daerah sebab pilkada, ada massa nan tidak puas pilihannya kalah dalam perhitungan suara. Atau bahkan sang kandidat gusar ketika dia kalah dalam memperoleh suara, sehingga mereka protes dengan mengerahkan massa pendukungnya dan mendatangi KPU. Terkadang demo-demo ini berakhir anarkis, tidak sedikit korban materi dan jiwa bertajuhan sebab pilkada ini. Sangat memprihatinkan bukan?



Sejarah Pilkada

Pilkada merupakan bentuk dari kebijakan swatantra daerah nan mencakup pemilihan kepala dearah secara langsung, umum, adil dan rahasia. Landasan hukumnya ialah UU 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah.

Pilkada pertama kali diselenggarakan pada 2005, pada waktu DKI Jakarta sebagai pioner diselenggarakannya pemilihan Gubernur secara langsung, nan dipilih oleh masyarakat seluruh Jakarta nan memenuhi persyaratan sebagai pemilih. Hasil Pilkada DKI nan terbukti berhasil dan Gubernur terpilih waktu itu Sutiyoso dan Fauzi Bowo sebagai wakil gubernurnya.

Keberhasilan pilkada DKI menjadi pelopor bagi provinsi lain di Indonesia. Begitu pun dengan daerah taraf dua seperti kabupaten dan kota madya ikut-ikutan mengadakan pemilihan kepala daerah. Tercatat pada 2005, sudah 200 acara pilkada nan diselenggara oleh KPU Kabupaten, maupun KPU provinsi di seluruh Indonesia. Sejarah pun mendokumentasikan bahwa 2005 merupakan sejarah baru bagi pemilihan kepala daerah di Indonesia.



Tujuan dari Pilkada

Guna mewujudkan demokrasi Pancasila secara real, maka wacana pemilihan taraf daerah wajib direalisasikan agar asas keadilan masyarakat bisa dipenuhi. Tujuan Pilkada semata-mata sebagai upaya pemerintah buat mencari pemimpin daerah nan benar-benar mumpuni dalam memajukan daerahnya supaya makmur, dan rakyatnya sejahtera.

Berikut ini merupakan klarifikasi dari tujuan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) nan digelar di setiap daerah di wilayah Indonesia:



1. Tujuan Pilkada - Implementasi Demokrasi Pancasila

Tujuan pilkada nan pertama ialah mengimplementasikan demokrasi Pancasila. Asas demokrasi nan dianut oleh Indonesia ialah Demokrasi Pancasila. Kenapa nan dipakai Pancasila sebagai landasan bernegara? Karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku nan memiliki disparitas budaya dan adat.

Oleh Karena itu, Pancasila nan berasaskan Berbeda-beda Tunggal Ika Ini, dirasa tepat sebagai landasan demokrasi Indonesia. Demikian juga segala bentuk kehidupan dan kepemerintahan harus sinkron dengan demokrasi Pancasila termasuk dalam pemilihan Daerah/ Pilkada. Demikianlah mengapa pilkada begitu perlu diselenggarakan pada setiap level kepemerintahan.



2. Tujuan Pilkada - Wujud Reformasi Kepemimpinan

Salah satu tujuan dilaksanakan pilkada antara lain mewujudkan reformasi kepemimpinan di taraf daerah. Maksudnya ialah mencari sosok pemimpin reformis nan dapat diajak bekerjasama dan terbuka terhadap masukan demi kemajuan daerah.

Dengan diadakannya pilkada berarti meniadakan kelanggengan kepemimpinan, sebab menurut UU Pemerintah Daerah, periode kepemimpian daerah hanya dua kali periode. Selebihnya tidak diperbolehkan memimpin lagi.



3. Tujuan Pilkada - Mencari Pemimpin Terbaik

Berbeda dengan masa orde baru, bupati dan walikota ditunjuk langsung oleh Menteri Dalam Negeri, selayaknya promosi jabatan. Jadinya masyarakat tidak begitu mengenal sosok latar belakang bupati dan gubernurnya. Dengan mengadakan pilkada, calon pemimpin suatu daerah akan cukup dikenali rakyatnya.

Fungsi pilkada merupakan ajang pemilihan sosok leader terbaik nan diusung oleh partai politik. Seleksi pendaftaran bakal calon kepala daerah begitu ketat dan harus disokong oleh partai politik dan nan paling krusial ialah memiliki wawasan dan manajemen daerah.

Calon pemimpin juga mengerti kemauan rakyatnya dan potensi daerahnya agar kelak dapat dikembangkan menjadi sumber pemasukan daerah. Sebelum agenda primer yakni pilkada, bakal calon biasanya dipertemukan dalam ajang debat, memaparkan misi dan visinya jika mereka kelak terpilih memimpin suatu daerah.

Dalam ajang debat, dapat diketahui dan dinilai oleh masyarakat, siapa saja nan paling tepat memimpin daerahnya. Selain sesi debat, KPU juga memberikan kesempatan bakal calon kepala daerah nan mengikuti pilkada buat turun ke lapangan menggelar kampanye. Dalam kampanye ini bakal calon berorasi menyampaikan misi dan visinya kepada masyarakat setempat, sambil berkampanye mereka meminta dukungannya.



4. Tujuan Pilkada - Mewujudkan Pemerintah Transparan

Salah satu tujuan diselenggarakannya pilkada ialah mewujudkan pemerintahan nan baik atau good government . Yang dimaksud dengan pemerintahan nan baik ialah sebuah sistem pemerintah nan transparan, akuntable dan higienis dari tindakan illegal seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Good government sebagai tujuan pilkada merupakan gerakan nan diprakarsi oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Semakin baik manajemen kepemerintahan, semakin baik pula pelayanan pemerintah terhadap rakyatnya. Salah satu agenda good government adalah pemberantasan korupsi nan menjadi masalah besar negara ini.



Pilkada nan Menjadi Bertentangan dengan harapan

Namun sayangnya sejak pilkada dilaksanakan pada 2005 sampai sekarang, tidak selamanya berjalan mulus. Ada saja aksi illegal nan memprotes hasil pilkada dengan bermacam-macam alasan, misalnya ada kecurangan dalam penghitungan suara, money politic dan penggelembungan suara, masih banyak lagi.

Kecurangan-kecurangan ini dilakukan oleh oknum-oknum ini nan merusak atsmosfer demokrasi Pancasila dan merusak prestise bangsa di mata internasional. Jangan sampai tujuan pilkada nan mencari pemimpin baik tercemar sebab ulahnya sendiri, lantaran tidak terima kalah dalam persaingan pilkada.

Pemimpin nan baik harus mengakui kekalahannya dan mendukung program pemimpin terpilih. Berikut ini bertentangan dengan harapan nan timbul dari pilkada nan harus dibenahi oleh pemerintah:



1. Bertentangan dengan harapan Pilkada - Pilkada Sebagai Ajang Memboroskan Uang

Salah satu masalah besar pilkada ialah butuhnya biaya nan besar buat mengadakan pemilihan kepala daerah. Untuk selevel kabupaten saja KPU harus menyediakan dana sebesar 5 milyar buat kabupaten kecil sedangkan pilkada ditingkat provinsi butuh 20 milyar rupiah guna menyelenggarakan pilkada.

Di sisi lain, orang nan berminat mengikuti pilkada harus menyediakan dana milyaran guna membentuk dan membiayai team suksesnya. Estimasi kasar satu pasang bakal calon kepala daerah mengeluarkan dananya hampir 2 milyar buat memuluskan ambisinya menuju kursi bupati.

Biaya itu akan membengkak lagi ketika seseorang nan mengikuti pilkada ingin maju mengincar kursi gubernur, dia harus mau mengeluarkan duit sebesar 25 milyar guna membiayai persaingan menuju jabatan gubernur. Tak pelak sebagian ahli politik melihat masalah ini, merupakan sebuah pemborosan nan luar bisa.

Betapa tak uang dikeluarkan hanya buat sebuah kerja spekulasi nan jelas belum tentu dia menang dalam perolehan suara dalam ajang pilkada.



2. Bertentangan dengan harapan Pilkada - Pilkada Sebagai Pemicu Korupsi

Masalah berikutnya dari pilkada ialah munculnya korupsi baru, ketika si pemimpin terpilih menjabat pemimpin dearah kelak. Mengingat buat mengincar (memenangkan pilkada) jabatan kepala daerah dia sudah menguras tabungannya lumayan banyak atau bahkan pinjam dari koleganya.

Otomatis setelah si calon pemimpin terpilih dalam pilkada, langkah berikutnya nan diambil ialah bagaimana mengembalikan kapital nan dihabiskan selama kampanye dan mengembalikan utangnya berikut dengan bunganya juga.

Kontrak politik dengan penyandang dananya pun wajib dipatuhi. Caranya si pemimpin terpilih dalam pilkada ini, kelak harus memberi jatah proyek kepada para pendukungnya. Inilah nan menjadi biang keladi timbulnya korupsi, korupsi dan nepotisme di daerah. Ini ialah bertentangan dengan harapan dari pilkada atau orang nan ingin mencari jabatan secara instant dengan donasi kapital besar.



3. Bertentangan dengan harapan Pilkada - Pemicu Tidak selaras dengan Pejabat Pemerintahan

Memang setiap warga negara nan memenuhi syarat berhak mengikuti pilkada. Namun ada kalanya pemimpin daerah nan berlatar belakang bukan dari kepemerintahan atau menguasai ilmu kepemerintahan. Ketika menjabat menjadi bupati maupun gubernur, dengan seenaknya merombak tatanan kepemerintahan nan sudah baik, hanya semata-mata mewujudkan reformasi.

Padahal dia tidak mengerti sahih bagaimana manajemen birokrasi. Akhirnya timbulkan bentrokan antara bupati instan dengan birokrat nan menjalankan sistem tata negara dampak pilkada. Banyak sekali masalah disharmonis dilingkungan pemerintah daerah nan berakhir dengan mutasi pejabat gara-gara bupati tidak menyukai pejabat A maupun B.

Kerusuhan sebab pilkada wujud gagalnya pembelajaran politik swatantra ada nan sukses dilaksanakan ada nan berakhir di meja pengadilan sebab berbagai macam penyebab dan kecurangan. Masalah nan paling parah ialah timbulnya kerusuhan nan memakan korban jiwa maupun materi gara-gara hasil perolehan suara di pilkada.

Sebetulnya protes itu diperbolehkan bahkan kontestan pilkada nan tidak puas, dapat membawa masalah ini di pengadilan. Namun sebab gagalnya pembelajaran politik di masyarakat, akhirnya demokrasi nan diharapkan menumbuhkan harmonis, berubah menjadi prahara di daerah. Kerusuhan pun timbul di mana-mana, masyarakat setempat menjadi cemas, dan saling curiga.

Gagalnya pilkada di beberapa daerah membuktikan kegagalan pembelajaran politik dimasyarakat. Demikian juga kandidat bakal calon, tidak siap menerima kekalahan. Padahal pemimpin sejati ialah sosok nan mau menang dan siap kalah.

Janganlah pilkada dijadikan pemicu disintregasi bangsa. Mari kita majukan pendidikan politik bangsa, agar setiap selesai pilkada berarkhir dengan pengharapan nan lebih baik seiring terpilihnya pemimpin daerah.