Proses Evolusi Makna Puitik dalam Berbagai Contoh Puisi
Puisi merupakan salah satu aliran karya sastra nan banyak digemari masyarakat, baik dalam tulisannya maupun bacaannya. Sayangnya, pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai contoh puisi nan bagus kurang dimiliki, sehingga puisi picisan pun kerap dianggap sebagai puisi nan berkualitas bagi sebagian masyarakat nan awam terhadap puisi.
Setiap generasi kepenyairan memiliki contoh puisi nan masing-masing melambangkan gaya dan karakteristik khas generasi tersebut. Ada nan disebut angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 45, angkatan 66, dan generasi selanjutnya nan lebih bersifat kontemporer, mbeling, dark poem, bahkan keluar dari puisi lazim nan selama ini dieratkan dengan syarat-syarat tertentu.
Contoh puisi nan dibuat oleh para generasi Pujangga Baru mengusung nilai-nilai nan sukses mengeluarkan puisi dari dogma pantun dan syair lama. Meskipun pada generasi berikutnya, angkatan 45 membuat puisi seolah-olah berubah sama sekali dengan adanya pemberontakan bentuk dan makna puisi di dalamnya.
Proses puitik tersebut tak lepas dari kehidupan nan dimiliki oleh para penyair di tiap generasi. Pada generasi Balai Pustaka dan Pujangga Baru, para penyair masih merefleksikan diri mereka nan ingin membuat semangat perpuisian baru dengan cara nan masih ortodok lewat contoh puisi mereka.
Lain halnya dengan para penyair generasi angkatan '45 dan '66 nan telah mampu menyuarakan kebebasan dalam contoh puisi nan mereka buat. Dalam hal ini, kebebasan tersebut merupakan representasi dari kebebasan individu nan dimiliki oleh para penyair tersebut.
Akan tetapi, meskipun kedua generasi tersebut memiliki refleksi nan bhineka dalam hal membuat ungkapan dalam contoh puisi, keduanya juga memiliki satu kecenderungan nan oleh generasi berikutnya dianggap sesuatu nan terlalu tinggi.
Keluhuran contoh puisi nan dibangkitkan oleh para penyair angkatan Balai Pustaka hingga angkatan '66 merupakan refleksi bahwa kehidupan pada zaman tersebut masih memerlukan perjuangan dan pemikiran nan amat serius dan bernilai luhur (satu di antara refleksi tersebut ialah perjuangan bangsa Indonesia buat terbebas dari belenggu penjajahan).
Proses Evolusi Makna Puitik dalam Berbagai Contoh Puisi
Seperti nan sudah disebutkan di atas, contoh puisi dari para penyair generasi Balai Pustaka hingga angkatan '66 memiliki titik keseriusan nan berbeda dengan makna puitik nan dihadirkan para penyair generasi selanjutnya.
Pada tahun 70-an, para penyair melakukan evolusi terhadap contoh puisi nan mereka buat. Dalam evolusi ini, puisi tak lagi dipandang sebagai sesuatu nan harus bernilai adiluhung sekaligus sakral, tapi juga dapat menjadi bentuk lelucon paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Remy Sylado dan Sutardji Calzoum Bachri membuktikan evolusi ini dengan contoh puisi mBeling mereka. Puisi bukan lagi kata-kata nan dipilih dan disusun sedemikian rupa buat menjadi satu keutuhan bentuk dan makna, tapi menjadi jati diri makna itu sendiri.
Dalam puisi mBeling, para penyair membuat contoh puisi nan menyajikan mantra, kata-kata berhamburan nan menurut kita tanpa makna, dan banyak lagi pembaharuan lain nan mendongkrak nilai-nilai ortodok puisi sebelumnya.
Setelah puisi mBeling, maka muncullah contoh puisi nyata nan tak hanya mengandalkan huruf dan kata-kata dalam pemaknaan puisi, tapi juga menempatkan benda-benda dan berbagai bentuk rupa dan rona nan dapat mewakili apa nan ada dalam pikiran dan perasaan penyair saat itu.
Salah satu orang nan menggagas contoh puisi nyata ini ialah Danarto. Ia menggunakan berbagai barang nan disusun dengan barang lainnya secara tak korelatif buat membentuk makna nan lebih liar dari pada kata-kata. Puisi nyata ini, kemudian sering juga disebut dengan bermacam-macam nama, di antaranya ialah puisi instalasi dan puisi rupa.
Lalu pada perkembangannya, contoh puisi nyata ini diteruskan oleh penyair Afrizal Malna, nan lebih memilih menggunakan kata-kata buat membuat ruang puisinya menjadi konkret, ketimbang barang-barang nan disusun serupa contoh puisi nyata nan dilakukan oleh Danarto.
Afrizal Malna membuat contoh puisi nyata miliknya nan dikenal pula dengan sebutan dark poem atau puisi gelap nan lebih menekankan makna itu sendiri ketimbang bentuk nan menghasilkan makna.
Lantas evolusi contoh puisi semakin berlanjut hingga akhirnya puisi menemukan dirinya nan lain dalam bentuk prosa. Dewasa ini, para penyair tak lagi memperhitungkan bentuk sebagai bagian dari pemaknaan sebab makna akan muncul dari kata-kata nan keluar sebagai puisi konkret.
Benda-benda nan dapat diucapkan lewat kata-kata menjelma menjadi sebuah makna nan hanya dapat ditangkap oleh indra visual kita. Puisi-puisi nyata meyakinkan pembaca bahwa bukan hal nan dibaca atau didengar nan dapat membuat pemahaman puisi menjadi lebih intens, akan tetapi lewat visualisasi nan dihasilkan dari contoh puisi tersebutlah, sehingga menghasilkan pemaknaan nan lebih dalam dari hanya membaca atau mendengarkan puisi.
Berikut ini ialah contoh puisi nyata nan merupakan hasil evolusi paling akhir nan dilakukan para penyair kontemporer, salah satunya ialah Afrizal Malna nan mengusung nilai-nilai gelap dalam puisi-puisinya.
Nama dari Biru
(dalam kumpulan puisi