Islam Kultural Orde Baru

Islam Kultural Orde Baru

Islam politik ialah sebutan bagi sebuah gerakan nan menganut paham kesatuan agama (islam) dan negara (politik). Istilah islam politik sering digunakan pengamat dalam mencermati suatu gejala politik kekuasaan nan mengatasnamakan agama. Islam politik juga berarti konduite individu atau kelompok nan melandaskan perjuangan islam pada penegakkan syariat dan negara islam.



Memahami Islam Politik

Islam memang sejatinya tak hanya berupa agama nan berisikan ajaran mengenai bagaimana perbuatan buat ibadah seorang hamba dengan penciptanya. Namun islam ialah sebuah paham nan berdasar pada sebuah keyakinan akan keberadaan Allah dengan segala anggaran nan melingkupi kehidupan manusia.

Islam telah diturunkan oleh Allah kepada manusia sebagai sebuah anggaran buat mengatur kehidupan mereka. Karena memang Allah ialah Pencipta dari seluruh apa nan ada di alam sehingga segala anggaran nan dibuat ini ialah buat menciptakan keteraturan dalam kehidupan.

Islam juga tidak hanya berisikan ajaran mengenai interaksi manusia dengan Tuhannya saja namun juga berisikan ajaran nan menyangkut kehidupan manusia di dalam masyarakat nan berkenaan dengan orang lain. Inilah nan ada di dalam hukum Islam nan seharusnya diterapkan di setiap sendi kehidupan. Dengan dasar inilah maka memang Islam bisa disebut sebagai sebuah agama politik sebab memiliki anggaran buat kehidupan masyarakat secara praktis.

Hal ini seperti apa nan telah dijalani oleh rasul sejak tiba di Madinah, di mana beliau telah meletakan sendi peraturan Islam di setiap segi kehidupan masyarakat madinah saat itu.

Dan hal ini pula nan terus ada walaupun Rasul telah meinggal. Ketika Rasul meninggal maka dilanjutkanlah penerapan hukum islam dalam bingkai politik di tangan para khulafaur Rasyidin. Dan setelah ke empat sahabat mulia Nabi ini mati maka dilanjutkanlah oleh para Khalifah aatau pengganti Rasul dalam menerapkan hukum Islam.

Memang kemudian penerapan hukum Islam menemui masa di mana diterapkan dengan buruk. Inilah nan kemudian menyebabkan penerapan islam politik tidak ada di dalam global ini. yaitu sejak terjadinya pembebasan Turki di mana pada saat itu Turki ialah satu-satunya bagian dari negara islam nan masih ada.

Dengan hilangnya negara Islam nan menerapkan hukum Islam secara menyeluruh di dalam semua sendi kehidupan masyarakat, maka hal ini membangkitkan semangat dari banyak kalangan, terutama nan merasa menaruh perhatian pada kewajiban buat menegakan syariat Islam, melakukan upaya atau perjuangan buat menegakan kembali syariat Islam.

Perjuangan ini muncul di banyak negara terutama di jazirah Arab nan memang ialah cikal bakal dari negara Islam terdahulu. Perjuangan inipun bisa dirasakan pula oleh penduduk Indonesia sebab memang turut dilakukan oleh beberapa orang nan menaruh perhatian pada upaya buat menegakan kembali syariat Islam di muka bumi ini.



Islam Politik Orde Lama

Pada masa orde lama, umat islam memang hanya mengenal teori tunggal tentang kesatuan agama dan negara. Sehingga keduanya tak dapat dipisahkan dan terkait erat baik secara legal-formal maupun substansial.

Keyakinan mereka akan kesempurnaan ajaran islam nan meliputi urusan politik dan bernegara meniscayakan upaya pendirian negara islam dan penegakkan syari’at islam sebagai cita-cita bersama. Ketika itu semua parpol islam dan ormas islam --termasuk NU dan Muhammadiyah—memiliki pandangan nan seragam dalam menentukan agama (islam) sebagai dasar negara.

Apa nan terjadi dalam sidang PPKI satu hari pasca kemerdekaan diproklamirkan, telah menunjukkan perjuangan buat islam politik dalam memformalkan agama di kehidupan bernegara.

Pimpinan-pimpinan organisasi islam ketika itu sangat menginginkan agar sila pertama nan berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ jangan dihapus. Ini ialah hasil keputusan Piagam Djakarta nan harus dimasukkan dalam konstitusi. Meskipun upaya di atas akhirnya kandas dan berujung pada kemenangan kaum sekuler, akan tetapi perjuangan buat islam politik tak berhenti sampai di situ.

Pasca pemilu pertama yakni tahun 1955, perwakilan umat islam di parlemen nan cukup banyak jumlahnya ketika itu, kembali berusaha memasukkan Piagam Djakarta dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia nan baru. Tapi lagi-lagi upaya ini menemui ‘kekalahan’. Perumusan Undang Undang Dasar nan hampir mendekati rampung tersebut, akhirnya dihentikan Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 nan isinya antara lain adalah permbubaran konstitunte dan kembali pada Pancasila serta UUD ’45.



Islam Kultural Orde Baru

Meninggalkan hingar-bingar politik aliran, memasuki masa orde baru, para cendekiawan muslim berupaya merumuskan kembali teori politik islam nan lebih sinkron dan kompatibel dengan perkembangan jaman. Selain sebab kegagalan berulang-ulang perjuangan buat islam politik pada masa orde lama, generasi baru ini merasa perlu mengkoreksi praktek politik islam para pendahulunya.

Dari sini lah kemudian dikenal ‘istilah baru’ islam kultural sebagai anti tesis dari praktek islam politik ‘yang lama’. Tesis islam kultural ini lebih menekankan pendekatan substansial ketimbang formal. Teori politik islam substansialistik ini pula nan beranggapan bahwa interaksi antara agama dan negara tak harus bersifat legal-formal.

Tidak perlu menjadikan agama sebagai dasar negara, akan tetapi ketika pemerintahan dijalankan sinkron dengan nilai-nilai islam seperti; musyawarah, keadilan sosial, kesetaraan di depan hukum dan substansi lain nan terkandung dalam Alquran dan sunnah, maka negara sudah dapat dikatakan islami.

Di tengah empiris politik orde baru nan semakin otoriter kala itu, gerakan islam kultural pun semakin banyak diterima kalangan aktivis muslim terutama ketika rezim memaksakan asas tunggal Pancasila kepada seluruh Ormas dan parpol. Pancasila sukses menjadikan Indonesia bukan negara islam bukan pula negara sekuler.



Tiga Tipologi

Perjuangan islam politik dalam sejarah republik telah mewarnai perkembangan pemikiran umat islam Indonesia. Sehingga di era reformasi dewasa ini, teori politik islam tak lagi tampil dalam satu wajah. Umat islam di tanah air memang menganut kitab dan sunnah nan satu, akan tetapi pada prakteknya mereka terbelah-belah dalam konkurensi pemahaman nan berbhineka

Meskipun demikian, upaya menafsirkan kembali interaksi agama dan Negara, biasanya hanya bermuara pada tiga teori primer yakni; kelompok formalis, sekuler dan substansialis. Dengan kata lain ialah; mereka nan mengingini penyatuan agama dan Negara, mereka nan hendak memisahkan agama dari Negara, serta mereka kaum moderat nan tak mau dimasukkan dalam dua kutub ekstrem di atas.

Tiga tipologi pemikiran di atas kerap muncul ke permukaan terutama ketika menemui isu-isu pemberlakuan syariat Islam, perda syariat, dasar negara dan kebangkitan Islam di masa depan.

Untuk iklim atau keadaan saat ini, tiga tipologi ini memang memiliki nama nan baru, yaitu fundamentalis, liberal dan juga moderat. Karena memang musuh Islam tidak akan pernah bahagia jika akan ada penerapan kembali syariat islam di muka bumi ini maka merekapun berusaha buat melakukan segala hal buat memecah belah umat muslim saat ini.

Tipe fundamentalis selalu dicap sebagai biang terorisme atau kekerasan. Keberpegangteguhan mereka pada syariat islam dianggap sebagai sebuah hal nan lucu dan tidak lagi up todate. Atau bahkan ada sebagian orang nan mengatakan sebagai sebuah hal nan utopis buat menerapkan syariat Islam.

Sedangkan nan tipe liberal berusaha semaksimal mungkin buat meracuni pemikiran umat dengan memutar balikan fakta nan ada dengan dalil nan ngawur dan kacau. Si moderat merasa begitu enak dengan keadaan nan sudah seperti ini dan tidak mau lagi disibukan dengan aktivitas perjuangan nan melelahkan.

Inilah bentuk perjuangan buat Islam nan ada pada saat ini. begitu banyak aral rintangan dan godaan nan selalu datang di medan perjuangan. Namun masih ada beberapa kelompok nan begitu teguh dengan apa nan mereka yakini dan bawa bahwa memang syariat Islam dalam keadaan apapun haruslah diterapkan dan ditegakan. Syariat Islam tidak sekedar teori di dalam buku namun haruslah diterapkan secara praktis.

Semangat beberapa kelompok ini bukan tidak berdasar. Karena memang apa nan mereka perjuangkan ialah sebuah kewajiban primer bagi seluruh kaum muslim. Dengan diterapkannya syariat islam maka islam akan membuktikan kemampuan dirinya buat bisa menjadi rahmatan lil alamin, rahmat atau berkah bagi seluruh alam.

Sedangkan saat ini, pintu kemenangan sudah semakin dekat. Perjuangan islam sudah menunjukan cahaya kemenangan. Hanya tinggal menunggu waktu di mana global sedang menunggu kembali tegaknya syariat islam di bumi Allah.