Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-Kata
Suka membaca dan punya keinginan menulis? Jangan remehkan suara-suara nan sayup terdengar dari hati Anda, misalnya hobi nan selalu ingin Anda kerjakan. Dapat jadi itulah pilihan terbaik nan dapat diikuti dan menjadi penentu masa depan. Salah satunya sastrawan nan satu ini. Gara-gara mengikuti hobi nan ditekuninya semasa kecil, pengarang lebih dari seribu cerpen ini menemukan impian nan sesungguhnya. Berdedikasi pada bidang seni, salah satunya menjadi penulis.
Putu Wijaya cilik akrab sekali dengan pelajaran Bahasa, Seni, dan Ilmu Bumi. Dia bahagia membaca, mulai dari buku sastra Komedi Manusia karya William Saroyan hingga buku karangan Karl May. Pria kelahiran Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944 ini menekuni hobi membaca sembari melakoni seni pertunjukkan teater. Dari sanalah dia mengukuhkan diri sebagai seorang seniman.
Setelah puas membaca sekian banyak judul buku, ketua Teater Berdikari ini mulai merambah global menulis. Cerpen Putu Wijaya banyak menghiasi koran ibu kota, seperti Kompas dan Sinar Harapan. Passion nya menulis ialah fiksi. Lebih dari 30 judul novel fiksi, 40 naskah drama, ratusan esai, kritik drama, dan tulisan lepas telah terlahir dari bapak nan suka mengenakan topi pet putih ini.
Penghargaan nan Diterima Putu Wijaya
-
Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogyakarta)
-
Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
-
Pemenang penulisan novel IKAPI
-
Pemenang penulisan drama BPTNI
-
Pemenang penulisan drama Safari
-
Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
-
Tiga buah Piala Gambaran buat penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
-
Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
-
Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
-
Pemenang penulisan esei DKJ
-
Dua kali pemenang penulisan novel Femina
-
Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
- Pemenang penulisan cerpen Kartini
Cerpen Bom
Putu sangat percaya pada insting. Ketika menulis, dia bahkan tak memiliki bahan apa pun. Semua ide mengalir begitu saja saat berada di depan komputer. Katanya, ada semacam galaksi dalam otak nan tak dia mengerti cara kerjanya, bukan sebuah hal mistis, tetapi seperti sebuah anugerah.
Seperti pada proses kreatif pembuatan cerpennya, Bom . Buku kompilasi cerpen nan dirilis pada 1978 ini merangkum ide-ide segar nan berdesakan di kepalanya. Berikut penggalan salah satu cerpen Putu Wijaya .
Joni tersenyum. "Dengan pikiran liar itulah saya hidup. Pikiran liar ialah kekuatan. Adalah kreativitas. Tanpa pikiran liar kita tak dapat menghasilkan apa-apa. Kalau itu dianggap berbahaya, konyol namanya. Tapi, ya, sedari kecil kita memang tak pernah diajar berpikir. Kita hanya diajar buat menghafal. Jadilah kita pengekor-pengekor. Jadilah kita sebagai robot-robot manis."
Panjang sekali ia bicara. Tumben. Tidak seperti biasanya nan berbicara singkat.
"Tapi, Joni, kulihat di kepalamu banyak sekali benda-benda kecil. Benda apakah itu?"
"Bom!"
"Bom?"
"Ya, dari pikiran liar itulah saya menciptakan bom-bom nan siap meledakkan dunia. Itulah kekuatan!"
Bergidik juga saya mendengarnya. Mengerikan sekaligus mengagumkan. Aku lalu berpamitan. Joni menahanku. "Makanlah dulu, saya sudah masak nasi dan menggoreng ikan kali. Ikan kali, enak lho."
***
Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-Kata
Aku menunggu setengah jam sampai toko kembang itu buka. Tapi satu jam kemudian saya belum sukses memilih. Tak ada nan mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir saya putuskan buat mencari ke loka lain, suara seorang perempuan menyapa.
"Mencari kembang buat apa Pak?"
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
"Bunga buat ulang tahun?"
"Yang harganya sekitar berapa Pak?"
"Harga tidak jadi soal."
"Bagaimana kalau ini?"
Ia memberi isyarat agar saya mengikuti.
"Itu?"
Ia menunjuk ke sebuah rangkaian kembang tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga nan sudah beberapa kali saya lewati dan sama sekali tidak menarik perhatianku.
"Itu aku sendiri nan merangkainya."
Mendadak kembang nan saya lihat dengan sebelah mata itu berubah. Tolol kalau saya tak menyambarnya. Langsung saya mengangguk.
"Ya, itu nan aku cari."
Dia mengangguk senang.
"Mau diantar atau dibawa sendiri?"
"Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?"
Ia kelihatan bimbang.
"Berapa duit?"
"Maaf sebenarnya ini tidak dijual. Tapi kalau Bapak mau, nanti aku bikinkan lagi."
"Tidak, saya mau ini."
"Bagaimana kalau itu?"
Ia menunjuk ke kembang lain.
"Tidak. Ini!"
"Tapi itu tak dijual."
"Kenapa?"
"Karena dibuat tak buat dijual."
Aku ketawa.
"Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?" kataku bercanda.
"Dua."
"Dua apa?""Dua juta."
Aku melongo. Mana mungkin ada kembang seharga dua juta. Dan kembang itu jadi makin indah. Aku mulai penasaran.
"Jadi, sahih - sahih tak dijual?"
"Tidak."
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk kembang lagi nan lain.
"Bagaimana kalau itu?"
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Ku keluarkan semua. Isinya 900 ribu. Jauh dari harga. Tapi saya taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
"Bapak mau beli?"
"Ya, tapi saya hanya punya uang 900 ribu. Itu juga berarti saya harus berjalan kaki pulang. Aku tak mengerti bunga. Tapi saya menghargai perasaanmu nan merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli kembang nan tidak dijual di sini."
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
"Ya, sudah bapak ambil saja. Bapak perlu berapa duit buat pulang?"
Aku terpesona tidak percaya.
"Bapak perlu berapa duit buat ongkos pulang?"
"Dua puluh ribu cukup."
"Rumah bapak dimana?"
"Cirendeu."
"Cirendeu kan jauh."
"Memang, tapi dilewati angkot."
"Bapak mau naik angkot bawa kembang nan aku rangkai?"
"Habis, naik apa lagi?"
"Tapi, angkot?"
"Apa salahnya. Bunga nan sebagus itu tak akan berubah meskipun naik gerobak."
"Buka begitu."
"O, kamu tersinggung kembang kamu dibawa angkot? Kalau begitu saya jalan kaki saja."
"Bapak mau jalan kaki bawa bunga?"
(bersambung ... lumayan capek kepala meleng meleng mengetikan cerpen ini dari Harian Kompas tanggal 17 Juli 2011)
"Ya, hitung - hitung olah raga."
Dia menatap tajam.
"Bapak dapat ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 ribu buat ongkos taksi."
Aku tercengang.
"Kurang."
"Tidak. Itu bukan hanya cukup buat naik blue bird, tapi juga cukup buat makan double BB di BK PIM."
Dia tersenyum cantik sekali.
"Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?"
"Tidak."
Dia berpikir.
"Jadi, bukan buat diberikan kepada seseorang? Bunga ini aku rangkai buat diberikan pada seseorang."
"Yang dicintai mestinya."
"Ya. Jelas."
"Sebaiknya bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini aku rangkai buat diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu nan terkenal. Misalnya Kahlil Gibran."
Aku terpesona lalu mengangguk.
"Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya sekaligus dituliskan."
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
"Sebaiknya bapak saja nan menulis."
"Tidak. Kamu."
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
"Kamu saja nan menulis."
"Tapi, aku tak tahu nan mana buat siapa dulu."
"Pokoknya nan bagus. Yang positif."
"Cinta, persahabatan dan sayang?"
"Semuanya."
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hafal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukan tulisannya, saya terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat nan ditarik dari sajak. Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
"Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata - kata."
Aku terharu. Pantas Nielson Mandela mengaku mendapat inspirasi buat bertahan selama 26 tahun di penjara Robben sebab puisi.
"Bagus?"
Aku tiba - tiba tidak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat - cepat kuhapus.
"Saya juga sering menangis membacanya, Pak."
"Ya?"
"Ya, tapi sebaiknya bapak tanda tangani sekarang, nanti lupa."
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
"Kamu saja nan tanda tangan."
"Kenapa saya?"
"Kan kamu tadi nan menulis."
"Tapi ini buat Bapak."
"Ya. Memang."
Ia bingung.
"Kamu tak mau menanda tangani apa nan kamu tulis?"
"Tapi, aku menulis ini buat Bapak."
"Makanya!"
Ia kembali bingung.
"Kamu tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun untuk aku?"
Dia bengong.
"Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat."
"Jadi kembang ini buat Bapak?"
"Ya"
"Bapak membelinya buat Bapak sendiri?"
"Ya. Apa salahnya?"
"Bapak nan ulang tahun?"
"Ya."
Dia menatapku tidak percaya.
"Kenapa?"
"Mestinya mereka nan mengirim kembang buat Bapak."
"Mereka siapa?"
"Ya, keluarga Bapak, teman - teman Bapak. Anak Bapak. istri Bapak, atau pacar Bapak ..."
"Mereka terlalu sibuk."
"Mengucapkan selamat tak pernah mengganggu kesibukan."
"Tapi itu kenyataannya. Jadi saya beli kembang buat diriku sendiri dan ucapkan selamat buat diriku sendiri sebab kau juga tak mau!"
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu saya ambil kembang itu.
"Terimakasih. Baru sekali ini saya ketemu kembang nan harganya 900 ribu."
Aku tersenyum buat meyakinkan dia kalau saya tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapatkan hadiah ulang tahun nan lain dari nan lain.
Tapi sebelum saya keluar pintu toko, dia menyusul.
"Ini uang Bapak," katanya memasukan uang ke kantong bajuku, sambil meraih kembang dari tanganku, "Bapak simpan saja."
"Kenapa? Kan sudah saya beli?"
Aku raih kembang itu lagi, tapi dia mengelak.
"Tidak perlu dibeli. Ini hadiah bagiku buat Bapak. Dan saya mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku."
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah nan nyengir di depan toko.
"Aku pemilik toko ini."
Aku terkejut. Sejak saat itulah hidupku berubah.
***
Cerdas dan lugas, mungkin itu nan dapat kita nilai dari sepenggal cerpen Putu Wijaya di atas. Kata-kata nan dirangkai begitu sederhana namun terselip pesan moral di dalamnya. Sungguh cara penyampaian tulisan nan berbeda. Bagaimana dengan Anda, siap buat mengikuti jejak seorang Putu Wijaya dalam menulis?