Sejarah Grafiti, Perkembangan dan Persoalannya
Jargon-jargon tersebut diikuti dengan kartun bergambar cicak, tikus, dan buaya, ramai menghiasi tembok Jakarta ketika kasus kriminalisasi KPK mencuat beberapa waktu lalu. Bahkan, di pilar-pilar proyek monorail dekat gedung DPR pun mudah kita temui aneka gambar insinuasi buat pejabat negara. Tembok nan dipenuhi gambar-gambar "nakal" ini biasa kita kenal dengan nama grafiti.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai grafiti, kita harus mengenal sejarah grafiti. Berdasarkan cerita nan dibawa oleh sejarah grafiti, kata grafiti berasal dari bahasa Italia, graffito , nan berarti 'goresan di tembok'. Istilah ini telah dikenal sejak pertengahan abad ke-19. Grafiti kini dikenal sebagai gambar atau kata-kata nan dilukiskan pada tembok atau permukaan keras apapun di loka umum. Masih ingat film Alexandria?
Sejarah grafiti mengantarkan grafiti menuju perdebatan. Perdebatan nan terjadi antara apakah grafiti ialah sebuah seni, sebuah tindakan kriminal, atau simbol perjuangan rakyat. Yang jelas, mayoritas pemuda di seluruh Indonesia, bahkan di dunia, masih memberi cap kriminal pada para bomber (satu atau sekelompok orang nan membuat grafiti).
Sejarah grafiti mau tak mau juga ikut berperan dalam berbagai permasalahan nan terjadi di seni grafiti itu sendiri. Mereka dianggap merusak estetika fasilitas generik sehingga banyak cara dilakukan buat "menertibkannya". Kaum bomber sendiri, nan didominasi pemuda, dikenal suka membuat "kejutan". Mereka biasa beraksi di malam buta sehingga membuat kaget warga nan menemukan tembok lingkungannya sudah penuh lukisan di pagi hari.
Di Amerika, para pelaku kejahatan ringan nan masih remaja biasa dihukum membersihkan grafiti di tembok kota. Masyarakat Jakarta sekitar 1990-an niscaya ingat keberadaan Tugu Corat-coret, sebuah tugu berbentuk tembok polos dan tinggi nan bebas digambari. Dengan asa para bomber berhenti melampiaskan kreativitasnya di fasilitas umum. Rangkaian peristiwa tersebut semakin menambah panjang cerita sejarah grafiti.
Namun, ada kalanya grafiti tak dianggap sebagai "musuh", antara lain ketika beberapa instansi pemerintah dan sekolah bekerja sama melukisi pilar-pilar flyover sepanjang Jl. Yos Sudarso, Jakarta. Grafiti nan sarat pesan budaya dan pendidikan itu justru dipuji sebab membuat pemandangan pilar kelabu nan menjemukan di sepanjang jalan menjadi lebih cerah. Sejarah grafiti tetap tak dapat dilepaskan dari perkembangan grafiti sekarang ini. Diluar konteks baik atau buruk, nyatanya grafiti tetap dipandang sebagai salah satu bentuk kreativitas.