Filosofi Islam dalam Peninggalan Bersejarah
Dahulu, sejarah Islam di Andalusia pernah bertorehkan tinta emas. Puncak dari peradaban nan bernafaskan nilai-nilai keagamaan. Daratan Andalusia (Spanyol) menjadi saksi bagaimana selama kurang lebih delapan abad, Islam membangun sebentuk kehidupan masyarakat nan mengagumkan.
Daratan Andalusia
Bermula dari kedatangan Thariq bin Ziyad, seorang panglima perang Islam bersama 7.000 pasukannya pada Mei 711 Masehi. Panglima besar dari Kekhalifahan Umayyah di Damaskus tersebut memasuki Selat Gibraltar nan terletak di Teluk Algeciras, kemudian menaklukkan kota-kota krusial saat itu. Yaitu Toledo, Elvira, Granada, Cordoba, Malaga, Zaragoza, Aragon, Leon, Asturia, dan Galicia. Penyebaran Islam ke Eropa pun dimulai sejak waktu itu.
Selama delapan abad lamanya, jazirah Iberia (sebelum bernama Andalusia) menjadi simbol kegemilangan Islam di tanah Eropa. Andalusia dengan kota utamanya yaitu Cordoba, disebut sebagai pusat peradaban Islam saat itu setelah Kota Bagdad di Timur Tengah (Irak).
Kegemilangan peradaban dan kebudayaannya bisa dilihat dari kota-kota besar nan ada saat itu. Di kota-kota tersebut berkumpul ribuan para kaum cendikia (intelektual). Baik itu nan beragama muslim, yahudi hingga nasrani. Setiap komunitas memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus nan melahirkan kebangkitan ilmiah (science), sastra, dan pembangunan fisik (arsitektur) di Andalusia. Semuanya tumbuh pesat seiring dengan syiar agama Islam.
Salah satu contoh tingginya peradaban Islam (khususnya seni arsitektur) dapat dilihat dari peninggalan bangunannya, yaitu keberadaan Istana Al Hambra. Istana nan hingga kini keindahannya selalu bisa membuai mata. Jejak sejarah kegemilangan Islam.
Andalusia sebelum kedatangan peradaban Islam termasuk wilayah nan rendah taraf kebudayaannya. Di bawah kekuasaan kerajaan Visigoth, Andalusia bukanlah salah satu pusat peradaban Eropa saat itu. Namun semenjak kedatangan Islam, Andalusia berubah menjadi pusat ilmu pengetahuan global dan berkontribusi besar atas kemajuan peradaban di Eropa hingga saat ini.
Tokoh-Tokoh Intelektual Andalusia
Peperangan dalam Islam bukan buat memusnahkan. Tapi sebaliknya, memberi kehidupan bagi setiap manusia nan bernaung di dalamnya. Itu sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai suatu wilayah, bukan penjajahan nan terjadi. Tapi, mendorong wilayah tersebut buat mengoptimalkan segala potensinya. Membawa kehidupan surga di langit agar dinikmati oleh manusia di bumi.
Hal ini terbukti ketika nilai-nilai Islam menaburi daratan Andalusia, bermunculan banyak tokoh-tokoh intektual kelas dunia. Sebutlah, Ibnu Thufail (1107-1185), Ibnu Bajjah (1082-1138), Ibnu Zuhr/Avenzoar (1091-1162), Ibnu Rusyd/Averroes (1126-1198), Ibnu Arabi (1164-1240), dan lain-lain.
Dua nama terakhir, yaitu Ibnu Rusyd dan Ibnu Arabi termasuk cendikia nan ketenarannya hingga ke daratan Eropa. Mereka disebut sebagai "penyambung lidah" kebijaksanaan/filsafat Yunani nan sempat hilang ketika Eropa dilanda kegelapan intelektual pada abad pertengahan (medieval).
Sayangnya, segala kegemilangannya itu berakhir pada 1492 ketika Kota Granada ditaklukkan kembali (reconquista) oleh Ratu Isabella dan Raja Fernando dari kerajaan Castilla, Spanyol. Mengikis habis kekuasaan Islam sejak berabad lamanya di bumi Andalusia.
Namun, kekuasaan dan estetika Andalusia tak pernah berhenti bergema di seluruh telinga masyarakat dunia. Kedua hal tersebut akan selalu menjadi kenangan bagi sejarah Islam di Andalusia.
Filosofi Islam dalam Peninggalan Bersejarah
"Tidak ada pemenang selain Allah" begitulah tulisan nan sering ditemui jika kita mengunjungi bangunan bersejarah peninggalan Islam di Andalusia. Tulisan tersebut bisa dilihat dalam bentuk ukiran dinding pada bangunan bersejarah tersebut.
Terdapat 100 tulisan nan berbunyi seperti itu pada ukiran dindingnya. Selidik punya selidik, tulisan tersebut ternyata merupakan motto nan menjadi karakteristik khas Dinasti Nasrid nan pernah berkuasa di Andalusia pada tahun 1238.
Selain tulisan tersebut, ada juga tulisan lain nan terpampang di dinding bangunan bersejarah di Andalusia. Tulisan tersebut berbunyi "kebahagiaan abadi" sebagai bukti bahwa ada kebahagiaan nan menjadi asa apabila hanya berpegang teguh kepada kemenangan Allah.
Tulisan dalam bentuk kaligrafi arab tersebut tersebar hampir di seluruh bangunan Islam nan ada di Andalusia. Selain itu, banyak pula sejarawan nan hendak meneliti serta mengkaji berbagai ukiran tersebut dengan asa mampu membuat sebuah wacana dengan makna dan filosofi Islam nan dipercaya oleh masyarakat Islam Andalusia pada saat itu.
Tidak hanya itu, para budayawan dan sejarawan juga bahkan menggunakan berbagai alat teknologi canggih berupa kamera digital dan pemindai laser tiga dimensi buat meneliti ukiran nan terdapat di dinding bangunan tanpa harus menyentuhnya atau melihatnya dari jeda dekat.
Namun, ada juga loka kaligrafi nan agak sulit dijangkau, yakni pada pilar tiang penyangga di Istana Alhambra dengan huruf nan juga sulit dibaca. Penelitian tersebut diharapkan dapat berbentuk katalog nan merangkum berbagai tulisan kaligrafi nan terdapat di ukiran dinding bangunan bersejarah Islam di Andalusia.
Oleh sebab itu, tak heran jika bangunan berarsitektur Islam tersebut mampu menyedot berbagai wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Selain sebab estetika bangunan dan ukiran kaligrafinya, juga ada filosofi dan sejarah Islam di Andalusia nan dapat didapatkan oleh pengunjung.
Arsitektur Khas Andalusia
Salah satu peninggalan bersejarah nan membuktikan gaya arsitektur Andalusia ialah istana peninggalan budaya Islam, Madinah Al-Zahra, nan berada di dekat Cordoba.
Situs nan memiliki luas 115 hektar tersebut dianggap sebagai refleksi perkembangan teknik pembangunan nan pada zamannya dikenal sebagai arsitektur khas Andalusia.
Istana tersebut memiliki posisi nan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian kota lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa istana itu merupakan loka penguasa Andalusia berkuasa.
Kekuasaan tersebut membuat semua orang nan berada di bawah pimpinannya harus melakukan perjalanan nan cukup jauh agar dapat berjumpa dengan sang penguasa.
Di sana juga merupakan markas besar khalifah nan terletak di sbeuah gunung sehingga dapat dilihat dari jeda jauh dan pada abad ke-10 menjadi kota nan paling mahsyur dan hebat di dunia.
Istana megah khalifah tersebut terbuat dari bahan material nan berharga mahal sehingga kuat dan tahan lama, seperti marmer, mutiara, emas, dan gading. Kemegahan bahan dasar material tersebut juga membawa perubahan pada global desain dan seni.
Dengan melakukan berbagai revolusi besar-besaran, khalifah pada saat itu juga dianggap sebagai seorang penguasa nan mampu memberikan bukti diri budaya nan konkret sehingga eksistensinya diakui oleh seluruh dunia. Hingga saat ini, Madinah Al-Zahra dikenal sebagai loka dengan gaya arsitektur klasik Andalusia pertama.
Ciri khas nan dimaksud ialah adanya bagian halaman di luar dan di dalam bangunan. Sementara itu, waktu nan diperlukan buat membangunnya ialah selama 30 tahun dengan jumlah penduduk sekitar 200 ribu jiwa.
Para artis didatangkan dari seluruh penjuru global buat dapat membangun kota tersebut, dan ahli geometrinya pun didatangkan langsung dari Irak sehingga mampu menghasilkan bangunan khas nan hingga kini dikagumi banyak orang.
Sayangnya, kota nan sudah susah payah dibangun selama 30 tahun tersebut menjadi kota nan diabaikan setelah terjadinya perang sipil dan dinasti. Hingga saat ini, Madinah Al-Zahra dianggap sebagai simbol keagungan sekaligus takdir Allah swt.
Tidak heran, banyak orang nan datang ke loka itu hanya buat mengetahui perjalanan sejarah keislaman serta arsitektur khas Andalusia tersebut.