Biaya Pendidikan di ITB
Komersialisasi
Biaya kuliah ITB mungkin kurang lebih sama dengan biaya kuliah di universitas negeri lainnya nan memungut biaya kuliah nan cukup tinggi. Biaya ini mencapai puluhan juta rupiah. Biaya nan sangat tinggi ini membuat banyak rakyat menjerit. Mereka nan berada di tataran ekonomi lemah akan mengurungkan niatnya buat kuliah. Orang miskin seakan tak boleh kuliah sebab memang biaya nan sangat tinggi. Tidak sporadis terdengar anak-anak cerdas dari kalangan ekonomi lemah ini akhirnya mengubur cita-citanya masuk ke universitas bonafid sebab ketiadaan biaya.
Beasiswa terkadang tak mampu menolong sebab biaya hayati juga tak rendah. Kalaupun ada anak-anak nan akhirnya dapat kuliah, mereka harus berusaha bekerja agar dapat makan nan cukup layak. Tidak sporadis juga mereka harus menahan lapar. Sementara tak sedikit anak-anak orang berada nan dapat kuliah dengan santainya. Mereka tinggal belajar dan tak harus memikirkan apa nan akan dimakan. Mereka tinggal di loka kos atau rumah kontrakan nan bagus.
Anak-anak nan tak mampu itu ada nan tinggal di masjid dan menjadi takmir masjid. Karena anak-anak nan kurang mampu ini cukup banyak, anak masjid nan membatasi waktu buat menjadi takmir masjid. Selanjutnya, mereka harus mencari loka berteduh nan murah. Loka nan murah itu artinya kamar nan sempit nan hanya 1,8 x 2,5 meter persegi atau malah lebih kecil dari itu. Kamar mandinya juga tak buat satu orang. Satu kamar mandi dapat digunakan buat 5-7 orang. Inilah perjuangan hayati itu.
Di antara mereka ada nan tak dapat pulang kampung ketika momen-momen senang seperti lebaran atau masa liburan. Rindu hanya ditanggung sendiri. Setelah lulus pun belum tentu mereka mendapatkan pekerjaan nan layak. Banyak juga nan menjadi pengangguran. Nasib memang tak sama. Kecerdasan terkadang tak dapat membantu kalau tak didukung oleh fasilitas lain. Walau begitu, citra ini tentunya tak harus membuat para calon mahasiswa merasa pesimis.
Memang bukan misteri lagi, ITB sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara) mematok biaya kuliah hingga puluhan juta rupiah. Banyak nan menyayangkan hal ini. Itu berarti hanya memberi kesempatan siswa dari keluarga mampu saja nan dapat kuliah di ITB. Benarkah demikian? Fenomena memang seperti itu. Bagi orang nan mempunyai uang banyak, jumlah 60 juta rupiah atau bahkan 100 juta rupiah itu bukan sesuatu nan sulit.
Bagi nan berpenghasilan 3 juta rupiah satu bulan dengan 3 orang anak, buat menabung 100 ribu sebulan saja belum tentu bisa. Mereka harus membanting tulang buat membayar kredit rumah, biaya listrik nan semakin mahal, dan biaya hayati lainnya. Negara ini sepertinya tak dapat lagi memberikan pendidikan nan murah kepada rakyatnya. Utang negara semakin banyak. Oleh sebab itulah, pendidikan menjadi mahal dan mungkin sama dengan harga rumah dan harga barang-barang lainnya.
Sejarah Panjang ITB
ITB atau Institut Teknologi Bandung resmi berdiri pada 2 Maret 1959. Namun jauh sebelum itu, cikal bakal sebagai sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia telah dimulai sejak sebelum Indonesia merdeka. Bahkan presiden pertama republik ini ialah seorang alumni ITB. Di masa awal kemerdekaan, ITB masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia fakultas teknik sementara IPB (Institut Pertanian Bogor) ialah fakultas pertanian.
Sebagaimana beberapa perguruan tinggi di Indonesia, ITB kini berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Tujuan pendirian badan hukum ini ialah mengakomodasi kebutuhan khusus, termasuk privatisasi forum pendidikan. Konsekuensinya ialah ITB harus mencari sumber pendanaan sendiri, termasuk di antaranya penentuan biaya kuliah di Institut Teknologi Bandung. Ketika menentukan biaya kuliah sendiri inilah, pihak-pihak nan berwenang harus memutar otak dan harus mencari satu angka nan dapat menutupi sebuah biaya opersional termasuk biaya buat pengembangan dan pemeliharaan gedung dan peningkatan mutu fasilitas perkuliahan. Akhirnya angka itu cukup fantastis.
Ada satu kekhawatiran bahwa kalau pendidikan dapat dibeli, maka angka pun dapat dibeli. Bagaimana dengan kualitas keluaran universitas itu? Bayangkan kalau ada nan mampu membayar biaya kuliah jauh lebih tinggi dari nan lain asalkan anaknya dapat kuliah di Fakultas Kedokteran. Apa nan akan terjadi kalau anak tersebut tak mampu menjadi seorang dokter nan baik sebab memang pada kenyataannya ia tak mampu. Nyawa pasiennya akan menjadi taruhannya.
Semua memang menjadi serba salah. Ketika uang dapat membeli pendidikan, maka pihak sekolah akan memilih menerima anak-anak nan orangtuanya mampu membayar lebih. Kalau guru tak bekerja secara profesional, dapat saja mereka memainkan angka nilai sinkron dengan permintaan. Kalau ini terjadi, maka pendidikan di tanah air ini akan semakin bobrok dan tak karuan. Anak-anak generasi bangsa nan seperti apa nan diharapkan dari generasi nan dididik seperti itu?
Pemerintah memang telah mengubah kurikulum, tetapi kalau penerapannya tak diikuti dengan peningkatan mutu pedagogi dan kualitas guru, maka perubahan kurikulum itu tak ada gunanya. Pendidikan nan katanya mengajarkan karakter, ternyata tak menemukan contoh konkret nan dapat dilihat oleh anak-anak peserta didik. Kalau hal ini tak diberi perhatian nan lebih, maka pendidikan generasi muda ini tak menemukan titik temu nan diinginkan.
Biaya Pendidikan di ITB
Pada situs resmi memang dicantumkan biaya kuliah di ITB mencapai lebih dari 65 juta rupiah. Uang tersebut dinamakan uang Biaya Pendidikan di Muka (BPM) nan dibayarkan saat seorang calon mahasiswa dinyatakan lulus masuk ITB. Biaya Pendidikan di muka ini sebenarnya berjenjang, dari minimum 2,5 juta rupiah hingga lebih dari 65 juta rupiah. Disarankan biaya ini hendaknya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi calon mahasiswa baru.
Di sinilah nan menjadi masalah. Banyak orangtua ingin anaknya masuk ITB lalu jor-joran menyatakan kesanggupan membayar setinggi-tingginya dengan asa anaknya lulus. Padahal di situ jelas tercantum bahwa kelulusan seorang calon mahasiswa hanya ditentukan oleh hasil tesnya. Kesanggupan membayar dengan nilai nominal eksklusif tak akan mempengaruhi hasil tes.
Bahkan ditegaskan, jika seorang calon mahasiswa nan dinyatakan lulus namun tak dapat melunasi BPM nan telah dicantumkan sebelumnya maka hak calon mahasiswa tersebut dinyatakan gugur. Karena itu, alangkah bijaksananya jika calon mahasiswa dan orangtua betul-betul mempertimbangkan kemampuan ekonomi dan tak terpancing memasang kesanggupan biaya masuk nan tinggi.
Hal ini sangat krusial dilakukan sebab komponen biaya pendidikan di ITB tak hanya BPM saja. Masih ada beberapa biaya lainnya nan harus diselesaikan mahasiswa. Biaya tersebut mencakup Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP) per semester sebesar 2 juta rupiah dan biaya SKS 150 ribu per SKS per semester. Biaya ini dianggap sangat tinggi. Oleh sebab itu, sine qua non solusinya. Banyak pihak nan telah memikirkan hal ini. Namun, memang itulah kenyataanya bahwa pendidikan memang mahal.
Yang lebih parah ialah ketika orangtua menuntut anak-anaknya buat menjadi nan terdepan dan menjadi juara. Anak-anak akan diminta atau mungkin juga dipaksa mengikuti banyak kursus. Waktu bermain mereka hanis buat mengerjakan pekerjaan rumah.
Peluang Beasiswa
Menilik besarnya biaya kuliah ITB nan harus dikeluarkan, mungkin banyak siswa dan orangtua nan urung menyekolahkan anaknya di kampus bergengsi tersebut dengan alasan biaya. Padahal, ITB banyak memberi keringanan bahkan beasiswa bagi mahasiswa nan berprestasi, namun mengalami keterbatasan biaya. Pada formulir kesediaan BPM juga tersedia pilihan perdeo bagi calon mahasiswa nan memang keberatan mengeluarkan biaya tersebut.
Selain itu, di ITB banyak tersedia beasiswa nan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi mahasiswa nan kurang mampu. Beasiswa biasanya berasal dari berbagai instansi dan kalangan partikelir nan telah terikat kerjasama dengan ITB. Bahkan para alumni pun bergabung per-angkatan dan per-jurusan mengumpulkan dana buat membantu para adik tingkatnya. Suatu usaha nan mulia nan harus terus dilakukan.